Jumat, 22 Oktober 2010

Balai Bahasa Sumsel Susun Ensiklopedi Sastra Daerah Modern


Balai Bahasa Susun Ensiklopedi Sastra Sumsel Modern

Balai Bahasa Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel) mendatangi Bumi
Seganti Setungguan (Kabupaten Lahat). Rombongan yang motori Dian Susilastri, M.Hum, bersama tiga anggotanya Budi Agung Sudarmanto, S.S, M.Pd, Mulawarman SS, Yeni Mastuti S.Pd., sejak Rabu (22/9) hingga Jumat (24/9) melaksanakan
penjaringan data dalam rangka penyusunan Ensiklopedia Sastra Modern Sumsel tahap II di Kabupaten Lahat, Kota Pagaralam dan Kabupaten Empat Lawang.

"Saat ini daerah yang akan didatangi adalah Lahat, Pagaralam dan Empat Lawang. Sementara di Palembang kita terus mengumpulkan data-data baru, karena kondisinya yang terus berubah," ujar Dian. Tujuan mengumpulkan data ini sebagai upaya menginfentarisir kegiatan kesusastraan yang ada di seluruh Sumatera Selatan.

Saat ini narasuber yang ada di Lahat yakni Ismeth Inonu, Jajang R Kawentar, dan Irfan, sementara untuk Pagaralam Helmi, dan Empat Lawang yakni Syamsu Indra Usman. "Untuk narasumber sendiri kemungkinan bisa bertambah untuk ketiga daerah tersebut. Kita jelas mendapat informasi dari beberapa narasumber, baik dari koran, majalah maupun dari media lainnya. juga dari narasuber sendiri," ungkap Dian.

Penyusunan Ensiklopedi Sastra Modern ini tujuannya menambah khasanah kesusastraan yang ada. baik dari istilah, karya sastra yang fenomenal, atau wahana yang mendukung perkembangan sastra Modern.

Peran Balai Bahasa Sumsel sendiri tidak hanya pada Kesusastraan Modern, tapi mencakup hal-hal mengenai kebahasaan. Harapannya di Sumsel kehidupan kesusastraan menjadi lebih hidup. Media yang menghidupi kesusastraan yang sesungguhnya mungkin di tiap daerah cukup banyak dan jenisnya pun diharapkan berpariasi. Tidak hanya perorangan yang dapat menjadi wahana dan sarana yang menghidupinya, tapi keinginan setiap pelaku sastra ingin mengembangkannya menjadi komunitas serta membentuk regenerasi baru.

Pemerintah daerah pun bisa menjadi wahana pendukungannya, baik mengadakan even-even tertentu, atau mengajak anak muda mengikuti dan mengembangkan kegiatan kesusastraan di daerah. Karena kita tidak hanya menghidupi fisik kita tapi jiwa kita supaya lebih selaras.

"Seperti Ismeth Inonu, merupakan tokoh yang mungkin dianggap mengayomi kesenian di daerah Lahat, karena selain sebagai pelaku seni juga menjadi ketua Dewan Kesenian Lahat. Irfan juga sebagai pelaku seni kesusastraan yang memiliki beberapa karya sastra dan untuk Jajang selain pelaku seni, juga memiliki komunitas untuk mengembangkan kesastraannya. Selain itu Jajang juga memiliki karya sastra daerah yang dihasilkannya seperti Ikon Wak Barum dan Wak Ranca yang populer sebagai karya sastra," jelas Dian.

Lebih lanjut diharapkan nantinya akan lahir generasi-generasi di daerah Sumsel yang lebih baik, dan hasil pendokumentasian ini sebagai pembelajaran bagi generasi mendatang.

"Ternyata pengembangan Sastra Daerah Modern di Sumsel masih sedikit dan minim pelakunya. Berdasarkan pantauan kita pada tahap sebelumnya kebanyakan di Palembang sementara kabupaten kota lainnya masih sedikit, " tegas Dian.

