Jumat, 13 November 2009

TKI

Tukang Kebun Indonesia

Sabtu, 14 November 2009 | 02:59 WIB

Budiarto Shambazy

Tanggal 14 Desember 2009 pas 40 tahun kematian Soe Hok Gie di Gunung Semeru, Jawa Timur. Kami alumni Universitas Indonesia mempersiapkan buku Soe Hok Gie Sekali Lagi yang dirilis 18 Desember dan ”Napak Tilas Soe Hok Gie” yang diadakan Komunitas Kelompok Pencinta Alam Malang/Mapala UI di Gunung Semeru pada 20 Desember.

Justru setelah tutup usia dalam usia 27 tahun, banyak yang sadar bahwa ia pejuang konsisten. Banyak yang mafhum bahwa saat sebagian besar mahasiswa menikmati bulan madu bersama Orde Baru, ia justru keluar dari magnet kekuasaan.

Predikat konsisten itu menempel pada diri dan aktivitas Hok Gie karena tiga hal, yakni ia pribadi baik, bersih, dan pemberani. Ia memimpin mahasiswa yang pada hari-hari Januari 1966 menggalang kekuatan memprotes Presiden Soekarno di Istana Bogor. Namun, yang ia protes bukan pribadi Bung Karno, melainkan Orde Lama.

Ia tetap bersimpati terhadap sosok Bung Karno sebagai pribadi, yang ia tegaskan melalui pernyataan atau artikel di koran. ”Saya katakan bahwa Bung Karno telah menyengsarakan rakyat. Tetapi, itu tidak berarti bahwa penentang-penentang Bung Karno pahlawan pembela rakyat. Banyak di antara mereka yang bajingan dan oportunis,” katanya.

Sikap tak pandang bulu Hok Gie, misalnya, ditunjukkan tahun 1968, tak lama setelah Soeharto jadi presiden. Ia menggalang mahasiswa dan alumni memprotes Kodam V Jaya yang mau mengooptasi aspirasi kampus melalui siaran RUI (Radio UI). Old habit die hard!

Sekalipun ikut berjasa membidani kelahiran Orde Baru, Hok Gie memilih jadi dosen sejarah di Fakultas Sastra UI. Ia masih teramat belia dan punya peluang merebut posisi politik menguntungkan. Namun, ia lebih suka menyendiri ke puncak gunung menemukan kedamaian hati.

Kami angkatan 1970-an ke atas yang aktif di Dewan Mahasiswa, Majelis Permusyawaratan Mahasiswa, Senat Mahasiswa, dan Badan Perwakilan Mahasiswa UI ”mengenal” Hok Gie dari buku, artikel, dan cerita. Kami tahu ia konsisten karena ia mempelajari sejarah bangsanya.

Ketika para pemuda/mahasiswa mengucapkan Sumpah Pemuda, dunia relatif makmur. Tekad menyatakan ”Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa” merupakan kulminasi dari perjuangan bangsa-bangsa yang ingin melepaskan diri dari penjajahan. Begitu banyak kebetulan sejarah yang terjadi saat dimulainya abad ke-20.

Asia bangga Jepang mengalahkan Rusia dalam perang 1905 walau militerisme Jepang tak kuasa menahan nafsu menjajah China dan Korea. Perang Dunia I 1914 mengubah perimbangan kekuatan Eropa. Negara-negara di benua tua itu mempertahankan stabilitas dan perdamaian sambil melanjutkan dominasi kultural di negara jajahan.

Namun, akhirnya mereka bersaing sendiri. Mereka mengaku beradab dan demokratis, tetapi dipermalukan sendiri oleh fasisme Perdana Menteri Italia Benito Mussolini dan ambisi ekspansionis Kanselir Jerman Adolf Hitler. Amerika Serikat mengakhiri netralitas saat Presiden Woodrow Wilson menyeret negaranya ke Perang Dunia I.

Setahun setelah Sumpah Pemuda, Amerika Serikat dilanda ”Depresi Besar” yang juga melanda sebagian Eropa. Dalam konteks dunia seperti itulah nasionalisme Indonesia tumbuh. Para pemuda/mahasiswa ketika itu dipengaruhi pula oleh kebangkitan kebangsaan di Turki, India, dan China.

Boedi Oetomo didirikan 1908 oleh Wahidin Soediro Hoesodo, Raden Soetomo, dan Goenawan Mangoenkoesoemo. Tujuannya nonpolitis, menuntut Belanda mengembangkan pendidikan yang menjamin kemuliaan pribumi. Pada akhir 1909 anggota Boedi Oetomo mencapai sekitar 10.000 orang, kebanyakan bermukim di Jawa/Madura.

Daya tarik Boedi Oetomo berkurang ketika Hadji Samanhoedi dan Raden Mas Tirtoadisoerjo mendirikan Sarekat Dagang Islam (SDI) 1909. Tiga tahun kemudian SDI berubah menjadi Sarekat Islam (SI) yang mengalami keemasan ketika dipimpin HOS Tjokroaminoto.

