Sabtu, 12 September 2009

sampai jumpa aku ke kotamu

jajang r kawentar

Ketika tau bakal jumpa,
Sms tak henti dikirimnya untukku,
Bu, tiba jam berapa di kotaku
Jadikan kita jumpa
Kira-kira enak ngobrol dimana,di kamar saja
Ya, Tiga tahun sedekatan rumah
Sejak kelas satu SMP
tidak pernah lupa, walau kini punya suami
sampai sekarang sering catting
asik juga, gemana kalo suami tau
entahlah, biarlah
suamiku tidak memiliki perasaan sakit
hatinya tidak pernah terluka
ia kuat seperti superman

aku biasa menyimpan rahasia juga
suamiku tidak apa-apa, ia tidak curiga
biasa saja,
kalo ketahuan tidak seru lagi perjalanan cinta belakang ini
sebab isi hatiku tertumpah padanya
suami kan cuma untuk pemuas hawa napsu
rahasia ini harus kami jaga
ya sama dengan menjaga kehormatan si dia

suami kan bisa menjaga sendiri kehormatannya
aku juga menjaga sendiri kehormatanku
aku tidak pernah meminta apa-apa padanya
aku kini menghidupi diriku sendiri, menghidupi anak-anakku

suamiku biasa sendiri, menyendiri
biarlah rahasia ini akan terus kujaga
demi si dia yang ku cinta
sampai jumpa aku ke kotamu

Jumat, 11 September 2009

Mengenang Bung Karno

Mengenang Bung Karno
Oleh: S Manap.

Tanggal 6 Juni 1901 adalah hari lahir Bung Karno. 1 Juni 1945 adalah hari lahirnya pancasila, gagasan Bung Karno yang menjadi alat pemersatu bangsa Indonesia. Pada 21 Juni 1970, Bung Karno wafat berstatus sebagai tahanan rumah di negeri yang kemerdekaannya di proklamirkannya sendiri.
Bagiku sendiri setiap kali memasuki bulan Juni memperingati hari-hari yang berhubungan dengan Bung Karno, maka segala kenangan masa lampau tentang Presiden pertama RI itu akan selalu terasa bangkit kembali.
Tahun 1963.
Salah satu gagasan penting dari Bung Karno dalam perjuangan melawan dominasi kaum imperialis dan menegakkan harga diri bangsa Indonesia, yalah terselenggaranya GANEFO (Games of the New Emerging Forces) di Jakarta. Salah satu pekerjaan panitia sebelum GANEFO dilaksanakan, dibentuknya team penerangan GANEFO yang terdiri dari para pemuda dan seniman dari berbagai aliran politik NASAKOM di tambah dengan dari instansi kepolisian yang diwakili oleh PTIK (Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian).
Sebelum melaksanakan tugasnya dalam menyebar luaskan arti penting GANEFO ke tengah-tengah masyarakat di seluruh tanah air, team penerangan mendapat indoktrinasi antara lain dari Menteri olah raga Maladi, Sekjen PDK Mr Supardo dan dari Front Nasional Pusat Kolonel Azhari. Aku termasuk dalam team yang bertugas ke Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur. Dalam team itu aku sebagai mahasiswa yang datang dari Palembang, ikut mewakili pemuda, yang jika di lihat dari usia, merupakan yang paling muda dari seluruh anggota team kami itu.
Setelah menyelesaikan tugasnya, team penerangan dari seluruh penjuru tanah air dari Aceh sampai Irian Barat, pulang ke Jakarta dengan melaporkan pekerjaan serta pengalamannya masing-masing. Tidak lama sesudah itu, di Istana Merdeka diadakan pertemuan di mana Bung Karno dijadwalkan akan memberikan wejangan tentang pelaksanaan GANEFO dalam waktu dekat. Kami yang menjadi anggota team penerangan, juga diundang dalam pertemuan itu.
Dalam pertemuan itu, kecuali pejabat-pejabat tinggi serta grup-grup pekerja tertentu, para undangan dipersilahkan mencari tempat duduk sendiri-sendiri. Pada kesempatan itu aku bersama seorang pemuda dari Pontianak yang etnis Tiong Hua (Eng Kim Sheng), memberanikan diri mengambil tempat duduk agak ke depan. Dengan demikian, kami berhasil bisa melihat Bung Karno dari jarak dekat. Hanya kali inilah aku melihat Bung Karno dengan jelas dari jarak dekat dan untuk pertama kali pula, mungkin juga untuk yang terakhir aku masuk ke istana negara.
Anehnya, berbeda dengan ketika mendengarkan pidato Bung Karno di Senayan atau melalui siaran radio, yang agak mudah mengingat persoalan penting yang diucapkan oleh Bung Karno, tapi kali ini tidak ada dari ucapan beliau yang bisa kuingat. Sebabnya mungkin karena seluruh pikiranku terpusat pada memperhatikan wajah serta gerak Bung Karno saja, tanpa memperhatikan kata-kata yang diucapkannya.
Tahun 1965.
Awal 1965 aku bersama beberapa orang teman pergi belajar ke luar negeri. Negeri yang kami tuju yalah Kuba yang terletak di benua Amerika.
Beberapa tahun sebelum kami belajar kesana, Bung Karno pernah berkunjung ke negeri itu menjadi tamu dari Fidel Castro, Perdana Menteri Kuba. Menurut penjelasan orang Kuba, Bung Karno di tempatkan di Hotel Nasional yang terletak di pusat kota Havana. Juga pernah berkunjung ke negeri itu D.N Aidit Ketua CC PKI sebagai tamu Fidel Castro. Kalau tidak salah, dari penjelasan orang Kuba, D.N Aidit di tempatkan di hotel Riviera yang letaknya tidak jauh dari pantai kota Havana.

