Oleh Jajang R Kawentar
Kompetisi Liga Monolog Indonesia (LMI) #1 yang digelar di Gedung Kesenian Dewi Asri Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Jalan Buah Batu Kota Bandung Jawa Barat oleh Konsorsium LMI #1 pada 7-11 Novenber 2011 lalu, mempertemukan aktor-aktor teater muda dari beberapa wilayah Indonesia. Mereka menunjukan kebolehannya dalam berakting, dengan membawakan cerita-cerita tentang kearifan lokal. Namun para aktor muda tersebut tidak hanya mengaktualisasikan kemampuan dalam berakting saja, tetapi juga saling berbagi pengalaman dan menyambungkan silaturahmi diantara para pekerja teater dan sekaligus kelompok-kelompok taater dari berbagai daerah yang dimotori oleh kaum muda Indonesia.
Kompetisi Monolog yang direncanakan tahunan ini mengambil tema ‘Lokalitas adalah Identitas’ diisi kegiatan Bakti Aktor, Workshop Keaktoran, Diskusi Keaktoran, Pameran, dan Deklarasi Perserikatan Aktor Muda Teater Indonesia.
Satu-satunya peserta LMI dari Sumatera Selatan adalah Teater Gending Kabupaten Muaraenim, dan dalam kesempatan itu pula Teater Gending meraih peringkat pertama sebagai aktor terbaik sekaligus Duta Aktor Muda Indonesia dalam kompetisi LMI tersebut. Dalam hal ini Fikri MS, sebagai ketua dari Teater Gending Muaraenim sebagai sutradara sekaligus aktor monolog tersebut dan membawakan naskah Rebana yang ditulisnya sendiri. Fikri MS membawa 4 orang kru pendukung penyempurna performancenya. Dodi Irawan, sebagai penata musik, Hendrik K, Adeh Arianto dan Dodi penalosa pemain musik. Ilustrasi musik ini sangat membantu dalam menghidupkan suasana dan menggerakkan suasana masa silamkesenian rebana di Muaraenim ke dalam apresiasi para penonton.
Hanya sebuah kursi kayu dan satu Rebana besar sebagai teman bermain monolog, Fikri MS mampu merebut perhatian para penonton. Dengan kostum bergaya melayu lama, dia begitu menjiwa. Kenapa tidak Fikri MS merupakan aktor, sekaligus dia sebagai motor dalam menghidupkan kembali kesenian rebana di Muaraenim saat ini. Jadi berbagai harapan dan kendala yang dihadapinya saat ini jelas menjadi bagian dari kehidupannya. Sehingga begitu mudahnya dan mengalir saja ketika mengungkapkan setiap kata dan kalimat dengan logat Muaraenim Sumatera Selatannya di atas pentas.
Rebana Sebagai Simbol Perlawanan
Naskah Rebana, mengisahkan bagaimana sebuah perjuangan seorang Salam Said pada masa muda dengan kawan-kawannya sampai kini mempertahankan kesenian Rebana. Dengan sebuah rebana sebagai koneksi pengingat ke dalam masa silamnya itu, mampu menembus aura dan roh masa silam dengan tabuhannya yang menawan. Rebana yang pada masanya merupakan kesenian idola masyarakat Muaraenim, terutama para remaja. Saat ini harus terus berperang melawan seni dari negeri asing yang terus berdesakan melalui berbagai macam sisi dan teknologi. Umumnya anak muda tidak hirau lagi dengan kesenian rebana. Sementara Salam Said sendiri tak berdaya, hanya berharap akan ada orang yang membantu dan memahami betapa indahnya kesenian yang menjadi denyut nadinya itu. Serta ia berharap ada sebuah generasi yang bisa mmelelstarikan kesenian ini.
Rebana sebagai alat musik utama pengiring tradisi arak-arakan menyambut pengantin sunat atau pengantin pernikahan di daerah Muaraenim. Muaraenim sendiri merupakan kota tua sebagai cikal bakal terbentuknya sebuah kabupaten. Seni tradisi arak-arakan muncul sebagai hiburan, juga menyampaikan pesan-pesan keagamaan dan pepatah atau wejangan.
