Rabu, 09 Desember 2009

RELIEF BETON PERTAMA INDONESIA SEGERA DI PUGAR


Minggu, 06 Desember 2009 04:48
Oleh Jajang R Kawentar

Relief modern yang dibuat oleh anak bangsa ini ada kemungkinan akan dihancurkan. Relief ini merupakan ungkapan kecintaan anak bangsa sebagai pejuang dalam membangun bangsa dalam seni budaya dan sebagai sebuah manifestasi seni yang tidak tertandingi pada saat itu, karena berbagai keterbatasan pengetahuan dan medianya. Namun begitu hasilnya berkelas dunia. Tetapi sepertinya karya seni ini tidaklah berarti dibanding dengan dunia politik dan korupsi yang berkembang di Indonesia yang carut kemarut.
Saya mendapatkan kesempatan menerima keluh kesah ini dari putra sang pelukisnya dan dari Bambang Suroboyo yang berkesempatan mengunjungi lokasi beserta mendapatkan beberapa fotonya. Tentu sebagai anak bangsa yang juga tergugah dengan perlakuan tidak adil terhadap karya yang luar biasa itu, maka rasanya perlu menggugah para pekerja seni dan budayawan untuk segera menghentikan penghancuran terhadap karya tersebut.
Relief yang terpajang di VIP Room Bandara Kemayoran yang merupakan pintu gerbangnya Indonesia pada masa Soekarno diprakarsai oleh Presiden pertama Indonesia itu dikerjakan oleh guru dari Seniman Indonesia Muda (SIM) pada 1957 diantaranya S Sudjojono, Harijadi S, dan Surono. Murid-muridnya diantaranya para siswa termasuk : Darmi S, Djakaria S, Marah Djibal, Sudariyo, Sudibyo, Chaidir, Darmo S dan masih banyak lagi. Relief ini merupakan relief beton modern pertama di Indonesia, yang ditancang oleh siswa dari SIM hasil dari ujiannya yang terpilih dari sekian banyak siswanya.
Menurut Marah Djibal, ini relief beton modern pertama di Indonesia. Dikerjakan tanpa menggunakan tukang saring/aduk semen pasir, karena pembuatan relief termasuk ujian akhir para siswa, sehingga para siswa bekerja sebagai tenaga bangunan yang harus mengaduk semen dan mengerjakan pembetonan, sekaligus tenaga artistik yang harus memindahkan desain ke atas beton lalu memahat dengan teknik pahatan dalam, bukan dangkal. Tiga disain yang luar biasa direalisir secara luar biasa (!). Proyek relief dibiayai oleh Kantor Djawatan Gedung Gedung.
Masing-masing seniman mengerjakan satu relief yang bertema menggambarkan kekayaan yang dimiliki Indonesia, Sudjojono mengerjakan Manusia Indonesia yang menggambarkan bagaimana rakyat yang sedang membangun, bekerja di berbagai bidang, tergambar tubuhnya yang kekar seperti semangat masanya. Harijadi S, menggambarkan Flora Fauna Indonesia di sana terdapat berbagai tumbuhan dan binatang yang terdapat di Nusantara baik yang di air tawar dan lautan serta yang di darat seperti Harimau, Gajah, Banteng, Babi hutan, Rusa, berbagai macam monyet dan masih banyak lagi. Harijadi S, mengerjakannya dengan detil dan halus. Sementara Surono menggambarkan legenda Sangkuriang, ia seperti sedang bertutur dalam relief tersebut meskipun pengerjaannya tidak sehalus Sudjojono dan Harijadi.
Ukuran karya Sudjojono yang terpambang itu, kira-kira panjang 30 meter tinggi 3m, ukuran karya Harijadi diperkirakan panjang 10 meter tinggi 3 meter dan karya Surono diperkirakan panjangnya 13 meter panjang 3 meter.
Sementara menurut Santu Wirono yang juga pelukis putra dari Harijadi S analisa sederhana saya berbunyi, dikatakan relief beton modern pertama di Indonesia mengingat kesatu : relief tidak terikat pada tradisi relief di Jawa, Bali dan daerah lain yang bernafaskan agama atau kepercayaan. Kedua Soekarno yang Seniman Adiluhung ingin menunjukan Indonesia di hadapan tamu negara dengan sebuah ilustrasi tentang indonesia, melalui media relief beton di halaman terdepan negeri ini.
Relief ini kini dalam keadaan kritis, hendak dibongkar oleh pengelola Bandara Kemayoran tersebut yang berada di bawah Sekretaris Negara seperti yang tertera dalam papan nama, juga berdasarkan keterangan yang didapat dari Satpam seperti dijelaskan oleh Santu Wirono.
“Ukiran itu tidak boleh disentuh,” kata beberapa Satpam yang berada di depan Bandara Kemayoran berulang kali. Seperti diungkapkan Santu Wirono dan Bambang Suroboyo yang menyempatkan datang ke lokasi pada medio Nopember 2009.
Pada masa Orde Baru karya-karya ini hendak diberanguskan, seperti juga karya-karya sastra lainnya. Soekarno pada saat itu berkeinginan untuk mempersembahkan gambar kekayaan Nusantara ini bagi para tamu luar negri. Tidak hanya kekayaan alamnya yang dimiliki tetapi i seni budayanya. Untung saja tidak jadi, namun sekitar 2m relief dijebol juga untuk pintu tangga masuk ke VIP room bandara tersebut.
Pada masa pemerintahan sekarang karya yang merupakan masterpiece Indonesia, akan di hancurkan. Apakah keperdulian negara terhadap hasil karya seni anak bangsa ini memang tidak ada. Harapannya gedung itu menjadi sebuah cagar budaya atau meuseum yang bisa menyimpan karya seni. Paling tidak tempat itu mengingatkan pada bangsa Indonesia bahwa ada anak bangsa yang berhasil menciptakan karya seni yang memiliki tingkat kesulitan tinggi. Yang pada masa sekarang belum tentu bisa terulang kembali.

MEMBACA ISI JOGYA

KETIKA melihat ''Exposigns'', sebuah pameran besar seni visual Indonesia di Jogja Expo Center pada 25-30 November ini, saya benar-benar terpana. Keterpanaan saya itu terkait dengan salah satu kesimpulan dalam penelitian disertasi saya. Salah satu simpulan tersebut berbunyi, ''Perupa-perupa yang dikonstruksikan dalam praktik komodifikasi memperlihatkan modus spesifik, yaitu perupa-perupa yang berlatar belakang pendidikan seni rupa. Modus ini secara nyata menggejala sejak zaman kolonial hingga pascakolonial. Karya-karya pilihan yang dijadikan ikon komodifikasi merupakan karya perupa akademis, sekalipun di luar itu terdapat karya perupa nonakademis. Namun, karya perupa nonakademis makin memperlihatkan gejala menurun sangat signifikan ketika seni rupa kontemporer menjadi pusat wacananya.''
Sebaliknya, perupa-perupa akademis makin mendominasi praktik seni rupa kontemporer dengan basis wacana dan sosial yang kukuh. Itu terbukti dalam medan pasar yang tengah dipraktikkan pada dekade terakhir ini: ''tren'' seleranya terfokus pada karya-karya perupa akademis.
Simpulan itu dibangun dari asumsi dasar bahwa seni rupa kontemporer memiliki basis keilmuan di dalam lingkungan akademis. Artinya, institusi pendidikan tinggi seni rupa -semacam ISI Jogjakarta- memiliki peran yang sangat penting dalam menumbuhkembangkan seni rupa kontemporer, baik dalam konteks wacana maupun praktik. Generasi perupa kontemporer secara ''genetis'' lahir dari lingkungan akademik. Ini dapat dimaknai bahwa pendidikan tinggi seni dalam konteks medan sosial seni rupa kontemporer memegang posisi kunci. Medan sosial seni rupa kontemporer percaya bahwa praktik seni secara ideologis dibangun dari dasar-dasar keilmuan yang jelas, teruji, dan terukur.
Dengan demikian, jangan heran kalau kisah sukses sejumlah nama popular dalam seni rupa kontemporer Indonesia seperti Eddie Hara, Agung Mangu Putra, Nyoman Masriadi, Rudi Mantofani, Dipo Andy, Galam Zulkifli, Yusra Martunus, dan Jumaldi Alfi tidak bisa dilepaskan dari ISI Jogja sebagai ruang pembuka pertama kesadaran baru dalam eksplorasi seni. Di kemudian hari, mereka mengembangkan secara intensif, kemudian direspons pasar habis-habisan. Sayang, karya mereka tidak hadir dalam forum ''Exposigns'' yang teramat penting itu. Saya yakin, para kurator memasukkan nama-nama mereka sebagai peserta pilihan yang diundang. Tapi, entah mengapa mereka tidak bisa ikut?
Ingat, nama besar mereka, diakui atau tidak, ada di dalam bayang-bayang nama besar ISI Jogjakarta, tanpa bisa dielakkan. Tanpa sentuhan pendidikan yang mereka alami di ISI, saya tidak yakin apakah mereka akan bisa mencapai puncak kesuksesan seperti yang mereka nikmati sekarang. Dalam konteks ini, kita tahu bahwa kontribusi pendidikan seni rupa merupakan ruang ''provokasi'' untuk membongkar potensi individu agar tumbuh dan berkembang sesuai dengan kodrat seni yang dimiliki serta dieksplorasi terus-menerus dalam ruang sosio-kulturalnya.
Ditilik dari perspektif ini, ''Exposigns'' tampaknya sebuah pameran yang ingin menegaskan kontribusi pendidikan yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Pameran itu merupakan even yang diniatkan untuk mempertegas ISI Jogjakarta sebagai basis intelektual dan basis historis dalam dunia seni rupa Indonesia secara luas. Bukti-bukti ke arah itu jelas nyata. Pameran tersebut menampilkan 551 peserta dengan 600 karya lebih, dan dipresentasikan secara kolosal di sebuah tempat prestisius, Jogja Expo Center, 25-30 November 2009. Di antara sekian nama itu, tertera nama-nama besar yang menjadi ikon dalam sejarah seni rupa modern Indonesia. Antara lain, Affandi, Gambir Anom, Abas Alibasyah, Amri Yahya, Fadjar Sidik, Djoko Pekik, Edhi Soenarso, Hendra Gunawan, dan Widayat. Juga, nama-nama popular dalam seni rupa kontemporer seperti Heri Dono, Nyoman Erawan, Nasirun, Entang Wiharso, Putu Sutawijaya, Pande Ketut Taman, Ugo Untoro, Nurkholis, Rinaldi, Riduan, Tommy Wondra, dan Suraji.
***
Memang, pameran gigantik selalu menebarkan sejumlah risiko. Risiko utamanya adalah terpusat pada kontribusi historis dan makna kulturalnya. Apakah pameran ''Exposigns'' merepresentasikan eksplorasi visual yang dapat dibaca sebagai perkembangan sejarah seni rupa modern/kontemporer di Indonesia? Tentu, yang dimaksudkan perkembangan sejarah itu mulai keragaman gaya, medium, teknik, ekplorasi tematik, latar belakang historis, hingga menyentuh soal koneksitasnya dengan medan sosial seni yang juga secara linier berkembang relatif cepat. Hal itu secara jelas digarap oleh tim kurator secara cukup jeli sehingga kita mendapat horison yang luas tentang sebuah representasi historis dari sebuah lembaga pendidikan tinggi seni di Indonesia. Ragam karya yang disajikan menggambarkan betapa ISI selalu merespons berbagai isu atau paradigma seni yang tengah berkembang dan manjadi isu pokok dalam setiap ruang dan waktu.
Namun, kita tahu, yang berkembang secara cepat setelah era 1980-an di luar institusi pendidikan, yaitu infrastruktur pasar, tanpa diikuti secara seimbang infrastruktur wacananya. Dari sini, kita sadar, seni rupa modern/kontemporer di Indonesia ternyata berkembang secara asimetris. Praktik seni berkembang begitu cepat dengan menyodorkan berbagai fenomena, sedangkan pembacaan kritis menjadi makin tampak mandul. Praktik kritik seni seperti terimpit oleh hiruk pikuk pasar yang cenderung pragmatis, sekalipun harus diakui pasar juga punya peran penting dalam mendorong eksplorasi kreatif para perupa.
Pameran yang dibuka Mendiknas Prof Dr Ir H Mohammad Nuh DEA dan disaksikan ribuan pengunjung yang datang dari berbagai kota itu makin menunjukkan bahwa ISI Jogja tak bisa dielakkan sebagai medan magnet yang punya pengaruh besar dalam dunia seni rupa di negeri ini. Dalam arti luas, ISI dengan ''Exposigns'' yang diselenggarakan dalam rangka dies natalis ke-25 memperlihatkan bahwa dari entitas pendidikan, hampir semua eksplorasi seni visual modern/kontemporer dapat dirunut posisi historiografisnya. Posisi tersebut penting. Sebab, dari situlah segala hal yang terkait dengan sejarah -baik secara konseptual, artefak, maupun sosial- dapat dibaca maknanya. Sebab, dari posisi itu, segala referensi perkembangan seni rupa dapat diunduh secara empiris dan teoritis.
Namun, sekali lagi, sayang, peran penting institusi pendidikan seperti ISI Jogjakarta seperti terlepas dari mata rantai dalam jejaring di medan sosial seni. Institusi ini hanya tampak sebagai ''ruang antara'' yang dimanfaatkan makna legendanya dalam konteks pasar. ISI Jogja menjadi semacam "branding" untuk meningkatkan ''pamor'' sang perupa ketika berelasi dengan medan pasar yang memang memerlukan sejumlah ''branding'' guna kepentingan pasar atau kepentingan-kepentingan lain yang dianggap bermakna.
Ini memang sebuah fakta paradoks. Kalau hal demikian itu terjadi terus-menerus, kita memang susah membayangkan di masa mendatang, di ISI Jogja akan ada sebuah gedung yang bernama ''Gedung Masriadi'', ''Ruang Putu Sutawijaya'', ''Selasar Wiyanta'', ''Auditorium Dipo Andy'', ''Boulevard Handiwirman'', ''Galeri Alfi'', dan sebagainya. Artinya, bangunan-bangunan tersebut menjadi tetenger historis bahwa bangunan itu didirikan atas kontribusi seorang alumnusnya yang punya nama besar. Walaupun, nama-nama tersebut tidak perlu hadir secara eksplisit dalam tiap ruang atau bangunan yang didirikan. Tentu, itu hanya sebuah contoh bagaimana agar mata rantai tersebut tidak tampak terputus. Kalau hal itu terjadi, saya yakin ISI Jogja akan menjadi medan magnet yang susah ditandingi dalam konteks pendidikan tinggi seni rupa di Indonesia. ISI Jogja melalui ''Exposigns'' terbukti melahirkan nama-nama besar dalam sejarah seni rupa Indonesia. Tak hanya perupa, tapi juga pemikir seni, penulis seni, kurator, sejarawan seni, peneliti seni, dokumentator seni, wartawan seni, birokrat seni, hingga pengusaha seni. Fakta-fakta itu tak terbantahkan! ( Djuli Djatiprambudi )
Sumber: Sumatra Ekspres

Selasa, 17 November 2009

”Cicak Nguntal Baya”

Rabu, 18 November 2009 | 07:58 WIB

”Ya iki buntutku, kok pidak siji dadi sewu:
Ya iku sing jenenge aji candrabhirawa, ajine wong cilik. Saya mbok idak, saya brontak.
Saya mbok pateni, saya urip.
Saya mbok apusi, saya lantip ing budi.
Ya iku mau sing jenenge people power, he baya”.