Minggu, 17 Oktober 2010

JELANG IKUT TEMU SASTRAWAN INDONESIA III DI TANJUNGPINANG


JELANG IKUT TEMU SASTRAWAN INDONESIA III DI TANJUNGPINANG

Oleh: Dimas Arika Mihardja


JELANG perhelatan Temu Sastrawan III di Tanjungpinang, Kepulauan Riau, saya ingin sedikit memberikan gambaran sebagai referensi bagi peserta dan sekadar informasi bagi masyarakat facebookers. Sekadar catatan kecil, ide awal pelaksanaan Temu Sastrawan Indonesia (TSI I) bertolak dan dilaksanakan di Jambi 7-10 Juli 2008. Lalu TSI II dihelat di Bangka Belitung (2009), dan TSI III akan dilaksanakan di Tanjungpinang 28-31 Oktober 2010. Berikut ini saya kemukakan lagi Dasar Pemikiran TSI I di Jambi yang sukses dilaksanakan 7-10 Juli 2008.

Rumah tangga sastra Indonesia yang dihuni oleh sastrawan (penyair, cerpenis, novelis, penulis skenario), kritisi, dan masyarakat pembaca memberikan gambaran adanya keberagaman. Keberagaman itu terwujud baik pada tataran capaian estetis, kreativitas, persepsi, visi, dan misi. Keberagaman itu merupakan aset yang tiada terkira nilainya jika dihubungkan dengan “Bhinneka Tunggal Ika”. Keberagaman itu dalam konteks keindonesiaan perlu mendapatkan ruang ekspresi seluas-luasnya untuk capaian estetis sastra Indonesia di masa kini dan masa yang akan datang.

Pada satu masa, sejumlah besar sastrawan menampilkan karya-karya yang sarat dengan subkultur, dengan akar budaya, warna budaya daerah masing-masing. Berbagai kultur lokal dan tradisi digali, diolah dan dijadikan dasar untuk pengucapan karya-karya mereka. Karya sastra yang dihasilkan sastrawan yang mengedepankan warna-warni budaya lokal ini memberi kontribusi positif dalam sejarah perkembangan otonomi daerah di Indonesia. Atas dasar keberagaman budaya daerah, dalam perspektif sejarah sastra Indonesia pernah dihasilkan karya-karya masterpiece seperti “Ronggeng Dukuh Paruk” (Novel Ahmad Tohari), “Pengakuan Pariyem” (Prosa Lirik Linus Suryadi AG), “Celurit Emas” (D. Zawawi Imron), “Bawuk” (Umar Kayam), “O, Amuk, Kapak” (antologi puisi Sutardji Calzoum Bachri), “Godlob”, “Adam Makrifat”, dan “Berhala” (Kumpulan cerpen Danarto), “Robohnya Surau Kami” dan “Bertanya Kerbau pada Pedati” (Kumpulan cerpen A.A. Navis), “Bako” (novel Darman Moenir), dan seterusnya . Karya-karya yang digali dari kekayaan budaya lokal seperti itu akhir-akhir ini mengalami pasang surut.

Keberagaman corak budaya daerah perlu diberikan ruang yang leluasa untuk dieksplorasi dalam penciptaan sastra. Karya sastra yang digali dari tradisi subkultur yang ada di Indonesia akan memberikan rona keberagaman yang manunggal dalam keindonesiaan (“Bhinneka Tunggal Ika”). Keberagaman warna lokal saat globalisasi sekarang ini menjadi penting sebab dengan keberagaman itu pula identitas lokal terwadahi.

Dalam perkembangan sastra pernah muncul humanisme universal, sastra kontekstual, sastra (dominasi) pusat (Jakarta), sastra pedalaman, sastra dekaden, sastra independen, sastra arus bawah dan seterusnya dan seterusnya. Hal ini wajar lantaran sastrawan memiliki progres, visi dan misi dalam berkarya. Hal yang tidak wajar apabila perbedaan pandangan/aliran/isme dll memunculkan konflik berkepanjangan. Humanissme universal seperti diteriakkan oleh Chairil Anwar berakibat hilangnya identitas kebangsaan. Setelah humanisme universal mulai memudar pamornya, tahun 1960-an meruak hubungan mesra antara sastra dan politik. Fungsi sastra dan fungsi politik acap dicampuradukkan sehingga terjadi kekacauan. Lalu muncul tawaran sastra kontekstual (sastra terlibat) yang berpihak pada kepentingan masyarakat. Kemunculan sastra kontekstual ini menomorduakan aspek keindahan dalam ciptaan sehingga pada akhirnya kehilangan gaungnya. Tahun 1990-an muncul tawaran sastra pedalaman dalam denyut kehidupan sastra. Tawaran ini kurang mendapatkan respon dan lenyap begitu saja. Setelah itu muncul dekadensi dan independensi sastra, tetapi belum jelas benar seperti apa sosoknya.