Ada juga Nationale Indische Partij (NIP) yang didirikan 1929, organisasi ”campuran” Eurasia/pribumi pimpinan Douwes Dekker, Tjipto Mangoenkoesoemo, dan Ki Hadjar Dewantoro. Seorang anggota NIP, Hendrik Sneevliet, menginfiltrasi SI membuka jaringan komunisme internasional yang melibatkan Semaoen, Darsono, dan Tan Malaka.

Perserikaten Kommunist di India (PKI) berdiri 1920, melanjutkan persaingan perjuangan kebangsaan SI versus komunis. Tokoh-tokoh Islam nasionalis yang ogah terlibat kompetisi mendirikan Muhammadiyah, 1912, yang dipimpin KH Ahmad Dahlan. Lewat ideologi berlainan, semua kekuatan pemuda/mahasiswa memulai perjuangan.

Bung Hatta ambil bagian sebagai Ketua Perhimpoenan Indonesia, kumpulan mahasiswa di Belanda, mulai 1922. Empat tahun kemudian lahir Nahdlatul Ulama yang salah satu pendirinya, Wahid Hasjim, adalah ayah Gus Dur. Setelah itu Bung Karno mendirikan Partai Nasional Indonesia 1927.

Semua potensi pemuda/mahasiswa bergabung ke Permoefakatan Perhimpoenan Politiek Kebangsaan Indonesia (PPPKI). Pada akhirnya dinamika perimbangan kekuatan nasionalis, komunis, militer, dan Islam melahirkan ”konflik dan konsensus” dalam perpolitikan Orde Lama.

Mahasiswa Akbar Tandjung, Cosmas Batubara, dan Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) mendukung lahirnya Orde Baru. Mahasiswa Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, Sjahrir, dan Hariman Siregar mengoreksi Orde Baru. Mahasiswa 1998 menjadi the highest power penumbang Orde Baru.

Seperti Hok Gie, mahasiswa 2009 tetap konsisten. Mereka sudah turun ke gelanggang untuk melawan kriminalisasi KPK, membongkar mafia hukum, dan, sebentar lagi, mendesak DPR menguak tabir skandal Bank Century. Seperti Hok Gie, mereka baik, bersih, dan pemberani.

Kini nyaris setiap hari mahasiswa berunjuk rasa di sejumlah kota. Bisa dibayangkan apa jadinya jika mahasiswa berpangku tangan saja? Sementara pada saat yang sama pers, masyarakat madani, profesional, dan DPR pasrah?

Mahasiswa satu-satunya kekuatan moral pengawal hati nurani rakyat. Mereka beberapa tahun saja menyandang status sebagai mahasiswa. Mereka ibarat tukang kebun yang menyirami taman Indonesia yang indah supaya tak dikotori siapa pun yang memerintah kita. SUMBER: KOMPAS

Resepsi dan Korupsi

Teori Resepsi dan Korupsi

Sabtu, 14 November 2009 | 02:49 WIB

Budi Darma

Terceritalah, pada tahun 1929 seorang pemikir bernama IA Richards menganalisis kekeliruan para mahasiswa dalam memahami teks. Dari sini kemudian lahir berbagai teori tentang sikap pembaca terhadap teks.

Teori demi teori terus berkembang, sampai akhirnya terbentuk Reader Response Criticism, dan kadang dinamakan Teori Resepsi, yaitu pemaknaan pembaca terhadap teks.

Teori ini berangkat dari sebuah postulat bahwa teks baru mempunyai makna manakala teks itu dibaca dan, dalam menghadapi teks, pembaca pasti menyikapi teks itu sesuai dengan kemampuannya menangkap makna teks. Kemampuan ini ditunjang berbagai faktor, antara lain pengalaman pembaca dalam membaca berbagai teks, perjalanan hidup, dan pandangannya terhadap kehidupan.

Pada mulanya teks sastra

Awalnya pengertian ”teks” ini terbatas pada teks sastra, tetapi tidaklah mustahil manakala pengertian awal ini bisa berkembang ke mana-mana. Karena itu, jangan heran manakala teks bisa juga identik dengan kehidupan.

Membaca teks, dengan demikian, bisa identik dengan membaca kehidupan dan, karena membaca kehidupan menyangkut berbagai aspek, setiap orang memiliki hak memaknai kehidupan sesuai dengan daya tangkapnya.

Karena teori resepsi lahir melalui proses panjang, dengan sendirinya nama tokohnya juga banyak. Meski demikian, pada hakikatnya semua pendapat menjurus pada muara yang lebih kurang sama: dimensi empiris, dimensi foregrounding, dimensi harapan, dimensi ketidakmengertian, dan dimensi keterkaitan teks dengan realitas. Keterkaitan antara satu dimensi dan dimensi lain dengan sendirinya amat kuat.