(Sindhunata, ”Cicak Nguntal Baya”)

KOMPAS.com — Pergerakan cicak-cicak di Jakarta dan kota lain bisa jadi memang tidak selincah sebelumnya, seperti dikatakan guru besar Ilmu Kepolisian Universitas Indonesia, Bambang Widodo Umar. Namun, tidak di Yogyakarta. Napas panjang menuntut ditegakkannya keadilan tengah disiapkan.

Persiapan itu ditandai dalam Brebeg Seni di Kapitroekan Karang Klethak, Wonorejo, Hargobinangun, Pakem, Sleman, Sabtu (14/11) malam. Puisi Sindhunata yang dibacakannya sendiri dari panggung dan dihadiri ratusan warga dan seniman itu adalah awalnya.

Penggal puisi jawaban cicak atas pertanyaan buaya yang meremehkan kemampuannya itu lebih kurang artinya, Ya ini ekorku, jika diinjak satu tumbuh seribu: Ya ini yang dinamakan senjata candrabhirawa, senjatanya orang kecil. Makin diinjak makin berontak. Makin dibunuh makin hidup. Makin ditipu makin pandai. Ya itu tadi yang namanya people power, hai buaya.

Sementara budayawan Sindhunata membacakan puisi panjangnya, tiga perupa, yaitu Djoko Pekik, Teddy, dan Putu Sutawijaya, menggambar di kanvas ukuran 2 x 3 meter. Temanya tunggal, ”Cicak Nguntal Baya”. Hujan yang turun tidak menghentikan kegiatan tiga perupa di alam terbuka itu.

Sambil ketiga perupa itu terus menggambar, ruwatan dilakukan dengan membongkar dan melempar kulit ketupat. Dari atas panggung, para seniman kemudian melemparkan beras kuning bersama uang receh ke arah penonton yang segera berebut memungut recehan.

Konflik antarlembaga yang melibatkan Komisi Pemberantasan Korupsi dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, menurut Sindhunata, sekadar pemicu untuk menumbuhkan penyadaran sosial yang lebih besar. Ruwatan yang digelar tidak sekadar ruwatan batin, tetapi lebih pada ruwatan sosial.

”Gerakan sosial tidak mungkin tanpa penyadaran. ’Cicak Nguntal Baya’ adalah penyadaran tentang kekuatan orang kecil,” ujar Sindhunata.

Cenderung lupa

Sebelumnya, dengan kebaya merah yang membalut tubuhnya, politisi Rieke Dyah Pitaloka membacakan orasi budaya. Rieke, yang lebih dikenal masyarakat desa sebagai Oneng dalam serial komedi televisi yang dibintanginya, menyerukan perlawanan terhadap korupsi dan perilaku koruptif lainnya.

”Kekuasaan memiliki watak arogan yang cenderung lupa pada amanah rakyat. Ketika kekuasaan menjadi lupa, maka tugas kebudayaanlah untuk mengingatkan. Politik tanpa kebudayaan seperti cicak tanpa dinding, seperti buaya tanpa sungai,” ujar Rieke.

Melalui Brebeg Seni yang diserukan dari perbukitan dengan bantuan angin dari sela-sela rumpun bambu, seniman ingin dengan segala kemampuannya hendak menyampaikan penyadaran sosial. Rakyat yang selama ini dilecehkan hendak disadarkan akan kekuatannya. Yang besar tak harus menindas yang kecil. Yang kecil punya kekuatan untuk menelan yang besar.

Ketika hujan mulai deras, Marzuki bersama Jogja Hip Hop Foundation tampil. Kritik kepada seniman yang memburu kapital dan melupakan tugas seni disampaikan lewat lagu ”Jula Juli Lolipop”.

Bersama Soimah Pancawati, yang kembali ke Yogyakarta tiap akhir pekan setelah kesibukannya di Jakarta, Marzuki menyanyikan secara hip hop lagu berjudul ”Cicak Nguntal Boyo”.

Karena hujan turun, meski ratusan penonton di tengah rimbunnya tanaman tidak beranjak, Marzuki dan Soimah tampil dengan payung.

”Biar rakyat bergembira, biar kami yang menderita,” ujar mereka disambut tawa dan tepuk tangan.

Butet Kartaredjasa dan Djaduk Ferianto yang datang malam itu bersama puluhan seniman turut memberikan semangat dari tempat mereka menonton.

Teriakan-teriakan yang menyemarakkan acara membuat tontonan untuk penyadaran itu menyatu dan terasa mengalir tanpa ada kesan paksaan.

Penyadaran sosial

Meskipun tempatnya terpencil, sekitar 22 kilometer dari Kota Yogyakarta melalui Jalan Kaliurang, kemeriahan untuk penyadaran sosial itu bisa dilakukan dan diharapkan bergelombang.

Obor bambu menjadi penunjuk jalan ketika para penonton meninggalkan jalan besar menuju tempat perhelatan. Sebagian warga sekitar menyambut dengan menjajakan berbagai makanan desa untuk kudapan.

Warga sekitar yang hadir malam itu, seperti Ngadiman (50), mengaku ikut geram dengan perseteruan cicak lawan buaya.

Meski tinggal di pelosok pedesaan, dia selalu mengikuti perkembangan terbaru dari perseteruan tersebut di televisi.

”Kami orang kecil bisanya ya hanya geleng-geleng kepala melihat dan menyaksikan para petinggi di televisi,” ujar Ngadiman.

Djoko Pekik yang melejit lewat lukisan ”Berburu Celeng” menjelang peristiwa 1998 juga geram.

Di mata Djoko Pekik, para petinggi negara dilihatnya seperti tukang parkir dan preman. Hanya tukang parkir dan preman yang kerjaannya berebut lahan.

Berbeda dengan ruwatan desa yang hasilnya bisa segera dilihat dengan terciptanya keamanan lingkungan, dampak ruwatan ”Cicak Nguntal Baya” ini mungkin tidak segera dapat dirasakan.

Dengan gelaran ruwatan, muncul secercah penyadaran yang diharapkan mampu menumbuhkan gerakan sosial.

Warga pedesaan pun memperoleh secuil hiburan dan kesempatan menertawakan perilaku para pejabat dari gelaran ruwatan. Dari desa kecil di lereng Gunung Merapi, dengan bantuan angin dari sela-sela rumpun bambu setelah hujan, seruan dilantangkan.

Cicak-cicak belum mati. Kalaupun diinjak, ekornya akan tumbuh lagi, bahkan sampai seribu kali.

”Ya iku mau sing jenenge people power, he baya
Nadyan lembut tan kena jinumput, gedhene ngebaki jagad
Mula sanadyan aku mung cicak
Aku bisa nguntal kowe, wong gedhemu luwih cilik tinimbang jagad saisine”.

(Wisnu Nugroho/ Mawar Kusuma)
Sumber: Kompas

Kepahitan bila berlalu


Pengantar Buku Puisi-puisi dari Penjara S. Anantaguna

oleh Asep Sambodja

Kepahitan bila berlalu
Jadi lagu sangat merdu
(“Sisi yang Cerah”)

Pada mulanya adalah ketidakadilan. Sehari setelah Presiden Soekarno mengeluarkan Surat Perintah 11 Maret yang berisi perintah pengamanan, dan bukannya transfer of authority, Soeharto mengeluarkan surat keputusan No. 1/3/1966 yang berisi: 1) membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI) termasuk bagian-bagian organisasinya dari tingkat pusat sampai ke daerah beserta semua organisasi yang seazaz/berlindung/bernaung di bawahnya. 2) menyatakan PKI sebagai organisasi terlarang di seluruh wilayah kekuatan negara Republik Indonesia (Adam, 2009; Samsudin, 2005).
Menindaklanjuti surat keputusan itu, pada 5 Juli 1966, Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) yang diketuai A.H. Nasution mengeluarkan Tap MPRS No. XXV/MPRS/1966 yang berisi pembubaran PKI, pernyataan sebagai organisasi terlarang di seluruh wilayah Negara Indonesia bagi PKI dan larangan setiap kegiatan untuk menyebarkan, mengembangkan faham, atau ajaran komunisme/marxisme-leninisme (Samsudin, 2005).
Apa implikasinya? Negara berusaha mencuci-tangan dengan apa yang telah dilakukan oleh Soeharto dan algojo-algojonya dalam massacre yang terjadi pascaperistiwa G30S 1965. Pembantaian atas sekitar setengah juta orang di Indonesia dalam jangka enam bulan sejak Oktober 1965 hingga Maret 1966 adalah tragedi paling besar dalam sejarah Indonesia modern (Cribb, 2005). Sebelum PKI dilarang, banyak anggotanya yang dibunuh, ditangkap, disiksa, ditahan bertahun-tahun tanpa proses pengadilan.
Soal jumlah yang pasti mengenai korban yang mati memang belum jelas, karena negara sendiri mencoba menyembunyikan peristiwa berdarah ini dalam kolong sejarah bangsa Indonesia. Tapi, sebagaimana Robert Cribb, Ricklefs (2005) juga menyebutkan bahwa jumlah anggota PKI yang dibunuh sedikitnya 500.000 orang. Harian Kompas, 13 Agustus 2001 menyebutkan korban yang meninggal dalam pembunuhan massal 1965-1966 hingga satu juta jiwa. Sarwo Edhie Wibowo, Komandan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) yang memimpin pembantaian massal di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali itu bahkan mengklaim telah membunuh tiga juta orang komunis (Ricklefs, 2005; Aleida, 2009).
Selain itu terjadi penangkapan disertai penyiksaan dan penahanan terhadap orang-orang PKI yang semuanya tanpa proses pengadilan. Harus dicatat di sini bahwa penangkapan, penyiksaan, dan penahanan itu tidak melalui proses pengadilan. Ricklefs (2005) menyatakan sedikitnya ada 100.000 orang yang diperlakukan secara aniaya seperti itu. Kompas menyebutkan ada 700.000 orang yang dizalimi. Mereka memenuhi penjara-penjara yang ada di Jawa dan sebagian dibuang ke Pulau Buru.
Terkait dengan hal itu, perempuan-perempuan aktivis yang tergabung dalam Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) justru mengalami penderitaan yang berlipat-lipat. Mereka tidak saja ditangkap dan ditahan, tetapi juga diperkosa berkali-kali di dalam penjara. Testimoni yang mereka berikan terekam dengan baik dalam buku Suara Perempuan Korban Tragedi 65 karya Ita F. Nadia (2008).
Melihat peristiwa ini, Amerika hanya menutup mata. Bahkan mereka merasa gembira karena Soeharto telah berhasil menyingkirkan kekuatan sayap kiri di Indonesia. John Roosa menulis, “Washington sangat gembira ketika tentara Soeharto mengalahkan G30S dan merangsak menghantam kaum komunis. Ketidakberpihakan Soekarno dalam perang dingin dan kekuatan PKI yang semakin besar telah dibikin tamat dengan sekali pukul. Tentara Soeharto melakukan apa yang tidak mampu dilakukan negara boneka AS di Vietnam Selatan meskipun telah dibantu dengan jutaan dolar dan ribuan pasukan AS, yaitu menghabisi gerakan komunis di negerinya” (Roosa, 2008).
Sastrawan-sastrawan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang berafiliasi dengan PKI mengalami nasib sial. Pramoedya Ananta Toer, Putu Oka Sukanta, Hersri Setiawan, dan S. Anantaguna—untuk menyebut beberapa nama saja—mengalami penganiayaan oleh Rezim Orde Baru. Sebagai anggota Lekra, Putu Oka Sukanta dipenjara Rezim Orde Baru selama 10 tahun (1966-1976) tanpa diadili (Sukanta, 2008). S. Anantaguna sendiri mendekam di penjara selama 13 tahun (1965-1978) juga tanpa diadili dan tidak tahu kesalahannya apa.
Pramoedya Ananta Toer mengatakan dalam esainya, “Saya Bukan Nelson Mandela”, bahwa ia dibebaskan dari Pulau Buru pada 21 Desember 1979 dengan membawa selembar kertas yang menyatakan dirinya tidak terlibat dalam G30S. Namun, tidak ada proses hukum untuk merehabilitasi namanya. Negara tidak merehabilitasi dan tidak memberikan kompensasi kepada orang-orang PKI, termasuk sastrawan-sastrawan Lekra, yang telah mengalami penganiayaan selama bertahun-tahun tanpa proses pengadilan itu. Khusus untuk sastrawan Lekra, mereka tidak saja ditahan, melainkan buku-buku mereka juga dinyatakan terlarang. Yang terjadi kemudian adalah karya-karya mereka lenyap dari buku sejarah sastra Indonesia (Sambodja, 2009). Mereka adalah orang-orang yang dizalimi bahkan sampai saat ini, karena Tap MPRS No. XXV/MPRS/1966 itu belum dicabut.
Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), yang juga mantan Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) meminta maaf kepada Pramoedya Ananta Toer sebagai simbol korban pembantaian massal yang pernah dilakukan negara terhadap rakyatnya sendiri (Kompas, 15 Maret 2000). Goenawan Mohamad, Pemimpin Redaksi Majalah Tempo yang juga sastrawan Manifes Kebudayaan (Manikebu), menyayangkan sikap Pramoedya Ananta Toer yang tidak meniru sikap Nelson Mandela yang melakukan rekonsiliasi dengan Rezim Apartheid di Afrika Selatan yang pernah menindas Mandela (Mohamad, 2004). Menurut Pramoedya Ananta Toer, permintaan maaf Gus Dur itu hanya basa-basi, karena permintaan maaf itu tidak disertai dengan ketetapan MPR/DPR. Sekarang kita pertanyakan kembali: bisakah anggota DPR dan MPR yang sekarang ramai dengan artis-artis sinetron dan pelawak-pelawak itu bisa mewujudkan penegakan hukum di negeri ini—di tengah genggaman dan kekangan mafioso peradilan? Apakah mereka punya hati nurani? Apakah mereka punya nyali?
Puisi-puisi Sabar Anantaguna atau yang lebih dikenal dengan S. Anantaguna ini seperti mengekalkan kezaliman yang diwarisi Rezim Soeharto, yang tangannya berlumuran darah. Penuh darah rakyatnya sendiri. Yang dihasilkan Anantaguna sungguh luar biasa; suara yang dikeluarkannya seperti suara nabi. Mungkin ini terdengar agak berlebihan. Tapi, kalau melihat penganiayaan yang dilakukan Rezim Soeharto kepada orang-orang PKI, termasuk sastrawan-sastrawan Lekra, maka yang mereka alami itu lebih memiriskan hati. Dalam pembicaraan dengan mantan-mantan tahanan politik (tapol) yang tergabung dalam Lembaga Pembelaan dan Rehabilitasi Korban Rezim Orde Baru (LPR KROB), seorang di antaranya mengatakan bahwa penyiksaan yang mereka alami lebih sadis dibandingkan dengan penderitaan yang dialami Nabi Isa. Benarkah? Wallahualam bissawab. Tapi, kalau membaca puisi-puisi S. Anantaguna, kehidupan mereka di dalam penjara Orde Baru itu sebenarnya sudah berada di ujung tubir antara hidup dan mati.