Bahwa Bung Karno bersahabat dengan Fidel Castro pemimpin Kuba itu, bisa dilihat dari satu kalimat pidato Bung Karno di Senayan yang masih bisa saya ingat: ”Aku adalah sahabat Mao Tje Tung, aku sahabatnya Ho Chi Minh, aku sahabatnya Kim Il Sung, aku sahabatnya Norodom Sihanuk, aku sahabatnya Fidel Castro.” (Maaf dan tolong dibetulkan kalau ada yang tidak persis sesuai dengan aslinya).

Mungkin karena jarak yang jauh, apalagi jaringan informasi pada waktu itu belum selancar sekarang, maka banyak orang Kuba yang belum mengenal Indonesia dan belum tau di mana letak negeri yang bernama Indonesia itu. Pada waktu itu, yang paling dikenal oleh rakyat Kuba adalah negeri-negeri yang bersistem sosialis, seperti Uni Sovyet, Republik Rakyat tiongkok, Republik Demokrasi Vietnam serta negeri-negeri sosialis lainnya baik di Asia maupun di Eropa. Vietnam lebih populer karena sedang melancarkan perang perlawanan terhadap kaum agresor Amerika, yang juga merupakan musuh nomor satu (enemigo numero uno) bagi rakyat Kuba.

Ketika aku naik bis umum dari asrama kami di Siboney, menuju pusat kota Havana, seorang pemuda Kuba bertanya kepadaku: ”Anda datang dari mana?” (De que pais viene usted). Saya jawab: ”Saya datang dari Indonesia.” (Yo vengo de Indonesia). Karena dia tidak tau di mana Indonesia maka dia bertanya lagi: “Di mana letak Indonesia?” (Donde esta Indonesia). Lalu saya jelaskan bahwa Indonesia terletak di Asia Tenggara (Indonesia esta en el sudeste Asiatico).
Karena mendengar tanya jawab diantara kami berdua itu, maka seorang mulato (campuran kulit hitam dan kulit putih) yang sudah setengah baya segera menjelaskan kepada pemuda yang bertanya kepadaku itu. Katanya: ” Indonesia adalah satu negeri yang memiliki Presiden yang sangat pandai.” (Indonesia es un pais que tiene un Presidente muy inteligente) .Dari penjelasan orang mulato setengah baya itu baru anak-anak muda yang lain mengerti tentang Indonesia dan pemimpinnya. Pada waktu itu aku hanya mendengarkan dan merasa bangga mendengar penjelasannya tentang Bung Karno seorang Presiden yang sangat pandai.
Setelah terjadi peristiwa G30 S, posisi Bung Karno semakin lemah karena kedudukannya sebagai Presiden direbut secara bertahap oleh Jenderal Suharto, yang dalam dokumen-dokumen tertulis dinamakan kup merangkak. Dalam situasi yang demikian itulah Dubes Indonesia untuk Kuba, Pak A.M Hanapi (Anak Marhaen Hanapi) dipecat oleh pemerintah Indonesia yang baru.
Beberapa hari setelah Dubes diberhentikan dari jabatannya, di satu malam hari, aku serta beberapa teman, membantu ex Dubes memindahkan isi rumah, dari rumah tempat kediaman resmi Duta Besar, kerumah kecil yang dibantukan oleh pemerintah Kuba. Kami secara berulang-ulang mengangkuti perabot rumah tangga dengan menggunakan dua mobil sedan. Aku bersama Pak Hanapi menggunakan satu mobil. Pak Hanapi nyupir, aku duduk di sampingnya. Sedang di belakang penuh di isi dengan barang-barang yang sudah dimasukkan dalam kotak-kotak karton.
Pada waktu istirahat kami berdua mengobrol di pinggir jalan yang remang-remang gelap sambil minum limon. Pada kesempatan itulah baru kuceritakan pengalamanku ditanya oleh orang Kuba ketika naik bis umum jurusan Siboney-Havana setahun sebelumnya, ketika aku baru beberapa bulan tinggal di Kuba. Pak Hanapi bertanya kepadaku: ”Ketika orang itu memuji Bung Karno sebagai orang pandai kamu bagaimana menjawabnya?” Kujawab:” Aku hanya senyum.” Lalu Pak Hanapi bicara lagi: ”Lain kali kalau ada orang memuji pemimpinmu, kamu harus mengucapkan terima kasih.”
Melalui obrolan malam di pinggir jalan itu, baru akut tau bahwa sebetulnya kekuasaan riil di tanah air sudah bukan lagi di tangan Bung Karno. Mendengar obrolan kami dalam bahasa Melayu desa, dari beranda rumah mereka yang baru berteriak Ditok (putra Pak Hanapi) yang sedang minum-minum bersama teman-temanku yang lain: ”Hei, bicara bahasa apa itu?” Kami tetap meneruskan obrolan dalam bahasa Melayu.
Pak Hanapi bertanya padaku:”S, sebetulnya kampung halamanmu di mana?” Kujawab bahwa kampung halamanku di daerah Lahat. ”Kalau begitu, kalau sudah di daerah Lintang, melangkah sedikit saja sudah tiba di kampung halamanku daerah Bengkulu Selatan,” katanya.
Melalui pertanyaannya itu akau berkesan kalau isi hati maupun pikiran Pak Hanapi ada persamaan dengan isi hati dan pikiranku yaitu sama-sama ingat kampung halaman, sama-sama ingat tanah air yang sudah lama ditinggalkan.
Persamaan pikiran dan perasaan kami tercermin dalam pantun Melayu tempo dulu yang tidak jelas siapa penciptanya:
Jambu air di dalam taman,
Bunga cempaka tidak berduri.
Tanah air kampung halaman,
Tidak lupa setiap hari.