Dalam dimensi empiris, pembaca dituntut punya pengalaman membaca teks alias kehidupan. Dalam dimensi foregrounding, pembaca dianggap dapat menangkap makna kehidupan dan apa kiranya yang akan terjadi kemudian. Karena diharapkan dapat melihat apa yang kira-kira akan terjadi, muncul dimensi harapan, yaitu harapan mengenai penyelesaian apa yang akan terjadi selanjutnya.

Lalu, muncul dimensi ketidakmengertian karena baik dalam menghadapi teks maupun kehidupan, kemungkinan adanya sambungan yang hilang selalu ada. Akhirnya, agar tervalidasi, semua dimensi ini harus dikaitkan dengan realitas, yaitu kehidupan yang benar-benar terjadi lengkap dengan dinamika perkembangannya.

Dinamika perkembangan perlu dipertimbangkan karena teks alias kehidupan tak lain adalah sebuah dunia yang tak mungkin statis. Ketidakstatisan ini bisa menjadi lebih rumit karena setiap pembaca punya daya tangkap sendiri dan daya tangkap ini bisa berkembang karena berbagai faktor, baik internal maupun eksternal. Faktor internal dalam hal ini identik dengan pengalaman dan kematangan pembaca yang tentunya tak akan selamanya statis. Faktor eksternal terkait dengan dinamika realitas di luar pembaca.

Komisi III DPR

Satu contoh dinamika realitas bisa kita simak lewat fakta dalam acara dengar pendapat Komisi III DPR beberapa waktu lalu. Dalam acara ini, Kapolri tampak sangat gagah dan sangat percaya diri. Terasa benar bahwa Komisi III mendukung Kapolri. Fakta ini menunjukkan bahwa pemimpin (nonaktif) KPK harus segera diadili karena bukti untuk mengadili mereka sudah cukup kuat. Fakta ini juga mengacu pada dugaan bahwa pemimpin (nonaktif) KPK ini sangat pantas dilemparkan ke penjara.

Makna teks alias kehidupan mengalami perubahan karena ada kekuatan eksternal yang bisa, paling tidak untuk sementara, menggerakkan perubahan. Pembaca dengan sendirinya paling tidak untuk sementara bisa pula terpengaruh dan, karena itu, pemaknaannya terhadap teks alias kehidupan juga bisa berubah.

Namun, apa pun yang terjadi, pembaca tetap memiliki berbagai dimensi, antara lain dimensi empiris, dimensi foregrounding, dan dimensi harapan. Dengan berbekal tiga dimensi ini, pembaca dapat menyimpulkan bahwa pola-pola yang lebih kurang sama pasti akan dipertontonkan oleh pihak-pihak yang diduga terkait masalah rumit ini.

Pola ini selalu muncul dalam bentuk itu-itu saja, antara lain bantahan telah melakukan perbuatan tertentu, penyebutan nama Tuhan dan sikap religius, pemerasan air mata, dan ketersekonyong-konyongan terserang penyakit. Semua perwujudan ini, dalam berbagai versi, sudah ”diharapkan” oleh pembaca pasti akan muncul. Atau, apabila seseorang yang diduga tersangkut perkara merasa mempunyai kekuatan besar, sikap-sikap jumawa pasti akan dipertontonkan oleh orang semacam ini. Aparat pun akan ragu-ragu memprosesnya.

Ketidaktahuan

Ada lagi dimensi yang penting: ketidaktahuan. Ketidaktahuan bisa terjadi karena derajat rantai hilang dalam satu kasus dengan kasus lain mungkin saja berbeda dan mungkin pula perbedaannya sangat mencolok. Jangan heran, dengan demikian, manakala Tim 8 pernah bingung dan, karena itu, mengancam akan mengundurkan diri.

Pembaca, dalam hal ini masyarakat, juga bingung. Namun, karena masyarakat, menurut istilah Carl Gustav Jung, diikat oleh kesadaran bersama, hati nurani masyarakat akhirnya akan berbicara tanpa kepura-puraan.



Budi DarmaSastrawan

Sumber: Kompas

Memerintah Tanpa Budaya

Memerintah Tanpa Budaya (Lagi)

Sabtu, 14 November 2009 | 03:47 WIB

Saifur Rohman

Kabinet Indonesia Bersatu II 2009-2014 secara mengejutkan tidak lagi menempatkan Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata di bawah koordinasi Menko Kesejahteraan Rakyat sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, tetapi kini berada di bawah Menko Perekonomian. Jika strukturisasi kabinet adalah sebuah refleksi dari sistem pemikiran tentang idealitas pemerintahan, dengan kebijakan itu, unsur ”kebudayaan” tampaknya telah dianggap sebagai substruktur yang tak jauh berbeda dengan ”pariwisata”.