Yang Diburu Juga Memburu

Mimpi yang ditimang
malam dengan bintang
Mimpi yang diemban
malam pesta bulan
mengadu rindu

Hati digoncang banting antara hidup dan mati
diburu tetapi juga ditakuti tak bisa mati

Mimpi yang diayun
angin bau embun
Mimpi sesah
angin dari lembah
menambah indah

Di bumi sepi diburu hidup dan mati
menerawangi hati mencari makna tanpa nyanyi


Puisi “Yang Diburu Juga Memburu” menggambarkan betapa batas antara hidup dan mati memang lebih tipis dari kulit bawang. Terkadang manusia merasa diburu kematian sebagaimana Chairil Anwar mengatakan dalam puisi-puisi akhirnya, “hidup hanya menunda kekalahan” (Anwar, 1990). Tapi, terkadang pula manusia memburu kematian itu jika berada dalam titik nadir kehidupannya. Barangkali kematian menjadi demikian indah jika harga diri sebagai manusia telanjur disampahkan. Di sisi lain, orang-orang yang mampu bertahan dalam ujian yang maha berat itu akan merasai makna kehidupan itu sendiri.

Kepedasan Hidup

Bila buah cabe bermatangan, dik, petiklah
biar pohonnya tidak cepat mati
bila hati matang, dik, petiklah
seperti kecapi
Biar hidup tidak kehilangan arti

Meski megap-megap hidup diarungi
Mengapa berjawab mati
Dari ujung kembali ke pangkal
kita kejar soal
memecahkan soal melahirkan soal

Betapa hati berdegup
merebut kualitas hidup
Awan tidak peduli
kita hidup atau mati

Bila buah cabe bermatangan, dik, petiklah
biar pohonnya tidak cepat mati
Bila hati mematang, dik, petiklah
seperti kecapi
Tanpa persoalan hidup ini sudah mati!

S. Anantaguna berupaya untuk menikmati hidup ini. Melalui puisi “Kepedasan Hidup”, Anantaguna ingin mengatakan dua hal. Pertama, ia yang telah menjalani sebagai tahanan selama 13 tahun tanpa proses hukum, mengerti benar kerasnya atau pedasnya kehidupan. Kedua, pedasnya hidup itu menjadi pengalaman sekaligus pelajaran yang sangat berharga. Kalau hal itu dianggap sebagai persoalan, maka persoalan itu harus ditaklukkan. Dan sejatinya kehidupan tanpa ada persoalan seperti hampa saja, sebagaimana dikatakan penyair, bahkan tak beda dengan kematian itu sendiri. Puisi “Sisi yang Cerah” yang saya kutip di atas, yang saya ibaratkan seperti suara nabi, menegaskan pada pembaca bahwa keberhasilan kita melalui segala rintangan, penderitaan, kepahitan, maka yang dirasakan kemudian adalah keindahan. Anantaguna menuliskannya dengan sangat indah: “Kepahitan bila berlalu, jadi lagu sangat merdu”.
Kini, setelah melalui masa-masa sulit itu, Anantaguna merefleksikan peristiwa yang membuatnya berada di titik nadir itu dengan bersahaja. Kebersahajaan itu terbaca dari puisi-puisinya yang menertawakan keadaan, menertawakan kehidupan, bahkan menertawakan diri sendiri. Anantaguna sudah memasuki tahap yang sangat matang, sehingga dengan mudahnya ia memetik buah pengalamannya itu. Puisi-puisi yang lahir dari tangannya adalah puisi-puisi yang bergizi.

Interogasi

Siapa namamu
namaku cinta

Di mana rumahmu
di hati manusia

Apa pekerjaanmu
memperindah dunia

Apa duniamu
kamar tiga kali dua
kalau sakit tidak diperiksa
tidak sakit malah diperiksa

Siapa temanmu
tak tahu

Harus tahu!
baiklah kalau harus menipu

Siapa menipu!
boleh jabat tangan seri satu-satu


Luar biasa! Saya menempatkan sastrawan-sastrawan Lekra ke tempat yang terhormat kembali. Dalam pandangan saya, posisi mereka sebagai sastrawan senantiasa berada di tengah-tengah rakyatnya. Ada kewajiban bagi sastrawan Lekra untuk benar-benar menyelami dan menghayati penderitaan masyarakat yang ada di lingkungannya dan kemudian mereka mengartikulasikan apa yang dirasakan rakyat melalui karya-karyanya. Di sinilah saya melihat para sastrawan berjasa dalam hal memperkaya kebudayaan bangsanya. Mereka turut serta membangun monumen peradaban bangsa.
Penyair-penyair salon tidak akan menghasilkan karya seperti itu, karena mereka tidak mau “turba”, tidak mau berkeringat dan kerja keras menyuarakan kebenaran hakiki yang bersemayam dalam jiwa dan hati orang-orang kecil. Bukankah Tuhan sendiri berada dalam diri orang miskin, lemah, duafa? Sebagaimana hadits nabi Muhammad, “Carilah Aku di tengah-tengah kaum duafa. Bukankah kalian ditolong dan diberi rizki karena bantuan orang-orang duafa?” (Rakhmat, 1991).
Sungguh mengherankan bagi saya bagaimana Taufiq Ismail melalui buku Prahara Budaya menyudutkan sastrawan-sastrawan Lekra untuk lebih terperosok lagi. Dalam buku yang disuntingnya bersama D.S. Moeljanto itu, Taufiq Ismail berupaya keras menaut-nautkan karya para sastrawan Lekra dengan peristiwa G30S. Ini, misalnya, tampak ketika ia menginterpretasi puisi Mawie Ananta Jonie yang berjudul “Kunanti Bumi Memerah Darah” dan esai Pramoedya Ananta Toer yang berjudul “Tahun 1965 Tahun Pembabatan Total” (Moeljanto, 1995). Padahal, kalau kita kaji dua tulisan itu dengan hati bersih, maka tidak ada sama sekali kata atau kalimat atau simbol dalam karya mereka yang mengarah ke peristiwa berdarah itu (Sambodja, 2009).
Saya pikir aneh kalau Taufiq Ismail berasumsi atau malah menuduh sastrawan-sastrawan Lekra itu terlibat dalam G30S. Apa bukti mereka terlibat dalam peristiwa itu? Apa pula bukti perempuan-perempuan Gerwani terlibat dalam penculikan dan pembunuhan itu? Bukankah perempuan-perempuan itu ditelanjangi secara paksa oleh tentara, dan bukannya menari telanjang sebagaimana yang dimitoskan selama ini? (Roosa, 2008; Nadia, 2008; Poesponegoro, 1984). Apa pula bukti keterlibatan ratusan ribu anggota PKI yang dibunuh tentara dan milisi antikomunis dalam peristiwa itu? Siapa sebenarnya Letkol Untung Samsuri dan Kolonel Abdul Latief itu? Bukankah mereka teman dekat Soeharto sendiri? (Adam, 2009).
Tentu saja kita bersyukur atas terbitnya buku-buku sejarah yang memberikan perspektif yang baru seperti itu; tidak melulu dari kacamata penguasa. Kita juga bersyukur atas terbitnya buku Lekra Tak Membakar Buku yang memberikan gambaran mengenai sastrawan dan seniman Lekra secara proporsional sebagai komplemen terhadap buku Prahara Budaya. Demikian juga dengan terbitnya buku Gugur Merah dan Laporan dari Bawah yang sedikit banyak menyelamatkan aset budaya bangsa yang selama ini diberangus Rezim Orde Baru (Yuliantri, 2008).
Lahirnya Puisi-puisi dari Penjara S. Anantaguna ini menjadi bukti bahwa kebenaran tidak bisa dimusnahkan dari muka bumi. Sebagai penyair, Anantaguna tidak perlu lagi berpura-pura menyuarakan penderitaan orang lain, karena pengalaman yang dialami Anantaguna merupakan ujian yang maha berat, sebagaimana tokoh-tokoh besar yang keluar dari kawah candradimuka. Maka, apa yang dituturkan Anantaguna adalah suara-suara yang di dalamnya terpancar kasih Ilahi. Saya kutip sebuah puisi Anantaguna untuk mengakhiri pengantar ini.

Catatan

Menghidupi hidup
menghayati hati

Angin merunduk
memeluk bumi

Kecup hidup
sampai mati


Citayam, 15 November 2009


Acuan
Adam, Asvi Warman. 2009. Membongkar Manipulasi Sejarah. Jakarta: Kompas.
Aleida, Martin. 2009. Mati Baik-baik, Kawan. Yogyakarta: Akar Indonesia.
Anwar, Chairil. 1990. Aku Ini Binatang Jalang. Jakarta: Gramedia.
Cribb, Robert. 2005. “Tragedi 1965-1966 di Indonesia”, dalam Christine Clark et.al. Di
Ujung Kelopak Daunnya Tetap Ada Airmata. Yogyakarta: Buku Baik.
Moeljanto, D.S. dan Taufiq Ismail (ed.). Prahara Budaya. Bandung: Mizan.
Mohamad, Goenawan. 2004. Setelah Revolusi Tak Ada Lagi. Jakarta: Alvabet.
Nadia, Ita F. 2008. Suara Perempuan Korban Tragedi 65. Yogyakarta: Galang Press.
Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto. 1984. Sejarah Nasional
Indonesia VI. Jakarta: Balai Pustaka.
Rakhmat, Jalaluddin. 1991. Islam Alternatif. Bandung: Mizan.
Ricklefs, M.C. 2005. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Jakarta: Serambi.
Roosa, John. 2008. Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta
Suharto. Jakarta: Institut Sejarah Sosial Indonesia dan Hasta Mitra.
Sambodja, Asep. 2009. “Historiografi Sastra Indonesia 1960-an: Pembacaan Kritis
Karya-karya Sastrawan Lekra dan Manikebu dengan Perspektif New Historicism.” Monografi. Belum diterbitkan.
Samsudin. 2005. Mengapa G30S/PKI Gagal?. Jakarta: Buku Obor.
Sukanta, Putu Oka. 2008. Surat Bunga dari Ubud. Depok: Koekoesan.
Yuliantri, Rhoma Dwi Aria dan Muhidin M. Dahlan. 2008. Lekra Tak Membakar Buku.
Yogyakarta: Merakesumba.
Sumber: Tag dari FB Asep Samboja

Jumat, 13 November 2009

TKI

Tukang Kebun Indonesia

Sabtu, 14 November 2009 | 02:59 WIB

Budiarto Shambazy

Tanggal 14 Desember 2009 pas 40 tahun kematian Soe Hok Gie di Gunung Semeru, Jawa Timur. Kami alumni Universitas Indonesia mempersiapkan buku Soe Hok Gie Sekali Lagi yang dirilis 18 Desember dan ”Napak Tilas Soe Hok Gie” yang diadakan Komunitas Kelompok Pencinta Alam Malang/Mapala UI di Gunung Semeru pada 20 Desember.

Justru setelah tutup usia dalam usia 27 tahun, banyak yang sadar bahwa ia pejuang konsisten. Banyak yang mafhum bahwa saat sebagian besar mahasiswa menikmati bulan madu bersama Orde Baru, ia justru keluar dari magnet kekuasaan.

Predikat konsisten itu menempel pada diri dan aktivitas Hok Gie karena tiga hal, yakni ia pribadi baik, bersih, dan pemberani. Ia memimpin mahasiswa yang pada hari-hari Januari 1966 menggalang kekuatan memprotes Presiden Soekarno di Istana Bogor. Namun, yang ia protes bukan pribadi Bung Karno, melainkan Orde Lama.

Ia tetap bersimpati terhadap sosok Bung Karno sebagai pribadi, yang ia tegaskan melalui pernyataan atau artikel di koran. ”Saya katakan bahwa Bung Karno telah menyengsarakan rakyat. Tetapi, itu tidak berarti bahwa penentang-penentang Bung Karno pahlawan pembela rakyat. Banyak di antara mereka yang bajingan dan oportunis,” katanya.

Sikap tak pandang bulu Hok Gie, misalnya, ditunjukkan tahun 1968, tak lama setelah Soeharto jadi presiden. Ia menggalang mahasiswa dan alumni memprotes Kodam V Jaya yang mau mengooptasi aspirasi kampus melalui siaran RUI (Radio UI). Old habit die hard!

Sekalipun ikut berjasa membidani kelahiran Orde Baru, Hok Gie memilih jadi dosen sejarah di Fakultas Sastra UI. Ia masih teramat belia dan punya peluang merebut posisi politik menguntungkan. Namun, ia lebih suka menyendiri ke puncak gunung menemukan kedamaian hati.

Kami angkatan 1970-an ke atas yang aktif di Dewan Mahasiswa, Majelis Permusyawaratan Mahasiswa, Senat Mahasiswa, dan Badan Perwakilan Mahasiswa UI ”mengenal” Hok Gie dari buku, artikel, dan cerita. Kami tahu ia konsisten karena ia mempelajari sejarah bangsanya.

Ketika para pemuda/mahasiswa mengucapkan Sumpah Pemuda, dunia relatif makmur. Tekad menyatakan ”Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa” merupakan kulminasi dari perjuangan bangsa-bangsa yang ingin melepaskan diri dari penjajahan. Begitu banyak kebetulan sejarah yang terjadi saat dimulainya abad ke-20.