Muncul pemikiran bahwa ekologi sastra yang dihuni oleh sastrawan, kritikus, media, perpustakaan, penerbit, dan lain-lain bersatu dalam suatu wadah seperti Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Aliansi Jurnalistik Independent (AJI), Ikatan Keluarga Pengarang Indonesia (IKAPI) yang memiliki kemandirian, kebersamaan, dan keharmonisan. Dengan kemandirian, kebersamaan, dan keharmonisan dimungkinkan sastrawan Indonesia bersama ekologi sastra Indonesia memiliki bargaining power dan bargaining position yang lebih baik. Para sastrawan perlu melakukan Dialog untuk membicarakan “wadah” dan sekaligus menemukan solusi mengenai tidak sehatnya ekologi sastra Indonesia. Ekologi sastra Indonesia (sastrawan, kritikus, penerbit, media, dan masyarakat, perpustakaan, penerbit) perlu memiliki kemandirian. Kemandirian ini memiliki arti penting ketika, misalnya, ada sebagian sastrawan yang ‘ditelikung’, diintimidasi, dipecat kepegawaiannya, dikekang kebebasan kreatifnya, dipinggirkan oleh pihak-pihak lain (pemerintah, pimpinan redaktur koran, organisasi tertentu, pemilik media).

Perkembangan karya sastra Indonesia, sepeninggal paus sastra H.B. Jassin, tidak diiringi oleh kinerja kritik sastra. Kritik sastra seperti kerakap di atas batu, hidup enggan mati tak mau. Langkanya kritikus yang peduli terhadap perkembangan sastra dan minimnya apresiasi masyarakat terhadap perkembangan sastra membuat ekologi sastra tidak harmonis. Idealnya, kehidupan sastra menunjukkan ekologi sastra yang sehat, beragam, harmonis, dan dinamis. Karya sastra yang diterbitkan menjadi “yatim piatu” lantaran tidak tersentuh oleh kinerja kritik sastra. Akibatnya, karya sastra semakin jauh dari jangkauan masyarakat apresian. Kemampuan masyarakat dalam mengapresiasi karya sastra juga rendah. Dalam hubungannya dengan minimnya kritikus sastra, dipandang perlu dilaksanakan workshop penulisan esai/kritik sastra yang diikuti penulis muda berbakat, guru, mahasiswa yang telah biasa menulis di media massa.

Dalam hubungannya dengan minimnya apresiasi masyarakat terhadap seni sastra, maka perlu digelar Panggung Apresiasi yang menampilkan atraksi keberagaman, kedinamisan, dan keharmonisan dalam paket performance yang dipersiapkan secara matang. Selain itu, kiranya aneka hasil karya sastra perlu diperkenalkan kepada masyarakat sastra melalui pameran dan bazar. Pameran dan bazar ini menampilkan aneka corak dan bentuk karya sastra sebagai manifestasi adanya keberagaman, kedinamisan, dan keharmonisan.

Agenda kegiatan Temu Sastrawan Indonesia 1 2008 di Jambi dalam garis besarnya mencakup hal-hal berikut:

(1) Dialog Sastra dan Musyawarah Sastrawan Indonesia : Dialog Sastra membicarakan capaian estetik sastra Indonesia, keberagaman, dan kedinamisan sastra Indonesia. Peserta dialog adalah sastrawan, kritikus, dan undangan dari kalangan media, penerbit, dll. Dialog dirancang dua hari menampilkan pembicara dari kalangan kritikus, media, penerbit, dll. Musyawarah Sastrawan Indonesia membicarakan kemungkinan dibentuknya wadah atau forum bersama yang melibatkan ekologi sastra (sastrawan, kritikus, media, penerbit, dll). Musyawarah ini diharapkan melahirkan kesepakatan bersama tentang perlu/tidaknya kelanjutan Temu Sastrawan Indonesia (Periksa Lampiran).

(2) Workshop Penulisan Esai / Kritik Sastra: kegiatan ini memfasilitasi para penulis muda berbakat, guru sastra, dan mahasiswa untuk mampu menulis kritik/esai sastra. Peserta yang diundang mengikuti workshop 30 orang. Workshop dilaksanakan tanggal 09 Juli 2008 di Kantor Bahasa Provinsi Jambi (Periksa Lampiran).