Naskah monolog Rebana ini sesungguhnya merupakan sebuah kritik terhadap anak muda Muaraenim dan terhadap masyarakatnya, mungkin juga terhadap pemerintahan yang mengayomi kesenian tradisi atau budaya daerah. Karena tidak mendapat perhatian, untuk mengembangkan dan ikut melestarikannya.
Dalam monolog tersebut Rebana menjadi sebuah simbol perlawanan terhadap sikap generasi muda yang tidak perduli lagi dengan seni tradisi, bahkan cenderung melecehkan kesenian tersebut. Sesungguhnya kesenian rebana selaras dengan jiwa masyarakatnya. Sebab sejak nenek moyang lahir rebana menjadi satu-satunya alat musik yang mudah di temui di daerah Sumatera dan mudah dipelajari tabuhannya.
Ketika rebana ditabuh seperti sebuah genderang untuk segera memulai mencintai kesenian tradisi daerah. Seakan meneriakkan “ayo lestarikan kesenian kita sendiri”, buanglah sikap tidak perduli dan gensi menekuni kesenian nenek moyang kita. Fikri MS dan Teater Gending Muaraenim telah melakukannya serta berusaha mengembangkannya.
Apresiasi LMI di Bandung merupakan wujud keseriusan dari kelompok Teater Gending Muaraenim dalam berkesenian, dan berusaha mewujudkan sebuah cita-cita luhur dengan meraih simpati para remaja di Muaraenim dalam menciptakan iklim berkesenian yang kondusif di daerahnya sendiri.
Bagaimana apresiasi dari masyarakat daerahnya sendiri, Muaraenim, Dewan Kesenian, dan pemerintahannya? Tentunya sebuah kebanggaan bagi daerah memiliki para penggiat kesenian seperti yang dilakukan Fikri MS bersama anggota Teater Gending tersebut. Karena sebetulnya membangun kondisi berkesenian seperti yang dilakukan Teater Gending saat ini, sangat sulit. Tetapi mereka terus bergerak, mereka berbicara, tidak hanya ngomong namun diiringi dengan segudang karya dan prestasi.
Pentas Monolog di Tiga Kota
Apresiasi yang diberikan dari Konsorsium LMI #1, Teater Gending Muaraenim dalam hal ini Fikri MS diberikan fasilitas untuk pentas monolog di tiga kota pada 14-31 Januari 2012. Pertama pentas di Kota tempat pemenang berada yaitu di Muaraenim,kedua di Jakarta yaitu di Bengkel Teater Rendra dan ketiga di Institut Seni Indonesia Yogyakarta.
Selain mendapat fasilitas untuk pentas di tiga kota, Fikri sebagai aktor terbaik sekaligus Duta Aktor Muda Indonesia versi LMI 2011, ia mendapat Piagam Penghargaan, Tropy dan uang pembinaan sebesar 2,5 juta. Dengan diraihnya penghargaan ini, menjadi motivasi bagi Teater Gending untuk lebih giat memberdayakan kaum muda melakukan kerja-kerja budaya di Muaraenim khususnya dan Sumatera Selatan.
Teater Gending bisa dijadikan sebagai pilot projek dalam peran sertanya mengorganisir kaum muda Muaraenim untuk ikut mengembangkan dan melestarikan kesenian daerah. Disamping itu mereka berperan aktif mempromosikan kesenian daerahnya, dan berusaha menggali potensi kebudayaan daerahnya dengan mencoba menampilkan aplikasi berbagai bentuk drama ke dalam tradisi daerahnya. Sehingga bentuk tampilan karya-karyanya mengarah kepada bentuk yang khas, serta unsur lokalnya begitu kental. Seperti penggunaan logat, bahasa dan musik Muaraenim.
Teater Gending sudah mampu mewarnai dan menggairahkan kehidupan kesenian di daerah. Kelompok atau komunitas seni yang berada di daerah lain patut belajar banyak kepadanya.
Penulis adalah Pembina Komunnitas Sastra Lembah Serelo dan guru SMA Negeri 1 Merapi Selatan Kab. Lahat
Rabu, 23 November 2011
Langganan:
Postingan (Atom)