Dalam kacamata kuantitatif, konsepsi kebudayaan itu hadir sebagai entitas mikro dalam desain pembangunan nasional. Bacalah, anggaran belanja yang tertuang dalam RAPBN tahun 2010, memberikan alokasi dana kepada kebudayaan sekitar Rp 300 miliar (0,028 persen) dan kesenian sekitar Rp 78 miliar (0,0074 persen). Bisa dikatakan sama dengan tahun sebelumnya.

Jika pembangunan kebudayaan merupakan bagian kecil dalam desain pembangunan nasional, penting kiranya menanyakan kembali orientasi pemerintahan masa kini. Bagaimana rupa pemerintah tanpa budaya? Bagaimana mungkin sebuah pemerintahan dibangun tanpa fondasi strategis terkait dengan kebudayaan?

Budaya sebagai alas

Penelusuran di dalam rumpun ilmu sosial, khususnya sebuah teori ekonomi, akan didapat istilah corporate culture sebagai titik orientasi kinerja seorang karyawan dalam praksis kerjanya sehari-hari. Demikian pula, teori kepemimpinan memberikan istilah transformational leadership dalam setiap organisasi untuk mewarisi semangat yang dibentuk para pendiri perusahaan.

Teori politik yang dikembangkan Hannah Arendt dalam The Origin of Totalitarianism (1976: 89) memperlihatkan integrasi sosial di dalam sebuah pemerintahan haruslah diikat dengan ”sebuah ketundukan terhadap identitas yang terus diperkuat oleh penguasa”.

Ikatan-ikatan inilah yang menjadikan sebuah negara-bangsa bisa didirikan. Eksplisitasi di dalam anggaran dasar yang disebut dengan undang-undang dan semboyan yang disebut dengan falsafah bangsa adalah orientasi kultural yang didesain sejak awal pembentukan negara. Oleh karena itu, pelestarian dan pengembangan falsafah ini sesungguhnya lebih penting dari kebutuhan apa pun di republik ini.

Tinjauan pembangunan kultural dari masa ke masa memperlihatkan adanya upaya yang sangat luar biasa membangun kebudayaan sejak awal. Nagara Krtagama karya Mpu Prapanca pada abad ke-12 memperlihatkan konsepsi kebudayaan melalui dharma sebagai pengabdian kepada Syiwa Buddha. Raja Hayamwuruk sebagai pelindung negeri dan abdi yang menyejahterakan rakyat selalu menetapkan waktu-waktu tertentu untuk ”menyembah Syiwa Buddha”.

Demikian pula, Kerajaan Islam pada 1478 dalam chandra bumi sirna ilang kertaning bumi (1400 Saka atau 1478) meninggalkan kebudayaan intangible bagi generasi-generasi sesudahnya. Istana kerajaan Raden Fatah tidak ditemui, tetapi Masjid Demak membawa ikon tentang kebudayaan Islam masa lampau yang terpelihara hingga kini.

Fotokopi budaya kolonial

Di bagian lain, pemerintahan Hindia Timur Belanda, yang berada di bawah Kementerian Tanah Jajahan, telah membawa kultur baru dalam pembentukan sistem kebudayaan. Sebagaimana garis kebijakan Kementerian Kolonial di The Haque (Den Haag), penerapan kebijakan di tanah jajahan haruslah dilandasi oleh hadirnya kekuasaan ”misterius” yang mampu memaksa para warga koloni untuk tunduk dan patuh.

Sistem cultuurstelsel (tanam paksa), landrente (pajak tanah), sistem onderneming (perkebunan), dan poenali sanctie (hukum buruh) dalam kebijakan perburuhan yang diterapkan pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 itu telah memengaruhi pola pikir masyarakat kolonial tentang idealitas-idealitas sebuah kebudayaan. Artinya, kebudayaan haruslah di bawah kendali sistem perekonomian yang memiliki orientasi jelas, yakni orientasi kapitalistik yang menghamba terhadap keuntungan.







Kita berada pada sebuah masa ketika gerakan angka-angka dalam statistik ekonomi dimaknai sebagai pertumbuhan. Dan kesejahteraan masyarakat Indonesia hanyalah masalah kuantifikasi Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index).

Persoalan-persoalan identitas keindonesiaan, semangat kebersamaan, keadilan sosial, dan pelestarian filsafat bangsa pun tertinggal sebagai bagian dari kurikulum tua yang tidak pernah diperbarui di dalam sistem pendidikan kita.

Lebih dari itu, pembangunan kebudayaan dalam strategi pemerintahan seperti barang apak yang disimpan di gudang tua tak tersentuh. Sampai lima tahun lagi. Setidaknya.