Asia bangga Jepang mengalahkan Rusia dalam perang 1905 walau militerisme Jepang tak kuasa menahan nafsu menjajah China dan Korea. Perang Dunia I 1914 mengubah perimbangan kekuatan Eropa. Negara-negara di benua tua itu mempertahankan stabilitas dan perdamaian sambil melanjutkan dominasi kultural di negara jajahan.

Namun, akhirnya mereka bersaing sendiri. Mereka mengaku beradab dan demokratis, tetapi dipermalukan sendiri oleh fasisme Perdana Menteri Italia Benito Mussolini dan ambisi ekspansionis Kanselir Jerman Adolf Hitler. Amerika Serikat mengakhiri netralitas saat Presiden Woodrow Wilson menyeret negaranya ke Perang Dunia I.

Setahun setelah Sumpah Pemuda, Amerika Serikat dilanda ”Depresi Besar” yang juga melanda sebagian Eropa. Dalam konteks dunia seperti itulah nasionalisme Indonesia tumbuh. Para pemuda/mahasiswa ketika itu dipengaruhi pula oleh kebangkitan kebangsaan di Turki, India, dan China.

Boedi Oetomo didirikan 1908 oleh Wahidin Soediro Hoesodo, Raden Soetomo, dan Goenawan Mangoenkoesoemo. Tujuannya nonpolitis, menuntut Belanda mengembangkan pendidikan yang menjamin kemuliaan pribumi. Pada akhir 1909 anggota Boedi Oetomo mencapai sekitar 10.000 orang, kebanyakan bermukim di Jawa/Madura.

Daya tarik Boedi Oetomo berkurang ketika Hadji Samanhoedi dan Raden Mas Tirtoadisoerjo mendirikan Sarekat Dagang Islam (SDI) 1909. Tiga tahun kemudian SDI berubah menjadi Sarekat Islam (SI) yang mengalami keemasan ketika dipimpin HOS Tjokroaminoto.

Ada juga Nationale Indische Partij (NIP) yang didirikan 1929, organisasi ”campuran” Eurasia/pribumi pimpinan Douwes Dekker, Tjipto Mangoenkoesoemo, dan Ki Hadjar Dewantoro. Seorang anggota NIP, Hendrik Sneevliet, menginfiltrasi SI membuka jaringan komunisme internasional yang melibatkan Semaoen, Darsono, dan Tan Malaka.

Perserikaten Kommunist di India (PKI) berdiri 1920, melanjutkan persaingan perjuangan kebangsaan SI versus komunis. Tokoh-tokoh Islam nasionalis yang ogah terlibat kompetisi mendirikan Muhammadiyah, 1912, yang dipimpin KH Ahmad Dahlan. Lewat ideologi berlainan, semua kekuatan pemuda/mahasiswa memulai perjuangan.

Bung Hatta ambil bagian sebagai Ketua Perhimpoenan Indonesia, kumpulan mahasiswa di Belanda, mulai 1922. Empat tahun kemudian lahir Nahdlatul Ulama yang salah satu pendirinya, Wahid Hasjim, adalah ayah Gus Dur. Setelah itu Bung Karno mendirikan Partai Nasional Indonesia 1927.

Semua potensi pemuda/mahasiswa bergabung ke Permoefakatan Perhimpoenan Politiek Kebangsaan Indonesia (PPPKI). Pada akhirnya dinamika perimbangan kekuatan nasionalis, komunis, militer, dan Islam melahirkan ”konflik dan konsensus” dalam perpolitikan Orde Lama.

Mahasiswa Akbar Tandjung, Cosmas Batubara, dan Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) mendukung lahirnya Orde Baru. Mahasiswa Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, Sjahrir, dan Hariman Siregar mengoreksi Orde Baru. Mahasiswa 1998 menjadi the highest power penumbang Orde Baru.

Seperti Hok Gie, mahasiswa 2009 tetap konsisten. Mereka sudah turun ke gelanggang untuk melawan kriminalisasi KPK, membongkar mafia hukum, dan, sebentar lagi, mendesak DPR menguak tabir skandal Bank Century. Seperti Hok Gie, mereka baik, bersih, dan pemberani.

Kini nyaris setiap hari mahasiswa berunjuk rasa di sejumlah kota. Bisa dibayangkan apa jadinya jika mahasiswa berpangku tangan saja? Sementara pada saat yang sama pers, masyarakat madani, profesional, dan DPR pasrah?

Mahasiswa satu-satunya kekuatan moral pengawal hati nurani rakyat. Mereka beberapa tahun saja menyandang status sebagai mahasiswa. Mereka ibarat tukang kebun yang menyirami taman Indonesia yang indah supaya tak dikotori siapa pun yang memerintah kita. SUMBER: KOMPAS

Resepsi dan Korupsi

Teori Resepsi dan Korupsi

Sabtu, 14 November 2009 | 02:49 WIB

Budi Darma

Terceritalah, pada tahun 1929 seorang pemikir bernama IA Richards menganalisis kekeliruan para mahasiswa dalam memahami teks. Dari sini kemudian lahir berbagai teori tentang sikap pembaca terhadap teks.

Teori demi teori terus berkembang, sampai akhirnya terbentuk Reader Response Criticism, dan kadang dinamakan Teori Resepsi, yaitu pemaknaan pembaca terhadap teks.

Teori ini berangkat dari sebuah postulat bahwa teks baru mempunyai makna manakala teks itu dibaca dan, dalam menghadapi teks, pembaca pasti menyikapi teks itu sesuai dengan kemampuannya menangkap makna teks. Kemampuan ini ditunjang berbagai faktor, antara lain pengalaman pembaca dalam membaca berbagai teks, perjalanan hidup, dan pandangannya terhadap kehidupan.

Pada mulanya teks sastra

Awalnya pengertian ”teks” ini terbatas pada teks sastra, tetapi tidaklah mustahil manakala pengertian awal ini bisa berkembang ke mana-mana. Karena itu, jangan heran manakala teks bisa juga identik dengan kehidupan.

Membaca teks, dengan demikian, bisa identik dengan membaca kehidupan dan, karena membaca kehidupan menyangkut berbagai aspek, setiap orang memiliki hak memaknai kehidupan sesuai dengan daya tangkapnya.

Karena teori resepsi lahir melalui proses panjang, dengan sendirinya nama tokohnya juga banyak. Meski demikian, pada hakikatnya semua pendapat menjurus pada muara yang lebih kurang sama: dimensi empiris, dimensi foregrounding, dimensi harapan, dimensi ketidakmengertian, dan dimensi keterkaitan teks dengan realitas. Keterkaitan antara satu dimensi dan dimensi lain dengan sendirinya amat kuat.

Dalam dimensi empiris, pembaca dituntut punya pengalaman membaca teks alias kehidupan. Dalam dimensi foregrounding, pembaca dianggap dapat menangkap makna kehidupan dan apa kiranya yang akan terjadi kemudian. Karena diharapkan dapat melihat apa yang kira-kira akan terjadi, muncul dimensi harapan, yaitu harapan mengenai penyelesaian apa yang akan terjadi selanjutnya.

Lalu, muncul dimensi ketidakmengertian karena baik dalam menghadapi teks maupun kehidupan, kemungkinan adanya sambungan yang hilang selalu ada. Akhirnya, agar tervalidasi, semua dimensi ini harus dikaitkan dengan realitas, yaitu kehidupan yang benar-benar terjadi lengkap dengan dinamika perkembangannya.

Dinamika perkembangan perlu dipertimbangkan karena teks alias kehidupan tak lain adalah sebuah dunia yang tak mungkin statis. Ketidakstatisan ini bisa menjadi lebih rumit karena setiap pembaca punya daya tangkap sendiri dan daya tangkap ini bisa berkembang karena berbagai faktor, baik internal maupun eksternal. Faktor internal dalam hal ini identik dengan pengalaman dan kematangan pembaca yang tentunya tak akan selamanya statis. Faktor eksternal terkait dengan dinamika realitas di luar pembaca.

Komisi III DPR

Satu contoh dinamika realitas bisa kita simak lewat fakta dalam acara dengar pendapat Komisi III DPR beberapa waktu lalu. Dalam acara ini, Kapolri tampak sangat gagah dan sangat percaya diri. Terasa benar bahwa Komisi III mendukung Kapolri. Fakta ini menunjukkan bahwa pemimpin (nonaktif) KPK harus segera diadili karena bukti untuk mengadili mereka sudah cukup kuat. Fakta ini juga mengacu pada dugaan bahwa pemimpin (nonaktif) KPK ini sangat pantas dilemparkan ke penjara.

Makna teks alias kehidupan mengalami perubahan karena ada kekuatan eksternal yang bisa, paling tidak untuk sementara, menggerakkan perubahan. Pembaca dengan sendirinya paling tidak untuk sementara bisa pula terpengaruh dan, karena itu, pemaknaannya terhadap teks alias kehidupan juga bisa berubah.

Namun, apa pun yang terjadi, pembaca tetap memiliki berbagai dimensi, antara lain dimensi empiris, dimensi foregrounding, dan dimensi harapan. Dengan berbekal tiga dimensi ini, pembaca dapat menyimpulkan bahwa pola-pola yang lebih kurang sama pasti akan dipertontonkan oleh pihak-pihak yang diduga terkait masalah rumit ini.

Pola ini selalu muncul dalam bentuk itu-itu saja, antara lain bantahan telah melakukan perbuatan tertentu, penyebutan nama Tuhan dan sikap religius, pemerasan air mata, dan ketersekonyong-konyongan terserang penyakit. Semua perwujudan ini, dalam berbagai versi, sudah ”diharapkan” oleh pembaca pasti akan muncul. Atau, apabila seseorang yang diduga tersangkut perkara merasa mempunyai kekuatan besar, sikap-sikap jumawa pasti akan dipertontonkan oleh orang semacam ini. Aparat pun akan ragu-ragu memprosesnya.

Ketidaktahuan

Ada lagi dimensi yang penting: ketidaktahuan. Ketidaktahuan bisa terjadi karena derajat rantai hilang dalam satu kasus dengan kasus lain mungkin saja berbeda dan mungkin pula perbedaannya sangat mencolok. Jangan heran, dengan demikian, manakala Tim 8 pernah bingung dan, karena itu, mengancam akan mengundurkan diri.

Pembaca, dalam hal ini masyarakat, juga bingung. Namun, karena masyarakat, menurut istilah Carl Gustav Jung, diikat oleh kesadaran bersama, hati nurani masyarakat akhirnya akan berbicara tanpa kepura-puraan.



Budi DarmaSastrawan

Sumber: Kompas

Memerintah Tanpa Budaya

Memerintah Tanpa Budaya (Lagi)

Sabtu, 14 November 2009 | 03:47 WIB

Saifur Rohman

Kabinet Indonesia Bersatu II 2009-2014 secara mengejutkan tidak lagi menempatkan Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata di bawah koordinasi Menko Kesejahteraan Rakyat sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, tetapi kini berada di bawah Menko Perekonomian. Jika strukturisasi kabinet adalah sebuah refleksi dari sistem pemikiran tentang idealitas pemerintahan, dengan kebijakan itu, unsur ”kebudayaan” tampaknya telah dianggap sebagai substruktur yang tak jauh berbeda dengan ”pariwisata”.

Dalam kacamata kuantitatif, konsepsi kebudayaan itu hadir sebagai entitas mikro dalam desain pembangunan nasional. Bacalah, anggaran belanja yang tertuang dalam RAPBN tahun 2010, memberikan alokasi dana kepada kebudayaan sekitar Rp 300 miliar (0,028 persen) dan kesenian sekitar Rp 78 miliar (0,0074 persen). Bisa dikatakan sama dengan tahun sebelumnya.

Jika pembangunan kebudayaan merupakan bagian kecil dalam desain pembangunan nasional, penting kiranya menanyakan kembali orientasi pemerintahan masa kini. Bagaimana rupa pemerintah tanpa budaya? Bagaimana mungkin sebuah pemerintahan dibangun tanpa fondasi strategis terkait dengan kebudayaan?

Budaya sebagai alas

Penelusuran di dalam rumpun ilmu sosial, khususnya sebuah teori ekonomi, akan didapat istilah corporate culture sebagai titik orientasi kinerja seorang karyawan dalam praksis kerjanya sehari-hari. Demikian pula, teori kepemimpinan memberikan istilah transformational leadership dalam setiap organisasi untuk mewarisi semangat yang dibentuk para pendiri perusahaan.

Teori politik yang dikembangkan Hannah Arendt dalam The Origin of Totalitarianism (1976: 89) memperlihatkan integrasi sosial di dalam sebuah pemerintahan haruslah diikat dengan ”sebuah ketundukan terhadap identitas yang terus diperkuat oleh penguasa”.

Ikatan-ikatan inilah yang menjadikan sebuah negara-bangsa bisa didirikan. Eksplisitasi di dalam anggaran dasar yang disebut dengan undang-undang dan semboyan yang disebut dengan falsafah bangsa adalah orientasi kultural yang didesain sejak awal pembentukan negara. Oleh karena itu, pelestarian dan pengembangan falsafah ini sesungguhnya lebih penting dari kebutuhan apa pun di republik ini.

Tinjauan pembangunan kultural dari masa ke masa memperlihatkan adanya upaya yang sangat luar biasa membangun kebudayaan sejak awal. Nagara Krtagama karya Mpu Prapanca pada abad ke-12 memperlihatkan konsepsi kebudayaan melalui dharma sebagai pengabdian kepada Syiwa Buddha. Raja Hayamwuruk sebagai pelindung negeri dan abdi yang menyejahterakan rakyat selalu menetapkan waktu-waktu tertentu untuk ”menyembah Syiwa Buddha”.

Demikian pula, Kerajaan Islam pada 1478 dalam chandra bumi sirna ilang kertaning bumi (1400 Saka atau 1478) meninggalkan kebudayaan intangible bagi generasi-generasi sesudahnya. Istana kerajaan Raden Fatah tidak ditemui, tetapi Masjid Demak membawa ikon tentang kebudayaan Islam masa lampau yang terpelihara hingga kini.

Fotokopi budaya kolonial

Di bagian lain, pemerintahan Hindia Timur Belanda, yang berada di bawah Kementerian Tanah Jajahan, telah membawa kultur baru dalam pembentukan sistem kebudayaan. Sebagaimana garis kebijakan Kementerian Kolonial di The Haque (Den Haag), penerapan kebijakan di tanah jajahan haruslah dilandasi oleh hadirnya kekuasaan ”misterius” yang mampu memaksa para warga koloni untuk tunduk dan patuh.