Aku masih bertanya pada Pak Hanapi: ”Kalau Bung Karno tidak ada lagi, lalu siapa yang menjadi panutan kita?” Lalu menurut Pak Hanapi: ”Ada atau tidak Bung Karno kalian harus berjuang karena kalian masih muda.” Juga dikatakannya: ”Perjuangan ini akan berlangsung lama.”
Percakapan kami berakhir di situ. Kami meneruskan mengangkuti barang-barang isi rumah tangga ex Duta Besar, sampai larut malam. (Sejak kami berpisah pada hari Pak Hanapi mengantar kami ke lapangan terbang Jose Marti, ketika kami meninggalkan Kuba, aku tidak pernah bertemu lagi sama ex Dubes pendukung setia Bung Karno ini, kecuali percakapan beberapa kali lewat telephone sampai beliau wafat di Paris).
Dengan semakin kokohnya kekuasaan militer yang dikepalai oleh Suharto, aku bersama teman-temanku kehilangan kewarganegaraan. Passport kami dinyatakan tidak berlaku. Itulah asal mula aku hidup dengan berpindah-pindah dari negeri yang satu kenegeri yang lain dari tempat yang satu ketempat yang lain lagi sebagai statless.
Aku yang asal mulanya seorang Mahasiswa biasa yang pekerjaan sehari-harinya hanya belajar, berubah menjadi seorang pelarian politik, menjadi orang buangan (exile). Aku menjadi bagian dari jutaan rakyat Indonesia di dalam maupun luar negeri yang dinyatakan ”bersalah”, oleh pihak penguasa yang lalim, serakah demi kekuasaan dan menumpuk kekayaan, tanpa kejelasan dan tanpa bukti apa pula kesalahan yang pernah kami lakukan.
Tahun 1986
Setelah bertahun-tahun hidup di negeri orang dengan berpindah-pindah tanpa ada titik terang kapan bisa pulang ke tanah air untuk melihat kampung halaman, aku bersama keluarga kecilku mengambil keputusan pindah mencari asyl ke Eropa Barat. Awal Januari 1986, kami pindah menuju Swedia negeri Demokratis yang dipimpin oleh Partai Sosial Demokrat.
Betapa baik penerimaan dan pelayanan dari Pemerintah Swedia terhadap kami sekeluarga dengan dua anak kecil, sukar dilukiskan dalam tulisan pendek ini. Apalagi kalau diingat bahwa aku adalah orang yang tersingkir, dilarang pulang ke tanah air serta kampung halaman tempat kelahiranku dan didiskriminasi oleh penguasa negeriku sendiri.
Sesuai dengan peraturan yang berlaku, tepat pada waktunya permohonan asyl yang kami ajukan diterima oleh Jawatan immigrasi. Kami mendapat perlindungan politik, mendapat jaminan untuk hidup layak, diberi kesempatan untuk belajar terutama bahasa Swedia, juga mendapat hak untuk mencari pekerjaan. Sedang anak-anakku mulai diberi kesempatan masuk sekolah. Kami mendapat pass yang bernama Dokumen Perjalanan (Rese Dokumen). Dalam dokumen perjalanan itu tettulis: ”Boleh bepergian kemana saja, kecuali ke Indonesia.”

Dengan sedikit modal bahasa Swedia aku mendapat pekerjaan dan mulai bekerja. Baru dua bulan bekerja, wakil direktur perusahaan tempatku bekerja menawari satu pekerjaan yang mungkin lebih sesuai dengan kemampuanku, tapi dengan syarat aku harus mengikuti kursus dan harus lulus dalam kursus singkat itu.
Aku menerima penawarannya untuk mengikuti kursus singkat, bersamaan dengan itu kujelaskan padanya bahwa aku belum tentu berhasil karena bahasa Swediaku yang belum mencukupi. Namun demikian aku maju juga mengikuti kursus yang ditawarkannya, karena semua biaya untuk keperluan itu sudah dibayar oleh perusahaan.
Aku datang di satu hotel tempat di mana kursus singkat akan diselenggarakan. Kulihat sudah banyak pengikut kursus yang sudah mengambil tempat duduk di aula hotel itu. Disamping banyak orang Eropa, juga banyak orang pendatang seperti aku juga. Aku mencari tempat duduk yang masih kosong.
Di samping tempat dudukku sudah duduk seorang Eropa yang tampan. Kami bersalaman dan saling memperkenalkan diri. Mula-mula kami saling memperkenalkan nama dan tempat bekerja masing-masing. Dari situ aku tau namanya Alexander Fischer dan tau perusahaan tempatnya bekerja di Haninge. Ketika kutanya dari negeri mana dia datang, dia menjelaskan bahwa dia berasal dari Jerman. Ketika dia menanyakan dari mana aku berasal, kujawab bahwa aku berasal dari Indonesia.
Begitu mendengar aku berasal dari Indonesia Alexander cepat bertanya: ”Apakah anda orang Soekarno?” Tentu saja ku jawab: ” Ya, aku pengikut Presiden Soekarno.” Itulah asal mula kami berkenalan. Selama kursus itu, setiap ada kesempatan, kami selalu mengobrol berdua baik pada waktu makan maupun pada waktu jam istirahat biasa. Ketika makan, kami selalu duduk bersebelahan dan aku mengikutinya menggunakan garpu dengan tangan kanan.
Dalam mengobrol saat istirahat, baru aku tahu bahwa Alexander Fischer adalah orang Jerman yang sebaya dengan diriku yang cukup banyak mengikuti segala peristiwa yang terjadi di Indonesia dan pengagum Soekarno sebagai pemimpin yang terkenal dalam percaturan politik dunia. Itulah sebabnya isi obrolan kami selalu berkisar pada nama Bung Karno yang sampai wafatnya berstatus tahanan rumah pemerintah orde baru.
Ketika aku mengatakan padanya bahwa aku belum lama tinggal di Swedia dan bahasa Swediaku belum seberapa, karena itu akan sulit bagiku untuk berhasil lulus dalam kursus ini, Alexander dengan ketawa menjawab: ”Orang Soekarno pasti berhasil.” Sekalipun nampaknya seperti bergurau, kuanggap kata-katanya itu merupakan dorongan bagiku untuk memusatkan pikiran supaya bisa berhasil.