Saifur Rohman Pengamat Seni dan Budaya, Alumnus Doktor Filsafat Universitas Gadjah Mada, menetap di Semarang
SUMBER: KOMPAS

Puisi Tragedi Semanggi

Puisi Peringati Tragedi Semanggi

Jumat, 13 November 2009 | 21:35 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com — Peringatan 11 tahun tragedi Semanggi I digelar di Kampus Unika Atmajaya, Jakarta, Jumat (13/11). Dalam kesempatan tersebut tampak hadir orangtua para korban, aktivis Kontras, dan sivitas akademika dari YAI, Universitas Indonesia, Universitas Atmajaya, UIN Syarif Hidayatullah, dan Universitas Bung Karno.

Meski sederhana hanya dengan lesehan, peringatan ini terasa khidmat. Apalagi, saat dibacakannya puisi yang dibuat oleh salah satu korban sebelum tewas tertembak dalam peristiwa berdarah itu. Puisi tersebut adalah karya Bernardus Realino Norma Wirawan (Wawan), mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Atma Jaya.

"Aku benci tirani. Aku benci rezim. Kini aku lelah. Terlalu lama aku main. Aku baru sadar akan bahaya tirani. Aku sadar aku telat. Aku siap mati demi bangsa dan rakyatku. Aku hanya berharap oangtuaku tabah. Aku berharap semoga perjuanganku tidak sia-sia. Aku berharap semoga aku masih ada tempat. Aku kini hanya bisa pasrah kapan pun aku mati. Aku sudah siap. Bagaimanapun caranya aku siap. Aku tidak pernah bermimpi dihormati. Aku hanya bermimpi hidup makmur, sejahtera walaupun di alam baka."

Wawan adalah korban kedua pada peristiwa berdarah 13 November 1998. Ia tewas setelah peluru aparat menembus dadanya saat akan menolong kawannya yang terluka di pelataran parkir Kampus Atma Jaya. Peristiwa berdarah yang terjadi antara 11-13 November 1998 itu menewaskan tak kurang dari 17 warga sipil.

Seusai pembacaan puisi, Arif Priyadi, ayahanda Wawan, menyatakan harapannya agar mahasiswa tetap mengawal reformasi serta memperjuangkan kebenaran dan keadilan. Keluarga korban juga tetap menuntut pemerintah menuntut keadilan dengan mengusut tuntas dalang peristiwa tersebut. Sumber: Kompas

Kamis, 12 November 2009

Mafia Indonesia

Membongkar Mafia Indonesia

Jumat, 13 November 2009 | 02:38 WIB

Dominggus Elcid Li

Pernyataan Amien Rais bahwa masyarakat perlu mengawal pemberantasan mafia di Indonesia tidak berlebihan (Kompas.com, 6/11/2009).

Meski kata mafia masih dimengerti sekadar fantasi dalam film God Father, dan belum lagi merupakan kenyataan sehari-hari. Padahal, bagaimana kita bisa membedakan pembunuhan arahan Vito Corleone dan kematian Nasrudin Zulkarnaen?

Tontonan vulgar praktik antihukum akhir-akhir ini sekadar memindahkan peristiwa di belakang layar ke layar kaca. Aslinya para pekerja media hanya ”menyoroti” apa yang selama ini dialami warga negara menjadi ”pengetahuan publik/bersama”.

Marah dan protes biasanya menjadi reaksi awal menanggapi ”pengakuan” para pihak yang terlibat. Namun, niat baik saja tidak cukup dalam melawan jaringan kriminal.

Kata mafia, aslinya menunjuk organisasi kriminal Italia semacam Cosa Nostra dan Ndarangheta. Namun, kata itu kini sudah umum dipakai untuk segala organisasi kejahatan terorganisasi dan dijalankan dengan ”aturan internal” ketat, misalnya Red Mafia (Rusia), Triad (China), dan Yakuza (Jepang). Literatur tentang mafia Indonesia sendiri hingga kini belum ditemukan, dan kata mafia masih dipakai umum sekadar ”pengandaian”. Padahal, efek jaringan mafia terhadap negara ini jelas tampak.

Menawarkan proteksi

Menurut Diego Gambeta (1993), negara dan mafia menawarkan hal yang sama, yaitu proteksi. Warga negara diasumsikan mendapat perlindungan dari aparat negara karena membayar pajak, sedangkan mafia menjual proteksi khusus kepada kliennya. Praktik mafia menjadi persoalan karena memperdagangkan hal-hal yang menurut aturan negara adalah ilegal.

Persoalan legal dan ilegal menjadi kabur batasnya dalam pasar mafia. Melindungi pelaku pelanggar hukum merupakan komoditas perdagangan dalam jaringan mafia.

Ironisnya, dalam negara anarki, proteksi yang ditawarkan mafia lebih masuk akal di mata pengusaha dibandingkan dengan negara. Sebab, pajak kepada negara cenderung tidak berbekas karena aparatur negara juga memperdagangkan layanan yang seharusnya diterima sebagai konsekuensi membayar pajak.