Sistem cultuurstelsel (tanam paksa), landrente (pajak tanah), sistem onderneming (perkebunan), dan poenali sanctie (hukum buruh) dalam kebijakan perburuhan yang diterapkan pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 itu telah memengaruhi pola pikir masyarakat kolonial tentang idealitas-idealitas sebuah kebudayaan. Artinya, kebudayaan haruslah di bawah kendali sistem perekonomian yang memiliki orientasi jelas, yakni orientasi kapitalistik yang menghamba terhadap keuntungan.







Kita berada pada sebuah masa ketika gerakan angka-angka dalam statistik ekonomi dimaknai sebagai pertumbuhan. Dan kesejahteraan masyarakat Indonesia hanyalah masalah kuantifikasi Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index).

Persoalan-persoalan identitas keindonesiaan, semangat kebersamaan, keadilan sosial, dan pelestarian filsafat bangsa pun tertinggal sebagai bagian dari kurikulum tua yang tidak pernah diperbarui di dalam sistem pendidikan kita.

Lebih dari itu, pembangunan kebudayaan dalam strategi pemerintahan seperti barang apak yang disimpan di gudang tua tak tersentuh. Sampai lima tahun lagi. Setidaknya.



Saifur Rohman Pengamat Seni dan Budaya, Alumnus Doktor Filsafat Universitas Gadjah Mada, menetap di Semarang
SUMBER: KOMPAS

Puisi Tragedi Semanggi

Puisi Peringati Tragedi Semanggi

Jumat, 13 November 2009 | 21:35 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com — Peringatan 11 tahun tragedi Semanggi I digelar di Kampus Unika Atmajaya, Jakarta, Jumat (13/11). Dalam kesempatan tersebut tampak hadir orangtua para korban, aktivis Kontras, dan sivitas akademika dari YAI, Universitas Indonesia, Universitas Atmajaya, UIN Syarif Hidayatullah, dan Universitas Bung Karno.

Meski sederhana hanya dengan lesehan, peringatan ini terasa khidmat. Apalagi, saat dibacakannya puisi yang dibuat oleh salah satu korban sebelum tewas tertembak dalam peristiwa berdarah itu. Puisi tersebut adalah karya Bernardus Realino Norma Wirawan (Wawan), mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Atma Jaya.

"Aku benci tirani. Aku benci rezim. Kini aku lelah. Terlalu lama aku main. Aku baru sadar akan bahaya tirani. Aku sadar aku telat. Aku siap mati demi bangsa dan rakyatku. Aku hanya berharap oangtuaku tabah. Aku berharap semoga perjuanganku tidak sia-sia. Aku berharap semoga aku masih ada tempat. Aku kini hanya bisa pasrah kapan pun aku mati. Aku sudah siap. Bagaimanapun caranya aku siap. Aku tidak pernah bermimpi dihormati. Aku hanya bermimpi hidup makmur, sejahtera walaupun di alam baka."

Wawan adalah korban kedua pada peristiwa berdarah 13 November 1998. Ia tewas setelah peluru aparat menembus dadanya saat akan menolong kawannya yang terluka di pelataran parkir Kampus Atma Jaya. Peristiwa berdarah yang terjadi antara 11-13 November 1998 itu menewaskan tak kurang dari 17 warga sipil.

Seusai pembacaan puisi, Arif Priyadi, ayahanda Wawan, menyatakan harapannya agar mahasiswa tetap mengawal reformasi serta memperjuangkan kebenaran dan keadilan. Keluarga korban juga tetap menuntut pemerintah menuntut keadilan dengan mengusut tuntas dalang peristiwa tersebut. Sumber: Kompas

Kamis, 12 November 2009

Mafia Indonesia

Membongkar Mafia Indonesia

Jumat, 13 November 2009 | 02:38 WIB

Dominggus Elcid Li

Pernyataan Amien Rais bahwa masyarakat perlu mengawal pemberantasan mafia di Indonesia tidak berlebihan (Kompas.com, 6/11/2009).

Meski kata mafia masih dimengerti sekadar fantasi dalam film God Father, dan belum lagi merupakan kenyataan sehari-hari. Padahal, bagaimana kita bisa membedakan pembunuhan arahan Vito Corleone dan kematian Nasrudin Zulkarnaen?

Tontonan vulgar praktik antihukum akhir-akhir ini sekadar memindahkan peristiwa di belakang layar ke layar kaca. Aslinya para pekerja media hanya ”menyoroti” apa yang selama ini dialami warga negara menjadi ”pengetahuan publik/bersama”.

Marah dan protes biasanya menjadi reaksi awal menanggapi ”pengakuan” para pihak yang terlibat. Namun, niat baik saja tidak cukup dalam melawan jaringan kriminal.

Kata mafia, aslinya menunjuk organisasi kriminal Italia semacam Cosa Nostra dan Ndarangheta. Namun, kata itu kini sudah umum dipakai untuk segala organisasi kejahatan terorganisasi dan dijalankan dengan ”aturan internal” ketat, misalnya Red Mafia (Rusia), Triad (China), dan Yakuza (Jepang). Literatur tentang mafia Indonesia sendiri hingga kini belum ditemukan, dan kata mafia masih dipakai umum sekadar ”pengandaian”. Padahal, efek jaringan mafia terhadap negara ini jelas tampak.

Menawarkan proteksi

Menurut Diego Gambeta (1993), negara dan mafia menawarkan hal yang sama, yaitu proteksi. Warga negara diasumsikan mendapat perlindungan dari aparat negara karena membayar pajak, sedangkan mafia menjual proteksi khusus kepada kliennya. Praktik mafia menjadi persoalan karena memperdagangkan hal-hal yang menurut aturan negara adalah ilegal.

Persoalan legal dan ilegal menjadi kabur batasnya dalam pasar mafia. Melindungi pelaku pelanggar hukum merupakan komoditas perdagangan dalam jaringan mafia.

Ironisnya, dalam negara anarki, proteksi yang ditawarkan mafia lebih masuk akal di mata pengusaha dibandingkan dengan negara. Sebab, pajak kepada negara cenderung tidak berbekas karena aparatur negara juga memperdagangkan layanan yang seharusnya diterima sebagai konsekuensi membayar pajak.

Membongkar mafia

Membongkar jaringan mafia jelas tidak mudah. Di Sicilia, Italia, Diego Gambeta dalam investigasinya terhadap jaringan mafia hanya mampu menganalisis praktik mafia berdasarkan wawancara terhadap pedagang pasar buah, rantai terbawah jaringan ini, karena nyawa taruhannya. Di Indonesia, kenyataan ini sedang jadi tontonan sehari-hari.

Mafia dalam politik di Italia bisa dibaca dalam skandal Silvio Berlusconi. Orang nomor satu Italia ini pun tidak bisa dianggap bersih. Perdana Menteri Berlusconi, yang menguasai tiga jaringan media Italia, baru bisa disentuh setelah jaringan media milik raja media Rupert Murdoch membukanya. Konflik di antara dua jaringan oligarki merupakan pemicu terbukanya skandal Berlusconi. Sejak Oktober 2009, impunitas Berlusconi dicabut sehingga skandal keuangannya bisa diusut.

Di Indonesia, tanpa memahami gerak mafia dan kaitannya dengan negara, usaha membuka kasus kriminal ibarat melenyapkan satu sel kanker. Aparat negara yang telah dikuasai jaringan mafia malah melakukan kejahatan terhadap warga negara.

Anarki dan ”ochlocracy”

Krisis negara terjadi setelah kepala negara dan kabinet dilantik. Kita masih di dunia fantasi demokrasi dan mabuk pujian sebagai satu dari banyak negara dengan penduduk terpadat yang menjalankan demokrasi. Jean- Jacques Rousseau menyebut demokrasi yang diselewengkan sebagai ochlocracy (1973: 234), atau praktik ”kerumunan”. Ini bagian kondisi anarki yang ditandai dengan pupusnya negara. Di Indonesia, hal ini tampak dengan memudarnya legitimasi aparat.

Jika Rousseau hanya menyebut ”kerumunan”, jaringan mafia yang bergerak dalam situasi anarki bukan kerumunan. Jaringan kriminal yang terorganisasi dengan struktur rapi beroperasi dalam sel lintas institusi.

Bagaimana negara bisa bertahan menghadapi mafia hingga kini belum terjawab. Ini sekaligus menjawab pertanyaan mengapa jaringan mafia Indonesia bisa dijawab para facebookers Indonesia. Sederhananya karena keduanya beroperasi dalam sistem jaringan simetris. Pertanyaannya, apakah jaringan antimafia yang terjalin di internet bisa dioperasikan dalam kenyataan?

Menghadirkan solidaritas antarwarga sebagai kenyataan bukan hal mudah. Pada tahun 1998, jaringan warga Indonesia gagal bekerja sama. Politik era reformasi Indonesia jika dibaca teliti tak berbeda dengan era dogfights dalam sejarah politik RRC.

Keluar dari situasi itu merupakan keharusan jika situasi anarki ingin dilampaui dan pembangunan negara dikerjakan. Agar tak lagi sama seperti tahun 1949 yang ditulis Chairil Anwar dalam ”Derai-derai Cemara” lewat puisinya, hidup hanya menunda kekalahan. Sudah 64 tahun kita ”bernegara” dan kedaulatan rakyat masih fantasi, sedangkan mafia menjadi kenyataan. Ini adalah tragedi untuk menyatakan kekalahan berulang.

Dominggus Elcid LiCo-editor Jurnal Academia NTT; Anggota Persaudaraan Indonesia; Mahasiswa PhD Departemen Sosiologi Universitas Birmingham, Inggris.
Sumber: Kompas

SELAMAT UNTUK RAHARDI DAN SINDU

Khatulistiwa untuk Rahardi dan Sindu

Jumat, 13 November 2009 | 02:54 WIB

Jakarta, Kompas - Sastrawan F Rahardi memperoleh penghargaan Anugerah Sastra Khatulistiwa tahun 2009 untuk kategori prosa terbaik lewat novelnya Lembata. Untuk kategori puisi, penghargaan ini diberikan kepada Sindu Putra atas karyanya Dongeng Anjing Api. Setiap penerima penghargaan memperoleh hadiah Rp 100 juta.

Penghargaan juga didapat Ria N Badaria dengan karya Fortunata untuk kategori penulis muda berbakat di bawah usia 30 tahun dengan hadiah Rp 25 juta. Kemudian Hadiah Khusus Metropoli D’Asia Khatulistiwa jatuh kepada Sihar Ramses Simatupang dengan karya Bulan Lebam di Tepian Toba. Selain karyanya diterjemahkan dan diterbitkan di Italia, Sihar juga menerima hadiah 3.000 euro.

Malam Anugerah Sastra Khatulistiwa diumumkan di atrium Plaza Senayan, Jakarta Selatan, Selasa (10/11) malam. Penjurian dilakukan oleh tim dengan ketua juri Robertus Robet. Para pemenang ketiga kategori itu terpilih di antara lima finalis.

Untuk kategori prosa, misalnya, ada lima finalis, yaitu Tanah Tabu (Anindita S Thayf), Lacrimosa (Dinar Rahayu), Lembata (F Rahardi), Sutasoma (Cok Sawitri), dan Meredam Dendam” (Gerson Poyk). Finalis kategori puisi terdiri dari Perahu Berlayar sampai Bintang (Cecep Syamsul Hari), Puan Kecubung (Jimmy Maruli Alfian), Partitur, Sketsa, Potret, dan Prosa (Wendoko), Kolam (Sapardi Djoko Damono), dan Dongeng Anjing Api (Sindu Putra).

Dalam katalog penghargaan, Robertus mencatat, penjurian dilakukan tim yang beranggotakan banyak orang dengan latar belakang beragam: pengarang, psikolog, sejarawan, sosiolog, pengajar filsafat, dan pekerja media. Tim ini tak berniat menasbihkan pengarang-pengarang hebat dalam sastra Indonesia, tetapi mengungkapkan pandangan kebenaran subyektif karya sastra.

Penggagas dan penyelenggara Anugerah Sastra Khatulistiwa, Richard Oh, mengatakan, anugerah tahunan itu diberikan untuk menghargai pencapaian penulis sastra di Indonesia sekaligus mendorong para penggiat sastra mengembangkan kerja kreatifnya. Dana hadiah diperoleh dari sejumlah sponsor.

Anugerah Sastra Khatulistiwa ajek memberikan penghargaan sastra setiap tahun sejak 2001. Penghargaan tahun ini merupakan yang kesembilan. Selain pemenang utama, biasanya para finalis di kategori prosa dan puisi juga memperoleh hadiah.(IAM)Sumser: Kompas