Ternyata betul juga, ketika tiba masanya ujian, Alexander memperlihatkan apa yang telah dikerjakannya kepadaku. Dengan demikian, dari 40 pertanyaan, setiap jawabanku yang kuragukan kebenarannya, akan selalu kulihat apa yang telah dikerjakan oleh temanku itu.
Akhirnya, Sebagaimana Alexander, aku juga berhasil mendapatkan bukti lulus dalam kursus itu. Aku menyadari bahwa keberhasilanku dalam kursus itu tidak bisa di pisahkan dari dorongan moril serta bantuan langsung dari Alexander Fischer, yang mengenalku dan bersimpati padaku, karena aku pengikut Bung Karno yang sedang menghadapi kesulitan.
Begitulah jalan ceritanya, maka aku berganti pekerjaan yang agak sesuai dengan syarat-syarat serta kemampuan yang ada padaku. Aku sering berpikir, pada masa-masa sulit, ada-ada saja jalan keluarnya, mungkin karena Tuhanlah yang menyelamatkanku.

Setelah melalui setahun bekerja, aku melakukan perhitungan berapa gaji yang sudah kuterima, berapa pajak yang sudah kubayar. Dari perhitungan itu aku mendapati bahwa pajak yang telah kubayar selama setahun, sudah jauh melebihi jumlah uang jaminan sosial yang pernah kami terima sejak kami datang ke Swedia sampai aku mendapat pekerjaan. Itu belum termasuk pajak yang dibayar oleh isteriku yang mendapat pekerjaan 6 bulan kemudian setelah aku bekerja.
Aku merasa lega hati, karena aku merasa tidak ada hutang apapun kepada pemerintah Swedia dalam bentuk materiil. Tapi, hutang budi kepada pemerintah yang memberikan perlindungan politik kepada kami sekeluarga serta teman-teman ku yang lain di sini, takkan terlupakan tapi juga takkan terbayarkan.
1 Juni 2007. (Hari Ulang Tahun Kelahiran Bung Karno).
Posted by: "S Manap" ranau12@yahoo.se

Mawar yang gugur sebelum mekar

Mawar yang gugur sebelum mekar.

Oleh. S.Manap


Saya mengenalnya sejak di sekolah rakyat. Kami teman sesekolah. Cuma kelasnya saja yang berlainan, dia di kelas VI sedang saya di kelas V. Tempat tinggal kami juga berdekatan, sebelah menyebelah gedung sekolah. Saya tinggal bersama kakak saya yang menjadi guru di sekolah kami itu. Dia tinggal di rumah orang tuanya di kantor Jawatan Penerangan Kecamatan. Kami tinggal di sebuah desa kecamatan yang bernama Bungamas.

Di desa kecamatan Bungamas ini, saya belajar satu lagu yang tak terlupakan ciptaan guru yang tidak lain adalah suami kakakku sendiri:

Bungamas bunga matahari,
Baumu tiadalah wangi.
Tetapi hatiku tertarik padamu,
Karena keluhuran budimu.
Tetapi hatiku tertarik padamu,
Karena keluhuran budimu.



Kami berpisah setahun kemudian. Dia pindah ke TebingTinggi meneruskan pelajarannya di SGB (Sekolah Guru B), sedang saya ke Lubuk Linggau, pindah ke sekolah Muhammadiyah duduk di kelas VI.

"Dik, jadilah anak yang berbudi luhur seperti yang diajarkan kakakmu". Demikian pesan kakakku sambil meneteskan air mata, sebelum saya meninggalkan Bungamas. Saya belum mengerti apa maksudnya, tapi kata-katanya bisa kuingat. Usiaku pada waktu itu mau masuk 12 tahun.

Enam tahun kemudian, kami bertemu lagi, sudah di kota Lahat. Pada waktu itu saya duduk di kelas dua SMA (Sekolah Menengah Atas) Negeri, sedangkan dia di kelas satu SGA (Sekolah Guru Atas) Negeri.

Namanya Murni, seorang gadis cantik, berkulit kuning langsat, berambut hitam lebat yang dipendekkan. Nampaknya, kecantikannya itu mewarisi kecantikan ibunya, Bu Marina. Bapaknya bernama Haji Chon, maka itu nama resminya menjadi Murni Chon.

Pada suatu sore di hari Minggu, dengan naik sepeda dari tempat tinggal kami di Talang Banten 511 ( baca: cerpen Tukang Nujum), saya berkunjung ke rumah Murni di Pasar Bawah, dekat Sungai Lematang. Setelah beramah tamah sebentar dengan Pak Haji Chon dan Bu Haji, saya minta izin untuk berbicara dengan Murni. Kami berbicara berduaan di ruang belajarnya, selama lebih kurang dua jam. Dalam pembicaraan itu, saya yang pada waktu itu sebagai pimpinan IPPI (Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia) cabang Lahat, memperkenalkan kepadanya azas dan tujuan perjuangan IPPI. Semua keterangan serta penjelasan saya itu, dapat ditangkap dan diterima Murni dengan baik. Akhirnya, dia bersedia mendirikan ranting IPPI di SGA tempatnya belajar.

Pada suatu hari, Murni mendatangi saya di sekolah untuk mengabarkan bahwa akan ada rapat peresmian ranting IPPI yang berhasil didirikannya. Saya diminta datang pada rapat peresmian hari itu.