Membongkar mafia

Membongkar jaringan mafia jelas tidak mudah. Di Sicilia, Italia, Diego Gambeta dalam investigasinya terhadap jaringan mafia hanya mampu menganalisis praktik mafia berdasarkan wawancara terhadap pedagang pasar buah, rantai terbawah jaringan ini, karena nyawa taruhannya. Di Indonesia, kenyataan ini sedang jadi tontonan sehari-hari.

Mafia dalam politik di Italia bisa dibaca dalam skandal Silvio Berlusconi. Orang nomor satu Italia ini pun tidak bisa dianggap bersih. Perdana Menteri Berlusconi, yang menguasai tiga jaringan media Italia, baru bisa disentuh setelah jaringan media milik raja media Rupert Murdoch membukanya. Konflik di antara dua jaringan oligarki merupakan pemicu terbukanya skandal Berlusconi. Sejak Oktober 2009, impunitas Berlusconi dicabut sehingga skandal keuangannya bisa diusut.

Di Indonesia, tanpa memahami gerak mafia dan kaitannya dengan negara, usaha membuka kasus kriminal ibarat melenyapkan satu sel kanker. Aparat negara yang telah dikuasai jaringan mafia malah melakukan kejahatan terhadap warga negara.

Anarki dan ”ochlocracy”

Krisis negara terjadi setelah kepala negara dan kabinet dilantik. Kita masih di dunia fantasi demokrasi dan mabuk pujian sebagai satu dari banyak negara dengan penduduk terpadat yang menjalankan demokrasi. Jean- Jacques Rousseau menyebut demokrasi yang diselewengkan sebagai ochlocracy (1973: 234), atau praktik ”kerumunan”. Ini bagian kondisi anarki yang ditandai dengan pupusnya negara. Di Indonesia, hal ini tampak dengan memudarnya legitimasi aparat.

Jika Rousseau hanya menyebut ”kerumunan”, jaringan mafia yang bergerak dalam situasi anarki bukan kerumunan. Jaringan kriminal yang terorganisasi dengan struktur rapi beroperasi dalam sel lintas institusi.

Bagaimana negara bisa bertahan menghadapi mafia hingga kini belum terjawab. Ini sekaligus menjawab pertanyaan mengapa jaringan mafia Indonesia bisa dijawab para facebookers Indonesia. Sederhananya karena keduanya beroperasi dalam sistem jaringan simetris. Pertanyaannya, apakah jaringan antimafia yang terjalin di internet bisa dioperasikan dalam kenyataan?

Menghadirkan solidaritas antarwarga sebagai kenyataan bukan hal mudah. Pada tahun 1998, jaringan warga Indonesia gagal bekerja sama. Politik era reformasi Indonesia jika dibaca teliti tak berbeda dengan era dogfights dalam sejarah politik RRC.

Keluar dari situasi itu merupakan keharusan jika situasi anarki ingin dilampaui dan pembangunan negara dikerjakan. Agar tak lagi sama seperti tahun 1949 yang ditulis Chairil Anwar dalam ”Derai-derai Cemara” lewat puisinya, hidup hanya menunda kekalahan. Sudah 64 tahun kita ”bernegara” dan kedaulatan rakyat masih fantasi, sedangkan mafia menjadi kenyataan. Ini adalah tragedi untuk menyatakan kekalahan berulang.

Dominggus Elcid LiCo-editor Jurnal Academia NTT; Anggota Persaudaraan Indonesia; Mahasiswa PhD Departemen Sosiologi Universitas Birmingham, Inggris.
Sumber: Kompas

SELAMAT UNTUK RAHARDI DAN SINDU

Khatulistiwa untuk Rahardi dan Sindu

Jumat, 13 November 2009 | 02:54 WIB

Jakarta, Kompas - Sastrawan F Rahardi memperoleh penghargaan Anugerah Sastra Khatulistiwa tahun 2009 untuk kategori prosa terbaik lewat novelnya Lembata. Untuk kategori puisi, penghargaan ini diberikan kepada Sindu Putra atas karyanya Dongeng Anjing Api. Setiap penerima penghargaan memperoleh hadiah Rp 100 juta.

Penghargaan juga didapat Ria N Badaria dengan karya Fortunata untuk kategori penulis muda berbakat di bawah usia 30 tahun dengan hadiah Rp 25 juta. Kemudian Hadiah Khusus Metropoli D’Asia Khatulistiwa jatuh kepada Sihar Ramses Simatupang dengan karya Bulan Lebam di Tepian Toba. Selain karyanya diterjemahkan dan diterbitkan di Italia, Sihar juga menerima hadiah 3.000 euro.

Malam Anugerah Sastra Khatulistiwa diumumkan di atrium Plaza Senayan, Jakarta Selatan, Selasa (10/11) malam. Penjurian dilakukan oleh tim dengan ketua juri Robertus Robet. Para pemenang ketiga kategori itu terpilih di antara lima finalis.