(3) Panggung Apresiasi: menampilkan atraksi sastrawan (Sastrawan Indonesia terpilih), pertunjukan keberagaman seni di setiap kota/kabupaten dalam Provinsi Jambi, dan sanggar-sanggar seni di Kota Jambi. Panggung Apresiasi ini digelar selama tiga hari di tempat yang representatif (Periksa Lampiran).

(4) Wisata Budaya: wisata budaya ini dimaksudkan untuk memberikan sajian keberagaman yang dimiliki Provinsi Jambi kepada peserta Temu Sastrawan Indonesia. Peserta diajak ke Situs Candi Muaro Jambi melalui jalan air dengan menyusuri Sungai Batanghari. Wisata Budaya dilaksanakan tanggal 10 juli 2008.

(5) Penerbitan Buku Antologi: ada tiga buku antologi yang diterbitkan, yakni antologi puisi (Tanah Pilih), antologi cerpen (Senarai Batanghari) dan buku kompilasi puisi, cerpen, dan esai karya sastrawan Indonesia.

(6) Pameran dan Bazar: memamerkan aneka corak dan bentuk karya sastra sebagai manifestasi adanya keberagaman, kedinamisan, dan keharmonisan. Pameran dan bazar dilaksanakan tanggal 07-10 Juli 2008 di gedung proscenium Taman Budaya Jambi.

Kegiatan Temu Sastrawan Indonesia ke-II yang dilaksanakan di Bangka Belitung, dengan amat menyesal tidak dapat saya ikuti, sehingga konsep penyelenggaraannya dan hasil-hasil yang dicapai juga tidak dapat saya sampaikan. Namun demikian, secara garis besar, "ruh" Temu Sastrawan Indonesia I juga terasa kental dalam penyelenggaraannya.

Lalu dalam pelaksanaan Temu Sastrawan Indonesia III yang dilaksanakan di Tanjungpinang 28-31 Oktober 2010 memiliki "benang merah" dengan konsep dan penyelenggaraan di Jambi. Temu Sastrawan III ini mengusung tema "Sastra Indonesia Mutakhir: Kritik dan Keragaman". Subtema yang diagendakan pun memiliki benang merah dengan TSI I di Jambi, yakni Stadium General sastra Indonesia Mutakhir: Kritik dan Keragaman (definisi sastra Indonesia mutakhir, persoalan yang terjadi, pertumbuhan komunitas dan kepenulisan hari ini); lalu Fenomena Sastra Indonesia Mutakhir (perihaal ideologi dan ekspresi sastrawan); Kajian Teks: penjelajahan dan pendalaman karya dengan keragaman mata kritik; Kemelayuan dan Keindonesiaan: keragaman antarsastrawan.

Agenda kegiatan TSI III Tanjungpinang, sesuai dengan edaran, dalam garis besarnya, seperti juga agenda TSI I Jambi, terbagi dalam 6 kegiatan berikut:

1. Stadium General (ceramah umum) dan seminar;
2. Malam apresiasi sastra;
3. Forum dan bazaar buku;
4. Penerbitan buku antologi antologi sastra
5. Bengkel sastra; dan
6. Wisata budaya

Sastrawan yang diundang dalam TSI III, seperti juga TSI I Jambi, berkisar antara 200-250 sastrawan. Setiap sastrawan yang hadir akan diberi sagu hati Rp. 200.000,00 dan setiap sastrawan yang karyanya dimuat dalam buku antologi sastra akan mendapatkan honorarium sebesar Rp. 500.000,00. SETIAP SASTRAWAN YANG DIUNDANG DI TEMPATKAN DI HOTEL YANG REPRESENTATIF, DISEDIAKAN KONSUMSI, DAN TRANSPORTASI LOKAL. Demikian sekilas catatan tentang histori konsep dan pelaksanaan Temu Sastrawan Indonesia. Selamat mengikuti perhelatan kegiatan yang bergengsi ini. Hiduplah sastra Indonesia, hiduplah sastrawan Indonesia, majulah kiritik sastra Indonesia, sehat dan sentosalah komunitas sastra Indonesia.

diambil dari FB