Pada hari dan jam yang sudah ditentukan, saya bersama seorang teman pergi ke gedong SGA tempat dimana akan dilangsungkan rapat peresmian ranting IPPI yang sudah direncanakan. Waktu kami memasuki ruangan, semua anggota sudah duduk dengan teratur. Dua orang teman sekolah Murni, Pak Direktur SGA dan seorang guru lagi mendapat tempat kehormatan di barisan depan. Murni membuka dan memimpin rapat. Pak Direktur berkenan memberikan kata sambutan dan merestui berdirinya ranting IPPI di sekolah itu.

Yang terakhir, saya diminta berbicara sebagai pimpinan IPPI cabang Lahat. Tak ingat semua apa yang saya katakan pada waktu itu. Yang masih teringat yalah, saya mengharapkan supaya semua anggota IPPI baik-baik belajar, sesuai dengan semboyan IPPI, "Mari belajar, mari menari, kita sehat, tanah air kuat". Saya masih sempat melihat tamu-tamu kehormatan mengangguk-anggukkan kepala.

Berkat usaha teman-teman termasuk Murni, IPPI cabang Lahat berkembang dengan pesat. Ranting IPPI yang ada pada waktu itu antara lain: SMA Negeri (sebagai pusat kegiatan), SMA Sangsapurba, SMEA, SMEP, SMP Negeri, SMP PGRI, PGAP (Pendidikan Guru Agama Pertama), SGB dan SGA.

Di masa liburan kwartal pertama, IPPI Sumatera Selatan mengadakan konferensi di Tanjung Karang (Lampung). IPPI Cabang Lahat mengirimkan rombongan, dimana termasuk Murni di dalamnya. Saya menyempatkan diri pergi kerumah Murni untuk memintakan izin pada orang tuanya. Dalam konferensi ini, kelihatan kelincahan Murni dalam bergaul dengan teman-teman yang baru dikenalnya, yang juga datang dari berbagai daerah. Pada malam penutupan konferensi dengan acara kesenian, yang dihadiri oleh pejabat sipil dan militer Kresidenan Lampung antara lain komandan Korem Gatam (Komando Resort Militer Garuda Hitam), Murni memperkenalkan lagu-lagu daerah Lahat antara lain "Kebile-bile" yang pada waktu itu cukup populer di Sumatera Selatan.

Kebile-bile.

Kebile nian mampat bebunge,
Mangke dik payah ku ngandang lagi.
Kebile nian sipat begune,
Mangke dik payah ku midang lagi.

Kebile-bile mangke ku lege,
Kebile-bile ku ade kance.

Sepulangnya dari Tanjung Karang, saya sendiri mengantar Murni sampai kerumahnya dengan naik beca untuk menyerahkan Murni kepada orang tuanya. Kami tiba di rumahnya pagi-pagi buta ketika hari masih gelap, karena kereta api yang kami tumpangi datangnya sekitar jam 5.00 pagi.

Tidak lama kemudian kami menyelenggarakan reorganisasi IPPI cabang Lahat. Karena saya memikul tugas dalam organisasi lain dan juga menjabat sebagai sekretaris IPPI Sumatera Selatan sebagai keputusan konferensi Tanjung Karang, maka saya menyerahkan tanggunjawab saya sebagai pimpinan IPPI cabang Lahat kepada teman-teman yang kelasnya di bawah saya. Di sini Murni ikut juga dalam badan pimpinan cabang. Sejak itu pekerjaan IPPI cabang Lahat tidak banyak yang saya ketahui sampai saya pindah ke Palembang melanjutkan pelajaran pada Fakultas Hukum Universitas Seriwijaya.

Dua tahun kemudian saya bertemu lagi dengan Murni, ketika kami mengadakan demonstrasi menentang kedatangan konsul Inggris ke Palembang yang diorganisir oleh Front Pemuda Sumatera Selatan. Kami sempat berbicara hanya beberapa menit karena sibuk dengan urusan masing-masing. Diceritakannya bahwa dia sedang kuliah di FKIP (Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan) Universitas Seriwijaya. Dalam demonstrasi itu Murni berada di seberang jalan dengan menjunjung panji CGMI (Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia), sedangkan saya berada di seberang jalan yang lain dengan panji Pemuda Rakyat. Dalam demonstrasi hari itu saya masih sempat mendengar teriakan Murni: "Maju terus pantang mundur", yang kemudian diulanginya dalam bahasa Inggris: "Ever onward never retreat". Itulah suaranya terakhir yang saya dengar, dan lambaian tangannya yang terakhir sebelum meninggalkan arena demonstrasi, saya balas dengan lambaian tangan pula.

Datanglah peristiwa 30 September 1965 yang membawa tragedi nasional tak ada bandingnya. Angkatan Bersenjata terutama Angkatan Darat berkuasa dan mengganas. Penangkapan-penangkapan serta pembunuhan besar-besaran dilakukan terhadap golongan kiri dan pendukung Presiden Soekarno. PKI dan ormas-ormasnya menjadi inceran utama termasuk CGMI. Murni ditangkap pada gelombang penangkapan pertama dan dijebloskan ke sebuah kamp tahanan di Palembang. Ini semua saya ketahui dari cerita seorang teman bekas anggota IPPI cabang Lahat dulu yang masih hidup yang sempat saya temui pada kesempatan saya berkunjung ke kampung halaman.