Selasa, 10 November 2009

Cicak dan Buaya dalam Puisi Indonesia Modern

oleh Asep Sambodja

Ketika puisi Tulus Wijanarko yang berjudul “Sajak Perlawanan Kaum Cicak” muncul di facebook saya, spontan saya mengatakan, inilah puisi Indonesia terbaik bulan ini. Ketika itu bulan menunjukkan Oktober 2009. Bahkan bisa jadi inilah puisi terbaik sepanjang 2009. Saya seperti menemukan kembali puisi yang bermanfaat bagi orang banyak, bagi masyarakat. Selama ini, terus-terang saja, dunia puisi Indonesia modern didominasi oleh apa yang dikatakan Rendra sebagai penyair-penyair salon. Mereka menulis puisi tanpa melihat jeritan batin rakyat kecil. Hal itu seperti menjadi lumrah dalam media massa kita. Sah-sah saja penyair-penyair salon itu bicara tentang persoalan pribadinya, kemelut hati, eksplorasi dan bahkan eksploitasi seks, silakan saja. Karena menulis topik apa pun pasti memiliki dasar yang sangat kuat, yakni kebebasan ekspresi.
Hanya saja, penyair yang peduli dengan kehidupan rakyat kecil itu masih sedikit jumlahnya. Kalaupun ada, maka posisinya selalu dipinggirkan, termarginalkan. Kita ingat ketika Rendra muncul dengan puisi-puisi pamflet, maka yang melecehkan bukan saja penyair-penyair salon, melainkan penguasa yang tak tahan kritik. Rendra pun dipenjara. Kita ingat ketika Wiji Thukul muncul dengan puisi-puisi perlawanannya, tak ada koran yang berani memuat puisinya. Ia malah diculik dan dibunuh oleh Rezim Orde Baru.
Kini, ketika puisi Tulus Wijanarko terbit di media online, dalam hal ini facebook, seakan-akan ada sinar yang menerangi jagad perpuisian Indonesia. Setelah Saut Situmorang dan Heri Latief, kini saya menemukan sosok penyair antipenindasan yang melekat pada diri Tulus Wijanarko. Puisi Tulus ini lahir tidak seperti bintang yang jatuh dari langit, melainkan ada konteksnya. Dan, rakyat Indonesia tahu dan paham apa yang tengah terjadi di dunia penegakan hukum kita.
Makanya, agak aneh rasanya jika kenyataan yang kita lihat adalah persekongkolan busuk yang sangat mengusik rasa keadilan masyarakat, penyair malah bicara tentang payudara atau tentang bunga. Menurut saya, boleh saja mereka menulis puisi tentang itu, tapi jangan selamanya menutup mata, jangan membohongi hati nurani sendiri dengan sembunyi di balik selimut “seni untuk seni”.
Dalam hal ini, saya sepakat dengan Adnan Buyung Nasution, bahwa persoalan hukum jangan hanya dilihat pada segi normatif legalistiknya saja, jangan hanya dilihat pasal-pasalnya saja, tapi lihat dan perhatikan juga rasa keadilan masyarakat. Demikian pula dengan menulis puisi, jangan hanya dilihat bentuk formalnya saja, tapi selami dan hayati persoalan-persoalan yang tengah dirasakan rakyat. Dalam koridor seperti itulah saya sangat beruntung menemukan kembali puisi perlawanan dari seorang penyair yang juga wartawan Koran Tempo, Tulus Wijanarko.
Jujur saya katakan, sebelum menulis puisi perlawanan ini, Tulus banyak menulis puisi-puisi yang mengangkat masalah keseharian, yang mengingatkan kita pada Pak Besut dan Umar Kayam; yang kini diteruskan Bakdi Soemanto. Bahkan saya sempat memberi julukan “Penyair Angkringan” kepada Tulus Wijanarko karena puisinya tentang angkringan membangkitkan nostalgia pada Yogyakarta.
Sebagaimana Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfoed M.D. yang mengukir sejarah pada Selasa, 3 November 2009, karena membongkar mafioso peradilan di Indonesia; yang memperdengarkan rekaman seorang cukong bernama Anggodo Widjojo yang dengan begitu entengnya mengatur penanganan hukum terhadap adiknya, Anggoro Widjojo, yang menjadi buronan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Yang mengejutkan jutaan rakyat Indonesia adalah: yang diatur oleh Anggodo ini adalah pejabat-pejabat tinggi yang ada di Kejaksaan Agung dan Polri. Tidak hanya itu, advokat atau pengacara atau lawyer yang seharusnya “membela yang benar” dan bukannya “membela yang bayar” itu juga diperlakukan seperti kuli. Seperti tukang. Tukang yang dibayar secara borongan. Karena, kata Anggodo dalam rekaman percakapan itu, uang sebesar Rp5 miliar yang dikucurkan itu bukan hanya sebagai lawyer fee, tapi juga untuk pejabat-pejabat di dua lembaga penegak hukum itu.
Tentu saja ini menyakiti hati rakyat banyak. Kepercayaan masyarakat kepada Kejaksaan Agung dan Polri pun melorot tajam.
Dalam konteks seperti itulah muncul puisi berjudul “Sajak Perlawanan Kaum Cicak” karya Tulus Wijanarko. Puisi ini pun langsung saya muat dalam blog Puisi Indonesia Modern (http://puisiindonesiamodern.blogspot.com) sebagai penghargaan yang saya berikan kepada sang penyair. Berikut ini adalah puisi Tulus yang saya maksud:

Sajak Perlawanan Kaum Cicak

karya Tulus Wijanarko


Kami tahu tanganmu mencengkeram gari
karena kalian adalah bandit sejati

Kami tahu saku kalian tak pernah kering
karena kalian sekumpulan para maling

Kami mafhum kalian memilih menjadi bebal
sebab melulu sadar pangkat kalian hanyalah sekadar begundal

Kami tahu kalian berusaha terlihat kuat menendang-nendang
demikianlah takdir para pecundang

Kami mengerti otak kalian seperti robot
meski demikian kalian sungguh-sungguh gemar berkomplot

Kami sangat terang kenapa kalian begitu menyedihkan
karena kalian memang hanyalah gerombolan budak
yang meringkuk jeri di mantel sendiri

Kami tahu kenapa kalian gemetar ketakutan
dan tanganmu menggapai-gapai sangsi ke udara

karena kalian tahu
Kami tidak takut kepadamu
Kami tidak takut kepadamu
dan akan melawan tak henti-henti

kami tahu
kalian gemetar,
Kami sangat tahu
kalian sungguh gemetar!

28/09

Menurut saya, puisi Tulus di atas memperlihatkan keberanian yang luar biasa yang dimiliki penyair. Puisi perlawanan ini bisa berfungsi ganda. Pertama, puisi tersebut merekam perasaan penyair yang merepresentasikan manusia Indonesia pada umumnya, sekaligus menjadi bagian penting dalam sejarah pemberantasan mafioso peradilan di Indonesia dan mampu merekam semangat zaman. Kedua, puisi ini menjadi bara yang membangkitkan keberanian pada rakyat untuk melawan ketidakadilan. Meskipun para pejabat-pejabat yang keseleo lidah mengatakan dirinya sebagai buaya itu berkelit, bersilat lidah, dan akting di depan kamera televisi, namun sejatinya rakyat sudah tahu bahkan melihat dan mendengar dengan mata dan telinganya sendiri; betapa bobroknya aparat penegak hukum di Indonesia. Betapa menyedihkan!
Ketika saya berkunjung ke facebook Saut Situmorang, saya membaca sebuah puisi perlawanan yang lain. Puisi “Negeri Para Bedebah” itu ditulis oleh Adhie Massardi, mantan juru bicara Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Puisi itu dikirim oleh Wanda Hamidah ke facebook Saut Situmorang. Tak lama setelah itu, saya juga menyaksikan pembacaan puisi itu oleh Adhie Massardi di Metro TV. Selengkapnya saya kutip puisi itu di sini:

Negeri Para Bedebah

karya Adhie Massardi

Ada satu negeri yang dihuni para bedebah
Lautnya pernah dibelah tongkat Musa
Nuh meninggalkan daratannya karena direndam bah
Dari langit burung-burung kondor jatuhkan bebatuan menyala-nyala

Tahukah kamu ciri-ciri negeri para bedebah?
Itulah negeri yang para pemimpinnya hidup mewah
Tapi rakyatnya makan dari mengais sampah
Atau jadi kuli di negeri orang yang upahnya serapah dan bogem mentah

Di negeri para bedebah
Orang baik dan bersih dianggap salah
Dipenjarakan hanya karena sering ketemu wartawan
Menipu rakyat dengan pemilu menjadi lumrah
Karena hanya penguasa yang boleh marah
Sedang rakyatnya hanya bisa pasrah

Maka bila negerimu dikuasai para bedebah
Jangan tergesa-gesa mengadu kepada Allah
Karena Tuhan tak akan mengubah suatu kaum
Kecuali kaum itu sendiri mengubahnya

Maka bila negerimu dikuasai para bedebah
Usirlah mereka dengan revolusi
Bila tak mampu dengan revolusi,
Dengan demonstrasi
Bila tak mampu dengan demonstrasi, dengan diskusi
Tapi itulah selemah-lemahnya iman perjuangan


Puisi Adhie Massardi tersebut sangat simbolik dan menggunakan idiom-idiom keislaman. Dari puisi tersebut, pesan yang ingin disampaikan penyair sangat jelas; baik dilihat dari judul puisi maupun kata-kata yang digunakan sang penyair. Keberpihakan penyair pada wong cilik, kaum tertindas, juga tampak jelas dalam puisi tersebut. Hanya saja, jika dibandingkan dengan puisi Tulus Wijanarko, maka terbaca bahwa puisi Tulus sangat menikam.
Meskipun demikian, saya pun membuka ruang yang sebebas-bebasnya buat pembaca untuk menafsir dan menginterpretasikan puisi Tulus Wijanarko dan Adhie Massardi.

Citayam, 6 November 2009
sumber dari FaceBook Asep Sambodja

Perlawanan Kaum Cicak

Sajak Perlawanan Kaum Cicak

karya Tulus Wijanarko


Kami tahu tanganmu mencengkeram gari
karena kalian adalah bandit sejati

Kami tahu saku kalian tak pernah kering
karena kalian sekumpulan para maling

Kami mafhum kalian memilih menjadi bebal
sebab melulu sadar pangkat kalian hanyalah sekadar begundal

Kami tahu kalian berusaha terlihat kuat menendang-nendang
demikianlah takdir para pecundang

Kami mengerti otak kalian seperti robot
meski demikian kalian sungguh-sungguh gemar berkomplot

Kami sangat terang kenapa kalian begitu menyedihkan
karena kalian memang hanyalah gerombolan budak
yang meringkuk jeri di mantel sendiri

Kami tahu kenapa kalian gemetar ketakutan
dan tanganmu menggapai-gapai sangsi ke udara

karena kalian tahu
Kami tidak takut kepadamu
Kami tidak takut kepadamu
dan akan melawan tak henti-henti

kami tahu
kalian gemetar,
Kami sangat tahu
kalian sungguh gemetar!

28/09



Negeri Para Bedebah

karya Adhie Massardi

Ada satu negeri yang dihuni para bedebah
Lautnya pernah dibelah tongkat Musa
Nuh meninggalkan daratannya karena direndam bah
Dari langit burung-burung kondor jatuhkan bebatuan menyala-nyala

Tahukah kamu ciri-ciri negeri para bedebah?
Itulah negeri yang para pemimpinnya hidup mewah
Tapi rakyatnya makan dari mengais sampah
Atau jadi kuli di negeri orang yang upahnya serapah dan bogem mentah

Di negeri para bedebah
Orang baik dan bersih dianggap salah
Dipenjarakan hanya karena sering ketemu wartawan
Menipu rakyat dengan pemilu menjadi lumrah
Karena hanya penguasa yang boleh marah
Sedang rakyatnya hanya bisa pasrah

Maka bila negerimu dikuasai para bedebah
Jangan tergesa-gesa mengadu kepada Allah
Karena Tuhan tak akan mengubah suatu kaum
Kecuali kaum itu sendiri mengubahnya

Maka bila negerimu dikuasai para bedebah
Usirlah mereka dengan revolusi
Bila tak mampu dengan revolusi,
Dengan demonstrasi
Bila tak mampu dengan demonstrasi, dengan diskusi
Tapi itulah selemah-lemahnya iman perjuangan


Puisi-puisi ini diambil dari tulisan Asep Sambodja "Cicak dan Buaya dalam Puisi Indonesia Modern" yang di tg di FB

Minggu, 08 November 2009

BUKU KUMPULAN PUISI “NASIB ORANG LINTANG”