Dari cerita itu dapat saya susun kembali apa yang selanjutnya terjadi dengan gadis progresif teman sekampung saya itu. Beginilah ringkasan ceritanya:

"Kamp tahanan CPM di Palembang itu penuh sesak. Murni ditahan di situ. Setiap kali diinterogasi Murni berteriak, sehingga bisa didengar oleh tahanan-tahanan yang lain. Sebagaimana halnya dengan tahanan-tahanan yang lain, Murni kadang-kadang dipukuli, kadang-kadang dibujuk dengan kata-kata manis. Karena banyak menderita pukulan-pukulan yang menyakitkan, Murni tidak memberikan jawaban bila ditanyai. Kalau dipaksa juga dia hanya berteriak. Karena itu dia sering dibawa ketempat lain untuk diinterogasi. Pada satu kejadian seperti ini, dia diperkosa oleh seorang Letnan CPM salah seorang pemimpin kamp tahanan itu. Murni hamil dalam tahanan. Letnan CPM yang memperkosanya diberhentikan. Namun Murni sudah dilanggar kehormatannya. Sebagai seorang wanita dan seorang Mahasiswi yang punya harga diri, Murni merasa telah dipermalukan dan tidak mampu menahan penderitaan lahir bathin. Murni masih juga dalam tahanan selama beberapa tahun. Tidak lama setelah dibebaskan tanpa
pengadilan, dia meninggal dunia. Tidak jelas bagaimana meninggalnya".

Dalam keadaan normal, Murni bukanlah orang yang mudah dilanggar kehormatannya begitu saja. Karena dia termasuk kader IPPI yang kemudian ikut memimpin CGMI cabang Palembang. Selama berada dalam organisasi, dia pernah diberi pengertian tentang moral revolusioner yang perlu dimilikinya sekalipun dalam batas yang minimal. Apalagi dia mendapat pendidikan sebagai calon pendidik anak bangsa.

Hanya di jaman dimana tentara mabuk kekuasaan dan mabuk kemenangan, yang kekuasaannya lebih tinggi dari kekuasaan Yang Maha Kuasa, maka Murni sebagaimana tahanan politik lainnya menjadi manusia yang tak berdaya dan direndahkan mertabatnya sampai lebih rendah dari hewan yang manapun.

Dari pendidikan yang ditempuhnya sejak dia masuk SGB di Tebing Tinggi, terus masuk SGA di Lahat, sampai melanjutkan ke FKIP di Palembang, nampak sekali keinginannya mau menjadi guru, mau menjadi pendidik anak bangsa.Tapi apa hendak dikata, jangankan mendidik anak bangsa, kuliahnya saja tidak selesai nyawa sudah direnggut.

Kisah Murni teman sekampung saya ini hanya salah satu contoh saja dari ribuan korban keganasan rezim orde baru Soeharto.

Setiap kali aku mengingat kisah masa lampau, aku akan selalu terkenang kepada Murni bagaikan sekuntum mawar yang gugur sebelum mekar.


Stockholm, 07-02-03.

CERPEN S. Manap TUKANG NUJUM

S. MANAP
CERPEN TUKANG NUJUM
-------------------
Teman-teman dan sahabat-sahabat.
Anda lelah ? Banyak berdebat politik? Jangan lupa ini akhir Minggu.
Santai-santai sajalah. Sambil bersantai-santai baca sajalah cerpen ini.
Untuk sementara lupakan dulu lawan maupun isi debat politik. Bisa
dilanjutkan pekan depan kan? He.. he.. he ..
S.Manap

* * *

L, demikian nama salah satu kota di Sumatera Selatan. Kota ini tidak
besar, penduduknya tidak banyak. Tapi kalau pusat kota digabungkan dengan
daerah sekitarnya, maka keseluruhan wilayahnya cukup luas. Pusat kota
terutama adalah Pasar Baru, dengan semua pertokoan dan perkantoran,
termasuk
dua gedong bioskop. Pasar Baru sekarang mempunyai sebuah pasar, berupa
gedong bertingkat..

Yang dimaksudkan dengan sekitarnya itu ialah Pasar Bawah, Pasar Lama, L
Tengah, Suka Ratu, Bandar Agung, Gunung Gajah,Talang Srinanti,Talang
Jawa,Talang Ubi dan Talang Banten.

Dulu,Talang Banten merupakan tempat tinggal sejumlah besar anak-anak
sekolah. Baik murid-murid Sekolah Lanjutan Pertama, maupun Sekolah
Lanjutan
Atas, bahkan juga yang masih duduk di Sekolah Rakyat banyak yang bertempat
tinggal di Talang Banten. Talang Banten No.511, akan selalu menjadi
kenangan, di situlah kami bertempat tinggal. Talang Banten hanya
dipisahkan
oleh beberapa rel kereta api saja dari stasiun kereta api kota, yang
merupakan bagian dari pusat kota L.

Konon kabarnya, tempat ini bernama Talang Banten, karena di sini
bermukim pendatang-pendatang dari suku Sunda dan yang terbanyak
berasal dari
daerah Banten di masa penjajahan Belanda dulu. Tetapi kemudian keadaan
berangsur-angsur berubah. Yang selanjutnya berdominasi di daerah ini
adalah
pendatang-pendatang dari suku Jawa. Di samping itu, cukup banyak juga
orang-orang dari suku Melayu dan orang-orang dari Palembang.

Kalau kita perhatikan "pembagian kerja" penduduk Talang Banten pada
waktu itu, gambarannya adalah seperti berikut: tukang kerupuk yang
memproduksi krupuk dan menjualnya berkeliling kota sampai ke pasar-pasar
kota Kecamatan, adalah orang-orang dari suku Jawa. Tukang tempe, yang
menjual tempenya di pasar-pasar, orang Jawa. Tukang pecal, yang dikerumuni
anak-anak sekolah, orang Jawa. Pandai besi, yang membuat kuali besi dan
kompor-kompor minyak tanah, alat pemasak yang lebih mudah
penggunaannya dari
kayu bakar atau arang batu itu, orang Jawa. Buruh-buruh kereta api, dari
masinis, tukang rem, tukang wesel, juga orang Jawa. Hanya penjual
empek-empek di pinggir jalan kereta api di malam hari itu saja yang orang
Palembang. Orang-orang suku Melayu yang tinggal di sini terdiri dari
anak-anak sekolah atau pegawai rendahan atau guru-guru Sekolah Dasar.
Sedangkan orang-orang dari suku Sunda jumlahnya sangat sedikit, bahkan
bisa
dihitung dengan jari. Keluarga Pak Bona adalah salah satu dari keluarga
Sunda itu.

Menurut yang sering dibicarakan orang di Talang Banten, Pak Bona itu
orang penting yang tidak bisa diremehkan. Sebabnya dia bisa membaca
suratan
tangan. Pak Bona bisa mengetahui siapa pencurinya, kalau ada orang yang
kehilangan uang atau barang. Orang-orang yang kehilangan banyak juga yang
datang kepadanya, dengan harapan bisa menemukan siapa pencurinya dan yang
penting, bisa menemukan barang yang sudah hilang itu. Kata orang, Pak Bona
juga banyak memiliki jampi-jampi. Maka itu, kalau orang tidak bisa punya
anak, atau setiap melahirkan lalu anaknya terus mati, atau anaknya
sakit-sakitan, datanglah mereka kepada Pak Bona. Itulah sebabnya, menurut
orang-orang di sekitar itu, Pak Bona itu bukan saja pembaca suratan
tangan,
ahli nujum, tapi juga dukun.

Masri, teman kami yang tamatan SMEP(Sekolah Menengah Ekonomi Pertama)
dan bekerja di Jawatan Pegadaian Negeri yang tidak jauh dari tempat
tinggal
kami, pernah menceritakan pengalaman hidupnya. Menurut Masri, dia
sudah dua
tahun bekeluarga. Baik Masri, maupun isterinya, ingin sekali punya anak.
Terserahlah, anak laki-laki atau perempuan. sama saja, yang penting punya
keturunan, mendengar suara tangis anak sendiri, jangan sunyi sepi seperti
sekarang. Mereka sudah 2 tahun hidup bersama, tapi masih belum juga ada
tanda-tanda yang memperlihatkan bahwa isterinya akan hamil. Mereka berdua
tegiur untuk menghadap Pak Bona, tukang nujum dan dukun kenamaan di Talang
Banten. "Siapa tahu bisa mengetahui hari depan,".kata Masri kepada
isterinya.

Sebagaimana petunjuk orang-orang yang pernah menghadap Pak Bona, Masri
juga menyuruh isterinya menyiapkan segala yang diperlukan.
Keperluan-keperluan untuk menghadap Pak Bona, sebetulnya tidak ada
ketentuan
tertulis, tetapi semua orang tahu dengan sendirinya, berdasarkan
cerita dari
yang menghadap terdahulu.Yang tidak boleh kurang, menurut Masri
berdasarkan
pengalamannya sendiri, yalah: beras ketan hitam empat kaleng susu, telur
ayam kumbang tiga butir, pisang emas satu sisir, tidak perlu dihitung
berapa
buah, sebuah kelapa berjenis hijau. Tentang uang tidak termasuk dalam
ketentuan kebiasaan, tapi kalau ada dan diserahkan, diterima juga.
Maka itu
menurut Masri mereka menyiapkan juga uang sedikit sebagai tambahan, dengan
harapan, siapa tahu, ada jampi-jampi yang tersimpan, yang bisa diucapkan
oleh Pak Bona, berkat tambahan uang sedikit itu.

Setelah menyerahkan beras ketan, telur ayam kumbang, pisang emas,
kelapa hijau, dan uang sedikit, maka Masri dan isterinya disuruh duduk
berdampingan di atas tikar seperti mempelai. Semua barang-barang yang
diserahkan tadi dikumpulkan di satu sudut, tidak jauh dari tempat mereka
duduk. Hanya uang saja yang tidak kelihatan lagi, mungkin langsung masuk
kedalam kantong yang menerima.

Menurut Masri, cara Pak Bona memang sopan sekali. Ketika dia
mengucapkan jampi-jampi, baik Masri mau pun isterinya tidak mengerti
karena
diucapkannya dalam bahasa Sunda. Karena tidak mengerti, maka isteri Masri
makin merasa yakin bahwa tidak lama lagi dia akan segera hamil.
Malahan dia
membayangkan akan menghamilkan anak laki-laki.

Setelah selesai mengucapkan jampi-jampi, Pak Bona berkata
perlahan-lahan, kali ini dalam bahasa Indonesia: "Yang di atas itu belum
menghendaki kalian berbahagia sekarang, tapi di kemudian hari kalian akan
berbahagia juga." Setelah Pak Bona selesai dengan segala pembicaraannya,
Masri dan isterinya pulang dengan perasaan lega dan gembira. Siapa tahu
jampi-jampi yang tidak dimengerti tadi menjadi sumber kebahagiaan di
kemudian hari, pikir mereka berdua.

Masa setahun berlalu begitu saja. Isteri Masri tidak hamil-hamil juga.
Mereka pun mulai berpikir lagi, apa tidak ada lagi jalan lain? Menurut
Masri, dari pada menunggu hasil jampi-jampi, apa tidak lebih baik kalau
mencoba menemui dokter. Mereka pun mengambil keputusan untuk pergi
menghadap
dr Rudio yang berpraktek dari jam 16.00 sore sampai malam di rumahnya yang
berseberangan jalan dengan kantor CPM. Jalan itulah yang di lewati oleh
anak-anak yang pulang pergi dari sekolah.