PENERBITAN BUKU KUMPULAN PUISI “NASIB ORANG LINTANG”
SMA NEGERI 1 LINTANG KANAN KABUPATEN LAHAT

SMA Negeri 1 Lintang Kanan menerbitkan buku kumpulan Puisi “Nasib Orang Lintang”. Buku setebal empat puluh delapan halaman, yang berisi satu buah artikel sastra Jajang Rusmayadi, S.Sn., sambutan Kepala Sekolah, dan enam puluh puisi dari karya tiga belas siswa yang tergabung dalam Sanggar Sastra, merupakan hasil dari beberapa pertemuan pada semester pertama. Buku Nasib Orang Lintang ini dicetak terbatas karena alasan dana.
Judul buku itu merupakan judul salah satu puisi yang terdapat dalam kumpulan puisi tersebut hasil karya Bambang Irawan kelas IPS 2, puisinya pendek hanya tiga baris seperti haiku, Nasib Orang Lintang: Dunia berputar/ Cahaya-cahaya bergantian/ Nasib orang lintang jadi panjang. Puisi ini menggambarkan antara harapan dan semangat hidup, atau optimisme hidupnya. Tentunya hasil perenungan dan pengamatan yang cukup mendalam dari penulisnya.
Banyak potensi sastra yang belum tergali di daerah Lintang, apalagi sumberdaya manusianya masih cukup segar dalam menyikapi keadaan lingkungan sosial dan lingkungan alam sekitarnya. Lagi pula daerah Lintang memiliki kekayaan budaya yang cukup unik dan khas, seperti bahasa daerah, perilaku, dan adatnya. Saya kira belum banyak penyair yang menuliskan segala potensi yang terkandung di daerah Lintang ke dalam karya sastra. Saya mengenal dua sastrawan dari daerah Lintang yaitu Syamsi Indra Usman yang pernah mendapatkan penghargaan “Anugrah Seni” karena aktifitasnya dalam menuis puisi dari Gubernur Sumatera Selatan pada tahun 2004, dan satu lagi adalah Febri Al-Lintani, yang cukup populer di Sumatera Selatan, ia sebagai Ketua Komunitasw Batang Hari 9 (KOBAR 9) serta pengurus Dewan Kesenian Palembang.
Seluruh karya puisi yang terdapat dalam buku Nasib Orang Lintang ini merupakan karya puisi terbaik dan terpilih dari yang baik. Penulisnya delapan laki-laki antara lain: Agus Tamin, Arif Rojuli, Bambang Irawan, Darwan Esmedi, Een Rikardo, Marlin Nopriko, Munawir Sazali, Prata LA., dan yang perempuan lima orang antara lain: Nia Rapikaduri, Puspita Sari, Radesi Yudede, Tina Dwita, dan Yulistri. Akhir-akhir ini anggota sanggar bertambah. Saya berharap mereka mampu meneruskan jejak pendahulunya, tidak hanya mandek sampai selesai SMA saja. Akan tetapi dapat bergabung dengan komunitas sastra yang lebih besar lagi. Saya menilai mereka cukup potensial.
Kebiasaannya pada usia remaja seringkali menuliskan masalah-masalah cinta terhadap lawan jenisnya, melankholis dan kurang serius, akan tetapi kenyataannya di Sanggar Sastra SMA Negeri 1 Lintang Kanan, mereka cenderung menuliskan tentang kecintaannya terhadap daerahnya, baik dari budayanya, lingkungan alamnya dan kritik sosial yang mencermati kinerja pemerintahan serta masyarakat itu sendiri. Seperti contoh puisi karya Prata LA kelas 2 IPS 1 yang mencermati salah satu kehidupan masyarakat Lintang, Motto Kito: Jemonyo hulu balang/ tiap hari di gelanggang/ keluargo tersingkirkan/ bando terlelang/ semboyan tercelah motto kito/ nedo mati muno jadila. Satu lagi puisi yang menurut saya mengkritik budaya daerahnya sendiri, karya Arif Rojuli kelas 2 IPA, Segayung Dunio Lintang: Ayo lari kawan/ dunio Lintang jadi Texas/ mennjadi Jakarta nomor 2/ menjadi penghuni manusia hebat/ kebejatan kesesatan/ dalam segayung dunio Lintang.
Puisi sebagai aksi protes, atau ketidakpuasan atas perlakuan penegak hukum dan pelecehan tehadap kaum perempuan. Berikut puisinya, karya Nia Rapikaduri, kelas 2 IPS2, Jangan: Jangan bicara moral kepadaku/ Aku tak pernah tahu/ Aku Cuma tahu tikus-tikus/ Mengendap ke kantong ibu/ Jangan tanyakan agama padaku/ Karna aku tak beragama/ Yang kutahu wanita-wanita bugil/ Berbaris menghadap Ka’bah/ Jangan tanya keamanan aparat/ Sebenarnya aparatlah yang menindas rakyat!
Puisi Bambang Irawan yang satu ini, mencoba menggambarkan bagaimana sikap, sifat dan prilaku orang-orang Lintang, judulnya Lintang Empat Lawang:Terlentang pisau panjang/ Perangko batang-batang/ Jadi orang jadi datang/ Datang pertentangan/Diri marah/ Duri tajam/ Lintang Empat Lawang/ Pantang mundur jadi orang/ Belum bertemu belum senang/ Garis melintang jalan panjang/ Tujuan tak karuan/ Celaka orang bisa karuan/ Celaka diri tidak karuan.
Bagaimana dengan sisi kehidupan orang Lintang yang lain dan keindahan alamnya, dilukiskan dengan cukup baik dalam puisi berikut:, karya Marlin Nopriko, kelas IPA, “Lubuk Kasai”: lubuk bening tenang penuh berkat/ kasai sahabat akrab abadi/ gelombang ombak bawa budaya mencuci budi/ hanyutkan sampah pekat/ berbau budaya angkuh syetan terkejut/ lubuk kasai/ melawan curam batu napal/ menantang batu keras terjal/ hancur oleh ombak-ombak kecil/ mengikis sukma/ menyerap dalam raga hati/ mewarnai baju baja diri. Selanjutnya Munawir Sazali, kelas IPA, mengupas tentang “Sungai Lintang”: Suasana pagi datang menjelang/ Sungai Lintang menantang/ Bersetubu denganku/ Dia menerjang aku tantang/ Kadang marah tak terkalahkan/ Kau raja bunyi tak berhenti/ Selalu berteriak dalam sepi/ menantang setiap orang dengan suaramu/ dan batu bisa kau taklukkan/ dengan bujuk rayumu.
Masyarakat Lintang mayoritas adalah petani kopi dan petani padi, salah satu puisi karya Tina Dwita, kelas 2 IPA mencoba membuka wawasan kita kepada apa yang dinanti oleh para petani tersebut. “Be Umo”: Berilah aku keberuntungan/ Tana siang dan biji kopi pilian/ Kiding besak, samo puntong/ Berilah aku keberuntungan/ Uang pembeli pupuk dan racun/ Hujan menyapu tanah air/ Bila waktunya kopi ku putir/ Bongkotnya kukaja/ Nikmatmu kugali// Terima kasih Tuhan/ Atas rahmatmu.
Masih banyak karya mereka yang sangat menarik untuk dinikmati dan diapresiasi. Mereka masih cukup muda yang paling tua lahir pada tahun 1987 dan yang termuda tahun 1990. umur mereka antara 15 sampai dengan 18 tahun. Mereka masih terus aktif menulis puisi, dan selalu konsultasi dengan saya, atau mereka meminta sekedar untuk membacakan karya-karya mereka. Saya merasa kehadiran saya ada manfaatnya bagi mereka.
Sanggar Sastra SMA Negeri 1 Lintang Kanan berdiri pada awal tahun ajaran 2005/2006, sebagai salah satu kegiatan Ekstrakurikuler, pembinanya saya sendiri yang merupakan guru pendidikan seni. Di samping Sanggar Sastra, ada seni Lukis, dan teater yang saya bina, ada juga Seni daerah ngarak pengantin yang dibina oleh kepala sekolah.
Apa yang saya berikan pada mereka?: saya tidak mengajari apa yang harus di tulis, tetapi saya membagi pengalaman bagaimana membina sebuah kesadaran dan bagaimana berkonsentrasi dalam satu hal atau satu masalah. Apa yang sedang mereka rasakan saat ini, apa yang mereka pikirkan dan bagaimana mereka harus mengeluarkan pendapat serta bagaimana mencermati lingkungan sosialnya dan lingkungan alam sekitarnya. Dengan demikian anak belajar percaya diri, lebih kritis dan memiliki keperdulian terhadap lingkungannya.
Selain itu dianjurkan lebih banyak membaca, karena Membaca merupakan salahsatu proses dalam pembuatan pondasi dan kerangka berpikir dalam menulis sebuah karya, baik fiksi maupun non fiksi (Ilmiah). Membaca sebagai modal dasar dalam penulisan dan dalam mengembangkan ide atau gagasan yang lebih baik dari yang sebelumnya. Dengan membaca akan memberikan dorongan spriritual, emosional dan intelektual yang secara menyeluruh akan tercermin dalam setiap karya tulisnya, terlebih akan tercermin dalam setiap prilaku kehidupan sehari-hari. Sehingga dengan kegiatan membaca yang lebih intensif akan menghasilkan para penulis muda berbakat yang memiliki wawasan susastra universal, dengan dimbangi dengan daya intelektual global.
Dengan demikian perlu kiranya pemerintah dalam hal ini Dinas Pendidikan memberikan ruang, fasilitas dan penghargaan. Bagi para siswa dan para pembinanya sebuah penghargaan sebagai partisipasi aktifnya dalam menghidupkan program kegiatan kependidikan (ekstrakurikuler). Dinas Pendidikan adalah lembaga yang memiliki kewengan dalam memajukan pendidikan khususnya Sastra dan Seni atau sebaliknya. Lembaga pendidikan (sekolah) sesungguhnya mengemban tanggung jawab sebagai sarana bagi menumbuhkembangkan minat dan bakat para peserta didiknya. Dari lembaga pendidikan formal inilah yang seharusnya menelorkan para kreator handal. O ya?
Kepala Sekolah SMA Negeri 1 Lintang Kanan, Imron, S.Pd. dalam sambutannya cukup bangga, oleh karena puisi yang terkumpul dalam buku ini merupakan hasil karya dari anggota Sanggar Seni yang baru dibentuk pada semester ganjil tahun ajaran 2005/2006. Sementara SMA Negeri 1 Lintang Kanan sendiri baru berdiri tahun ajaran 2004/2005. ini tentunya suatu prestasi yang sangat baik.
Menurutnya, buku kumpulan puisi “Nasib Orang Lintang” sedikit tergambar karakter orang Lintang dan Suasana alamnya. Bagi siapapun yang tidak pernah berkunjung ke daerah lintang dan menemui gaya orang lintang mungkin buku ini sangat bermanfaat guna mengenal lebih dekat dengan kehidupan dan alamnya.
Buku ini juga sebuah bukti yang akan menjadi catatan sejarah bagi perjalanan SMA Negeri 1 Lintang Kanan dalam proses belajar mengajar kami yang tentunya berwawasan ke depan. Kami membutuhkan bantuan dari bebagai pihak untuk segera mewujudkannya. Diharapkan siswa siswi SMA Negeri 1 Lintang Kanan lebih aktif dan kreatif dalam mengikuti seluruh kegiatan ekstrakurikuler, namun jangan sampai meninggalkan kegiatan intranya.

ITU BUKAN AKU Cerpen Erwan Aprianto

ITU BUKAN AKU

Cerpen Erwan Aprianto

25 tahun lalu, aku masih terbaring di sini ya … di sini. Di kamar yang menjadi saksi penderitaan seseorang tanpa sebuah nama. Tubuhku masih menyimpan bekas–bekas luka. Aku bukan pejuang tapi lebih pantas disebut pecundang. Tanpa kusadari aku telah menjadi pengkhianat. Pengkhianat keluarga, masyarakat dan yang paling membuatku terpukul adalah menjadi seorang pengkhianat bangsa.

Mei tahun 1965. Saat itu aku menjadi tentara yang mempunyai beberapa puluh anak buah. Pada bulan Juni aku ditugaskan ke Semarang oleh atasanku, Kolonel Birin. Untuk menumpas bersih antek–antek partai terlarang yang sedang meluas di sana. Aku mengajak istri dan anak-anakku. Tidak lama dari itu, tibalah kami di Semarang. Kami tinggal di sebuah asrama tentara tidak jauh dari pusat kota. Di sana, aku dan keluargaku disambut hangat oleh warga.

Suatu malam, sebagai seorang muslim untuk pertama kali aku pergi ke sebuah masjid di dekat rumahku. Aku pergi bersama salah seorang tetangga yang baru saja aku kenal. Ia biasa dipanggil Pak Ustadz, karena dia adalah seorang guru pengajian. Tak berapa lama sampailah kami di sebuah masjid yang terbuat dari papan dan beralaskan anyaman tikar.

“Allahu Akbar … Allahu Akbar,” terdengar suara adzan yang di kumandangkan oleh salah seorang pemuda di mesjid tersebut.

“Pak Ustadz, aku permisi mengambil air wudhu dulu,” ucapku setelah kami masuk ke dalam mesjid. Ustadz itu hanya menjawab dengan anggukan kepada.

Aku menuju ke tempat mengambil air wudhu yang berada tepat di belakang mesjid. Aku segera mengambil air wudhu. Kuusapkan air tersebut ke wajahku. Satu persatu orang–orang masuk ke dalam mesjid. Hanya tinggal aku sendiri di tempat wudhu tersebut.

Tiba–tiba. Dor!!! Suara letusan senapan terdengar keras di telingaku.

“Astahgfirullah,” ucapku terkejut seraya menyaksikan keadaan yang terjadi di dalam mesjid.

Segerombolan orang–orang bertopeng menembak secara membabi buta. Tak ada lagi yang tersisa. Semuanya tewas.

“Allahu Akbar…,” salah seorang pemuda yang masih hidup berteriak.

Terdengar lagi letusan peluru. Kali ini peluru itu menembus dada pemuda tadi. Pemuda itu berteriak. Darah memuncrat di sekujur tubuhnya. Pemuda itu terkapar. Dia tewas!!!

Terdengar gelak tawa kemenangan dari salah seorang gerombolan orang–orang bertopeng itu.

“Itulah akibatnya jika tidak menuruti kami,” salah seorang dari gerombolan tesebut berkata.

Bulu kudukku berdiri. Aku sembunyi di balik sebuah peti mati yang ada di belakang masjid tersebut. Aku seperti seorang pengecut yang sedang bersembunyi. Tapi, apa yang bisa aku lakukan. Aku hanya seorang diri tanpa senjata.

Perlahan–lahan kulangkahkan kaki. Aku berlari sekuat mungkin. Tanpa kusadari, salah seorang dari gerombolan tersebut melihatku dan langsung saja mengejar. Tapi aku cukup pintar. Aku bersembunyi di belakang rumah yang gelap. Orang bertopeng tersebut tak dapat menemukanku.

“Sialan,” umpatnya. Kemudian ia kembali bergabung bersama gerombolannya.

Aku pulang dengan pikiran yang masih mengambang. Kejadian itu tak akan pernah aku lupakan. Aku tak bisa berbuat apa–apa pada malam itu. Aku t’lah menjadi seorang pengecut.

Itulah awal bencana untukku dan keluargaku. Tepat pukul 24.00 malam, sebuah peluru menghantam kaca jendela rumahku. Aku dan istriku langsung terbangun. Saat letusan peluru itu terjadi yang kupikirkan hanyalah anak dan istriku.

Aku berlari ke kamar anak–anakku. Tapi sayang … aku terlambat. Kedua anakku telah raib. Mereka telah di culik. Entah siapa yang telah menculik mereka. Aku tidak tahu …

“Pak, Bagaimana anak – anak kita, Ghali dan Salman ?”

“Mereka diculik…? Ini pasti karena profesi Bapak sebagai seorang tentara,” istriku menyalahkanku.

Istriku menangis sambil menyandarkan kepalanya ke pundakku. Aku tahu bagaimana perasaan istriku saat itu. Perasaan seorang ibu yang kehilangan kedua anaknya. Akulah orang yang seharusnya di salahkan. Karena ada sebuah kesalahan yang sangat besar yang telah kulakukan. Aku telah menjadi seorang tentara.

Malam setelah kejadian itu, istriku tak dapat lagi berbicara. Ia hanya mengurung diri di dalam kamar sambil memandangi foto kedua anak kami yang telah hilang.

“Bu, anak kita pasti kita temukan. Siang ini aku akan melapor pada atasanku untuk meminta izin membawa beberapa anak buahku untuk mencari Ghali dan Salman. Tenanglah … aku pasti menemukan mereka.”

Tak ada jawaban yang keluar dari mulut istriku. Hanya kebisuan menyelimuti raut wajahnya. Hanya tangisan yang selalu menemani kehampaan jiwanya.

Siang itu aku pergi menghadap atasanku, Kolonel Birin untuk meminta izin mencari anak–anakku. Hanya itulah harapan satu–satunya.

“Tok …tok … tok,” perlahan ku ketok pintu ruangan Kolonel Birin.

“Masuk !” terdengar suara lantang Kolonel Birin kubuka perlahan pintu tersebut.

“Siap komandan,” aku langsung memberi hormat kepada atasanku. Tak sepantasnya aku memberi hormat pada seseorang yang lebih muda dariku. Tapi itulah dunia militer. Walaupun aku jauh lebih tua tapi aku hanyalah seorang Letnan.

“Ada apa, Letnan Husien,” tanya Kolonel Birin dengan gaya yang sangat berwibawa.

“Saya ingin meminta izin membawa beberapa anggota untuk mencari anak saya, Pak” jawabku dengan rasa takut.

“Ada apa dengan anakmu sampai–sampai kau ingin membawa beberapa anggota kita untuk mencari mereka.”

Kolonel Birin mendekatiku dengan wajah penuh dengan pertanyaan.

“Semalam anakku di culik oleh orang–orang komunis, Pak,” jawabku dengan lantang. Kolonel Birin terdiam sejenak dan duduk kembali ke tempat duduknya semula.

“Apakah yang menculik anakmu memang benar orang–orang komunis. Darimana kau tahu bahwa yang menculik anakmu adalah orang–orang komunis ?” tanya Kolonel Birin.

Aku terdiam tak dapat berbicara sepatah katapun. Pertanyaan Kolonel Birin membuatku sangat tersudut.