Masri tidak rela kalau isterinya pergi ke pemeriksaan dokter seorang
diri, sebab semua orang tahu dari kabar yang banyak beredar, bahwa dr
Rudio
itu sambil membuka praktek, juga melakukan praktek yang lain. Ini
dibuktikan
dari hamilnya seorang pasien. Kebetulan saja pasien yang dihamilinya itu,
belum punya suami. Lalu mereka selesaikan persoalannya di Kantor Urusan
Agama. Mereka melakukan apa yang dinamakan orang "kawin kantor." Dengan
begitu, dr Rudio beristeri dua. Sejak itu kata-kata berpoligami semakin
dikenal orang di kota kecil kami, artinya seorang laki-laki beristeri
lebih
dari satu.

Isteri dr Rudio yang pertama tidak dilepasnya, sebab parasnya manis
dan merupakan hasil percintaan dari pandangan mata pertama di masa muda,
sekali pun tidak bisa melahirkan anak. Isterinya yang kedua ini juga harus
dipertahankan, sekali pun hanya didapat akibat dari mata gelap sewaktu
membuka praktek tambahan, sebab dari sini dia bisa mempunyai keturunan.

Pada waktu itu di seluruh kota L hanya ada tiga orang dokter. Di
samping dr Rudio, masih ada dr Mularman, Kepala Rumah Sakit Umum dan masih
ada lagi dr Ghulam Muhammad seorang dokter bantuan PBB yang berkebangsaan
India. Ketiga orang dokter tersebut membuka praktek sore hari di rumah
masing-masing. Dokter Ghulam Muhammmad tidak bisa berbahasa Indonesia, dia
bisa berbahasa Inggris, karena itu dia memerlukan bantuan juru rawat yang
merangkap sebagai penterjemahnya.

Dokter Mularman merasa kecewa dengan adanya peristiwa dr Rudio. Sebab
peristiwa itu bisa mendatangkan ketakutan pada pasien wanita yang mau
datang
ke praktek mereka di sore apa lagi malam hari. Menurut dr Mularman, jangan
sampai mengganggu pasien. Lebih baik menempuh cara dr Ghulam
Muhammmad. Bagi
dr Ghulam Muhammad, ketika ada juru rawat pembantunya mendekat, jangan
mengelak apalagi menjauhkan diri. Sebab kalau dijauhi berarti menolak
rezeki
yang datang sendiri. Dengan cara inilah maka dr Ghulam yang berbulu dada
lebat dan berbadan tinggi itu bisa menggandeng gadis Melayu yang kecil
mungil. Waktu itu semua orang tahu bahwa di kota L sebelum dr Ghulam
datang,
hanya ada seorang saja orang yang dadanya berbulu lebat seperti dr Ghulam,
yaitu seorang laki-laki keturunan India penjual mertabak di Pasar Baru,
yang sering dipanggil orang Tambi. Lama-kelamaan baru orang tahu bahwa
Tambi
itu dalam bahasa Hindu bisa berarti adik.

Kembali kepada soal Masri dan isterinya tadi. Melalui pemeriksaan dr
Rudio, baru diketahui bahwa Tini, isteri Masri, memang kurang sehat dan
perlu pengobatan. Melalui pengobatan inilah baru keinginan mereka mau
mempunyai keturunan dikabulkan oleh "yang diatas itu", seperti yang
dikatakan Pak Bona dulu. Akhirnya Masri berkesimpulan, untuk apa
susah-susah mengumpulkan beras ketan, telur ayam kumbang, pisang emas,
kelapa hijau dulu itu, kalau kebahagiaan cukup didapat melalui pengobatan
dokter? Sejak itulah Masri meragukan kemampuan tukang baca suratan tangan
dan jampi-jampi, sekali pun jampi dalam bahasa Sunda.

Zainal, salah seorang dari anak sekolah yang mangkal di Talang
Banten, malah tidak senang mendengar Pak Bona menjadi termasyhur karena
pandai nujum. Dia ingin sekali membuktikannya. Idenya pun muncul ketika
melihat ayam Pak Bona berkeliaran mencari makan di halaman. Oleh Zainal
dilemparkannya dua butir nasi kering kearah seekor ayam betina. Nasi itu
dimakan oleh ayam betina yang gemuk. Dilemparkannya lagi beberapa butir ke
dekat pintu. Dimakan lagi oleh ayam yang itu juga. Terakhir dihamburkannya
sisa-sisa nasi kering itu kedalam rumahnya. Ayam betina itu terus masuk
mengejar makanan. Zainal menutup pintu. Ayam yang sudah terkurung itu
ditangkapnya. Sayap ayam dilipatkannya supaya tidak menggelepar dan
mengundang bunyi.Untuk mencegah ayam itu tidak berkeok, ditutupnya
keras-.keras paruh ayam tangkapannya. Terakhir ayam itu dipotong dan
dimasaknya. Teman-teman yang mengetahui perbuatannya itu, semua diajaknya
ikut makan., katanya sebagai upah tutup mulut.
Semua yang ikut makan tahu, bahwa harus menjaga kerahasiaan, tanpa
perlu dibicarakan. Sehabis makan, Zainal masih juga berbicara, bahwa semua
yang ikut makan harus membungkam mulut sendiri-sendiri kalau ada keributan
soal hilangnya ayam Pak Bona. Ada yang bertanya kepada Zainal: "Kalau Pak
Bona dengan kemampuan nujumnya bisa tahu, kita harus berbuat apa?" Menurut
Zainal dia bersedia membayar dua kali lipat harga ayam, asal tidak
berurusan
dengan polisi. Tapi Zainal memang yakin "asal semua tutup mulut"sambil
ditunjuknya mulut salah seorang teman yang ikut makan ayam, "nujuman Pak
Bona tidak akan mempan."

Setelah waktu berlalu, Zainal merasa senang karena dia bisa
membuktikan bahwa Pak Bona tukang nujum tersohor itu tidak berdaya mencari
pemakan ayam yang berada di sebelah rumahnya sendiri.
S.Manap