“Aku tidak tahu pasti, Pak. Tapi aku yakin yang menculik anak–anakku adalah orang–orang komunis karena mereka memiliki senjata api,” jawabku.

“Hanya itu …” tanya Kolonel Birin.

“Ya, Pak,” jawabku.

“Itu tak bisa kau jadikan bukti bahwa yang menculik anak–anakmu adalah orang–orang komunis. Setiap orang bisa memiliki senjata api, tapi belum tentu yang memiliki senjata api itu adalah orang–orang komunis. Aku tak bisa memberikan izin untuk membawa anggota kita untuk mencari anakmu. Masalahmu adalah masalah pribadi. Tidak menyangkut kepentingan anggota, Paham !”

Ucapan Kolonel Birin bagai peluru yang menghujami jantungku. Aku tertunduk lesu. Karena hanya itulah satu–satunya harapanku. Tapi apa kenyataannya. Aku mendapat jawaban yang sangat menyakitkan.

Semakin hari keadaan istriku semakin menjadi. Ia lebih sering berbicara sendiri di kamar dan sudah beberapa hari ia belum makan. Keadaannya sangat lemah. Aku tak bisa berbuat apa–apa. Hanya bisa berdoa agar anak–anakku pulang dengan selamat dan istriku kembali seperti semula.

Di setiap pelosok kota sudah hampir semuanya ku singgahi. Tapi anakku tidak kutemukan juga. Aku mencari mereka seorang diri hanya di temani sepucuk pistol tanpa peluru. Aku hampir putus asa. Yang ada di benakku hanyalah kebencian. Kebencian pada Kolonel Birin dan anggota–anggota militer lainnya.

Aku ingin pulang karena sudah seharian mencari anak-anakku. Setibanya di rumah, aku langsung terduduk karena lelah yang sangat. Beberapa saat kemudian aku menuju ke kamar. Kulihat istriku sedang tertidur pulas. Tapi ada sesuatu yang mengganjal pikiranku. Istriku tertidur di atas lantai. Aku langsung mendekatinya.

“Bu, jangan tidur dilantai nanti sakit.” kataku sambil mendekatinya.

Seperti biasa tak ada jawaban yang keluar dari mulutnya. Ku gerakkan badannya tapi tak ada reaksi sama sekali. Kuangkat istriku ke atas ranjang. Bak di sambar petir, tubuh istriku sangat dingin dan kaku. Aku tak ingin memikirkan hal–hal yang buruk tentang istriku. Perlahan ku tempelkan tanganku kehidungnya. Tubuhku lemas. Air mata mulai mengalir di pipiku. Istriku tak lagi bernapas. Istriku telah pergi selamanya. Ya… istriku telah pergi selamanya.

Kejadian itu membuatku sangat terpukul. Istriku dimakamkan tiga hari yang lalu. Aku merasa sebagai pembawa petaka. Semua orang yang kucintai telah pergi dan sampai saat ini aku tak tahu bagaimana keadaan anak–anakku. Aku hanya dapat menunggu. Menunggu sesuatu yang tak akan pernah datang. Ya … tak akan pernah datang.

Seminggu kemudian aku tak sengaja membaca surat kabar yang membuatku terjatuh pingsan. Surat kabar tersebut berisikan : “Dua anak laki–laki terbunuh dengan wajah yang tak dapat lagi dikenali.”

Aku tak tahu siapa yang membawaku. Aku sudah berada di rumah sakit. Pikiranku masih terbayang dengan surat kabar yang kubaca siang tadi. Aku langsung melepas infus yang melekat di nadiku. Seorang perawat langsung mencegatku.

“Pak, jangan bangun dulu, Bapak masih sangat lemah,” perawat tersebut berusaha mencegah.

“Aku ingin melihat anakku,” jawabku sambil mendorong perawat itu sampai terjatuh.

Aku berlari ke kamar mayat dan menanyakan pada petugas tentang dua mayat anak laki–laki yang terbunuh kemarin. Petugas itu langsung menunjukkan kedua mayat tersebut. Tak dapat dipungkiri lagi. Mayat kedua anak tersebut adalah anakku, Ghali dan Salman. Aku masih mengenal tahi lalat yang menempel di kaki mereka.

Kejadian demi kejadian pahit yang menimpaku menjadikan hidupku berubah. Semakin hari orang–orang komunis telah memperoleh banyak pengikut. Termasuk aku. Ya… termasuk aku. Aku sangat benci dengan tentara. Aku ingin membalas kematian anak dan istriku. Karena merekalah yang kuanggap sebagai penyebab kematian mereka.

Tanpa kusadari aku telah tergabung dalam partai terlarang tersebut. Saat itu aku telah meninggalkan profesiku sebagai tentara. Aku telah menjadi pemimpin partai terlarang itu dan hampir menguasai seluruh wilayah kota Semarang. Satu persatu aku dan orang–orangku membunuh anggota–anggota TNI, mulai dari Tamtama sampai ke Perwira semuanya telah kami bunuh dan kami tahan.

Suatu malam, aku dan orang–orangku menyatroni rumah seorang perwira tentara. Rumah yang sangat megah. Di tumbuhi bunga–bunga anggrek dan bunga sedap malam di pekarangannya. Tampak sebuah pos keamanan di sudut depan rumah yang di dalamnya terdapat beberapa tentara berpangkat tamtama sedang tertidur pulas. Dengan mudah aku dan orang–orangku masuk melompati pagar besi yang tidak terlalu tinggi.

“Dor … dor … dor …,” tiba-tiba terdengar suara letusan senapan mengarah tepat di tubuh tentara–tentara yang berada di dalam pos itu. Darah mengalir menganak sungai. Tak satu pun yang tersisa. Semuanya tewas dalam keadaan yang mengenaskan.

Aku dan orang–orangku beranjak pergi menuju pintu masuk rumah. Terlihat dengan jelas sebuah papan nama tergantung tepat di depan pintu masuk. Papan nama itu bertuliskan Kolonel Birin. Aku tersentak. Sebuah kisah yang telah lama terkubur kini terkuak kembali. Bayangan tentang anak dan istriku silih berganti mengisi pikiranku. Kebencian yang telah lama terpendam harus keluar dan berakhir malam itu.

Sekali lagi terdengar letupan peluru. Kunci rumah tersebut terhantam. Aku dan orang–orangku berpencar masuk ke setiap kamar. Tiba–tiba terdengar suara orang yang sedang membuka pintu.

Kolonel Birin! Ya… Kolonel Birin telah berdiri tepat di hadapanku.

“Angkat tangan!” teriakku.

Kolonel Birin langsung mengangkat tangan diikuti istrinya dari belakang.

“Apakah anda masih ingat dengan wajahku, Kolonel Birin?” tanyaku sambil membuka topeng. Wajah Kolonel Birin seketika berubah pucat. Ia kemudian bicara terbata–bata.

“Ka …u … Let…nan Husin,” jawabnya dengan wajah ketakutan.

“Ya … aku Letnan Husin. Tapi sekarang aku bukan lagi seorang Letnan.”

Dari belakang terdengar tangis anak laki–laki sedang digendong anak buahku. Wajah anak itu mengingatkan kejadian tiga tahun silam. Ya, wajah anak–anakku yang telah hancur dan tewas. Aku langsung saja mengambil anak itu.

“Bagaimana kalau pistol ini ku tembakkan ke kepala anakmu, Kolonel Birin ?” tanyaku sambil menodongkan pistol ke kepala anak tersebut.

“Jangan Letnan…! Lebih baik kau ambil semua hartaku. Tapi tolong lepaskan anakku,” teriak Kolonel Birin dengan wajah cemas.

“Aku datang bukan untuk harta, Kolonel Birin. Apakah kau masih ingat bagaimana anak dan istriku tewas, Hah … !” teriakku sambil menarik pemicu pistol yang kupegang.

Dor!!! Sebuah peluru bersarang di kepala anak itu.

Seketika itu juga anak tersebut jatuh ke lantai bersimbah darah yang membusa.

Tidak!!! Kolonel Birin langsung berlari kearahku.

Dor!!! Sebuah peluru keluar lagi dari sarangnya. Tapi kali ini bukan keluar dari pistolku melainkan dari pistol anak buahku. Kolonel Birin tewas dengan dada bersimbah darah. Istrinya jatuh pingsan melihat apa yang terjadi dengan suami dan anaknya. Aku tertawa bahagia. Aku bahagia karena semua dendamku sudah terbalas. Aku yakin anak dan istriku pun ikut senang melihat kematian orang–orang biadab seperti mereka. Tapi anak dan istriku tak lagi disini. Mereka disana didunia yang berbeda denganku.

Kami segera keluar dari rumah Kolonel Birin. Aku dan orang–orangku merayakan pesta atas kemenangan kami. Kami telah berhasil membunuh para petinggi–petinggi tentara. Dalam waktu yang relatif singkat, kami telah berhasil menduduki Kota Semarang.

Tapi semua itu tidak bertahan lama. Presiden mengeluarkan mandatnya untuk menumpas setiap anggota–anggota partai terlarang. Dalam waktu yang sangat singkat, kami berhasil di tumpas bersih oleh TNI. Satu per satu teman–temanku di bunuh dan di tahan. Mereka yang berani melawan langsung di tembak mati oleh TNI. Termasuk aku. Aku tertangkap saat ingin melarikan diri. Aku tertembak. Tiga buah peluru bersarang di kakiku. Tapi Tuhan masih memberikan kesempatan. Aku tidak di vonis mati. Aku di jatuhi hukuman 25 tahun penjara dan dibuang di salah satu penjara di sebuah kota yang sangat terpencil.

Jika aku terlahir sebagai hina

Apakah akupun harus kembali sebagai hina

Aku dipilih tuk mengangkat senjata

Tapi mengapa jalan menggiringku ke arah lain



Aku t’lah buktikan bahwa aku ada

Aku ada sebagai pelindung

Aku ada sebagai penuntun

Semua jalan telah menyimpang

Aku terlahir bukan untuk berjuang

Aku terlahir bukan untuk berperang

Tapi aku telah terlahir sebagai pecundang … kawan



Ingatlah …

Kita semua terlahir sebagai pejuang

Hingga urat mengencang

Sampai tubuh menegang

Kita tetap pejuang …



***

25 tahun sudah terlewati. Telah aku terima balasan yang kuperbuat selama ini. Rambutku sudah berubah menjadi uban dan kulitku sudah tak lagi segar. Tubuhku bergerak tapi jiwaku mati. Dosa-dosaku tak cukup di tebus hanya dengan kurungan 25 tahun. Aku pengkhianat. Akulah pengkhianat bangsa. Bangsa yang telah memberikanku kehidupan. Aku sampah. Akulah sampah bagi keluargaku. Tapi semuanya telah pergi. Aku tak mempunyai keluarga lagi. Aku seorang diri. Mereka telah lama meninggalkanku.

Aku telah bebas dari penjara yang telah mengurungku selama 25 tahun. Aku pun mendengar bahwa orang–orang yang sama sepertiku juga telah di bebaskan. Aku tak mempunyai apa–apa. Aku seorang lumpuh. Aku mempunyai kaki tapi tak dapat lagi berjalan. Rasa sakit itu masih terasa sampai saat ini. Saat aku tertembak …

Aku kembali ke kampung halaman. Rumahku masih seperti dulu. Tapi, banyak terdapat perubahan di dalamnya. Tak ada lagi istriku. Tak ada lagi teriakan dan canda tawa anak–anakku. Hanya tinggal aku sendiri. Aku yang sedang menunggu datangnya ajal menjemput, agar aku dapat kembali bersama keluargaku disana … ya disana di tempat yang sangat jauh … jauh dari dunia yang penuh dosa ini. Agar aku bisa meminta maaf pada istri dan anak–anakku. Aku tahu mereka pasti malu mempunyai ayah dan suami seperti aku. Mereka pasti malu dengan apa yang telah kulakukan selama ini. Karena aku bukanlah pejuang tapi lebih pantas di sebut pecundang.
Nop 2004

TAKADA LAGI Cerpen Erwan Aprianto

TAKADA LAGI
CERPEN Erwan Aprianto

Asap mengepul melayang tanpa arah. Sang raja siang mungkin tak akan lagi menampakkan keagungannya, hari ini. Pasar 16 ilir yang dulunya penuh dengan jejalan kaki lima, kini rata tinggal puing – puing kayu yang terbakar. Bongkar … Bongkar. Entah siapa yang menjerit. Pemandangan yang mungkin tak lagi tabuh tuk dilihat. Inikah yang dinamakan keadilan tuk rakyat jelata. Atau mungkin kemakmuran tuk para pejabat. Ah … aku pun tak tahu.

“Bongkar !” teriak salah seorang petugas yang mengenakan seragam necis dengan pentungan yang mungkin sudah menjadi senjata tuk memukul anjing atau sejenisnya.

Para pedagang yang mangkal di pasar 16 ilir seakan takkan pernah ingin meninggalkan kediamannya. Apakah demi suksesnya Pekan Olahraga Nasional (PON) nasib rakyat harus di korbankan. Kalimat itulah yang sering keluar dari bibir mereka.

Tampak dari kejauhan seorang laki – laki tua yang membawa keranjang di pundaknya. Tukang keruntung. Itulah panggilan akrab yang biasa terdengar di telinganya. Ia menghampiriku sambil tersenyum.

“Mau angkat barang, Mas ?” tanyanya sambil duduk disampingku.

“Ah … nggak Mang. Biar saya sendiri. Itung – itung olahraga,” jawabku.

Mang Abdul. Panggil saja namanya begitu. Kulit hitam gosong terbakar matahari. Urat – urat yang menari – nari di pergelangan tangannya mulai bermunculan. Usia yang masih muda mampu menipu wajahnya yang sudah kelihatan matang.

“Beginilah Mas. Mau cari kerjaan yang enak nggak nguras tenaga, pendidikan nggak menunjang. Ya terpaksa begini kalo mau hidup di zaman yang serba maju seperti sekarang ini,” Mang Abdul mulai cerita.

“Apalagi katanya kita mau jadi tuan rumah PON. Banyak sekali Mas pedagang – pedagang kaki lima yang di gusur dari sini. Katanya sik untuk penertiban. Penghasilan saya semakin sedikit. Pedagang – pedagang banyak yang sudah di pindahkan ke tempat yang telah di sediakan pemerintah. Tambah miskin saya,” eluhnya sambil menghisap rokok yang bukan lagi sekedar kenikmatan.
“Apa mereka selamanya berdagang di situ, Mang ?” tanyaku penasaran.


Erwan Aprianto
Anggota Teater Sansekerta, Sanggar Air Seni Palembang