Untuk kategori prosa, misalnya, ada lima finalis, yaitu Tanah Tabu (Anindita S Thayf), Lacrimosa (Dinar Rahayu), Lembata (F Rahardi), Sutasoma (Cok Sawitri), dan Meredam Dendam” (Gerson Poyk). Finalis kategori puisi terdiri dari Perahu Berlayar sampai Bintang (Cecep Syamsul Hari), Puan Kecubung (Jimmy Maruli Alfian), Partitur, Sketsa, Potret, dan Prosa (Wendoko), Kolam (Sapardi Djoko Damono), dan Dongeng Anjing Api (Sindu Putra).

Dalam katalog penghargaan, Robertus mencatat, penjurian dilakukan tim yang beranggotakan banyak orang dengan latar belakang beragam: pengarang, psikolog, sejarawan, sosiolog, pengajar filsafat, dan pekerja media. Tim ini tak berniat menasbihkan pengarang-pengarang hebat dalam sastra Indonesia, tetapi mengungkapkan pandangan kebenaran subyektif karya sastra.

Penggagas dan penyelenggara Anugerah Sastra Khatulistiwa, Richard Oh, mengatakan, anugerah tahunan itu diberikan untuk menghargai pencapaian penulis sastra di Indonesia sekaligus mendorong para penggiat sastra mengembangkan kerja kreatifnya. Dana hadiah diperoleh dari sejumlah sponsor.

Anugerah Sastra Khatulistiwa ajek memberikan penghargaan sastra setiap tahun sejak 2001. Penghargaan tahun ini merupakan yang kesembilan. Selain pemenang utama, biasanya para finalis di kategori prosa dan puisi juga memperoleh hadiah.(IAM)Sumser: Kompas

Selasa, 10 November 2009

Cicak dan Buaya dalam Puisi Indonesia Modern

oleh Asep Sambodja

Ketika puisi Tulus Wijanarko yang berjudul “Sajak Perlawanan Kaum Cicak” muncul di facebook saya, spontan saya mengatakan, inilah puisi Indonesia terbaik bulan ini. Ketika itu bulan menunjukkan Oktober 2009. Bahkan bisa jadi inilah puisi terbaik sepanjang 2009. Saya seperti menemukan kembali puisi yang bermanfaat bagi orang banyak, bagi masyarakat. Selama ini, terus-terang saja, dunia puisi Indonesia modern didominasi oleh apa yang dikatakan Rendra sebagai penyair-penyair salon. Mereka menulis puisi tanpa melihat jeritan batin rakyat kecil. Hal itu seperti menjadi lumrah dalam media massa kita. Sah-sah saja penyair-penyair salon itu bicara tentang persoalan pribadinya, kemelut hati, eksplorasi dan bahkan eksploitasi seks, silakan saja. Karena menulis topik apa pun pasti memiliki dasar yang sangat kuat, yakni kebebasan ekspresi.
Hanya saja, penyair yang peduli dengan kehidupan rakyat kecil itu masih sedikit jumlahnya. Kalaupun ada, maka posisinya selalu dipinggirkan, termarginalkan. Kita ingat ketika Rendra muncul dengan puisi-puisi pamflet, maka yang melecehkan bukan saja penyair-penyair salon, melainkan penguasa yang tak tahan kritik. Rendra pun dipenjara. Kita ingat ketika Wiji Thukul muncul dengan puisi-puisi perlawanannya, tak ada koran yang berani memuat puisinya. Ia malah diculik dan dibunuh oleh Rezim Orde Baru.
Kini, ketika puisi Tulus Wijanarko terbit di media online, dalam hal ini facebook, seakan-akan ada sinar yang menerangi jagad perpuisian Indonesia. Setelah Saut Situmorang dan Heri Latief, kini saya menemukan sosok penyair antipenindasan yang melekat pada diri Tulus Wijanarko. Puisi Tulus ini lahir tidak seperti bintang yang jatuh dari langit, melainkan ada konteksnya. Dan, rakyat Indonesia tahu dan paham apa yang tengah terjadi di dunia penegakan hukum kita.
Makanya, agak aneh rasanya jika kenyataan yang kita lihat adalah persekongkolan busuk yang sangat mengusik rasa keadilan masyarakat, penyair malah bicara tentang payudara atau tentang bunga. Menurut saya, boleh saja mereka menulis puisi tentang itu, tapi jangan selamanya menutup mata, jangan membohongi hati nurani sendiri dengan sembunyi di balik selimut “seni untuk seni”.
Dalam hal ini, saya sepakat dengan Adnan Buyung Nasution, bahwa persoalan hukum jangan hanya dilihat pada segi normatif legalistiknya saja, jangan hanya dilihat pasal-pasalnya saja, tapi lihat dan perhatikan juga rasa keadilan masyarakat. Demikian pula dengan menulis puisi, jangan hanya dilihat bentuk formalnya saja, tapi selami dan hayati persoalan-persoalan yang tengah dirasakan rakyat. Dalam koridor seperti itulah saya sangat beruntung menemukan kembali puisi perlawanan dari seorang penyair yang juga wartawan Koran Tempo, Tulus Wijanarko.
Jujur saya katakan, sebelum menulis puisi perlawanan ini, Tulus banyak menulis puisi-puisi yang mengangkat masalah keseharian, yang mengingatkan kita pada Pak Besut dan Umar Kayam; yang kini diteruskan Bakdi Soemanto. Bahkan saya sempat memberi julukan “Penyair Angkringan” kepada Tulus Wijanarko karena puisinya tentang angkringan membangkitkan nostalgia pada Yogyakarta.
Sebagaimana Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfoed M.D. yang mengukir sejarah pada Selasa, 3 November 2009, karena membongkar mafioso peradilan di Indonesia; yang memperdengarkan rekaman seorang cukong bernama Anggodo Widjojo yang dengan begitu entengnya mengatur penanganan hukum terhadap adiknya, Anggoro Widjojo, yang menjadi buronan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Yang mengejutkan jutaan rakyat Indonesia adalah: yang diatur oleh Anggodo ini adalah pejabat-pejabat tinggi yang ada di Kejaksaan Agung dan Polri. Tidak hanya itu, advokat atau pengacara atau lawyer yang seharusnya “membela yang benar” dan bukannya “membela yang bayar” itu juga diperlakukan seperti kuli. Seperti tukang. Tukang yang dibayar secara borongan. Karena, kata Anggodo dalam rekaman percakapan itu, uang sebesar Rp5 miliar yang dikucurkan itu bukan hanya sebagai lawyer fee, tapi juga untuk pejabat-pejabat di dua lembaga penegak hukum itu.
Tentu saja ini menyakiti hati rakyat banyak. Kepercayaan masyarakat kepada Kejaksaan Agung dan Polri pun melorot tajam.
Dalam konteks seperti itulah muncul puisi berjudul “Sajak Perlawanan Kaum Cicak” karya Tulus Wijanarko. Puisi ini pun langsung saya muat dalam blog Puisi Indonesia Modern (http://puisiindonesiamodern.blogspot.com) sebagai penghargaan yang saya berikan kepada sang penyair. Berikut ini adalah puisi Tulus yang saya maksud:

Sajak Perlawanan Kaum Cicak

karya Tulus Wijanarko


Kami tahu tanganmu mencengkeram gari
karena kalian adalah bandit sejati

Kami tahu saku kalian tak pernah kering
karena kalian sekumpulan para maling

Kami mafhum kalian memilih menjadi bebal
sebab melulu sadar pangkat kalian hanyalah sekadar begundal

Kami tahu kalian berusaha terlihat kuat menendang-nendang
demikianlah takdir para pecundang

Kami mengerti otak kalian seperti robot
meski demikian kalian sungguh-sungguh gemar berkomplot

Kami sangat terang kenapa kalian begitu menyedihkan
karena kalian memang hanyalah gerombolan budak
yang meringkuk jeri di mantel sendiri

Kami tahu kenapa kalian gemetar ketakutan
dan tanganmu menggapai-gapai sangsi ke udara

karena kalian tahu
Kami tidak takut kepadamu
Kami tidak takut kepadamu
dan akan melawan tak henti-henti

kami tahu
kalian gemetar,
Kami sangat tahu
kalian sungguh gemetar!

28/09

Menurut saya, puisi Tulus di atas memperlihatkan keberanian yang luar biasa yang dimiliki penyair. Puisi perlawanan ini bisa berfungsi ganda. Pertama, puisi tersebut merekam perasaan penyair yang merepresentasikan manusia Indonesia pada umumnya, sekaligus menjadi bagian penting dalam sejarah pemberantasan mafioso peradilan di Indonesia dan mampu merekam semangat zaman. Kedua, puisi ini menjadi bara yang membangkitkan keberanian pada rakyat untuk melawan ketidakadilan. Meskipun para pejabat-pejabat yang keseleo lidah mengatakan dirinya sebagai buaya itu berkelit, bersilat lidah, dan akting di depan kamera televisi, namun sejatinya rakyat sudah tahu bahkan melihat dan mendengar dengan mata dan telinganya sendiri; betapa bobroknya aparat penegak hukum di Indonesia. Betapa menyedihkan!
Ketika saya berkunjung ke facebook Saut Situmorang, saya membaca sebuah puisi perlawanan yang lain. Puisi “Negeri Para Bedebah” itu ditulis oleh Adhie Massardi, mantan juru bicara Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Puisi itu dikirim oleh Wanda Hamidah ke facebook Saut Situmorang. Tak lama setelah itu, saya juga menyaksikan pembacaan puisi itu oleh Adhie Massardi di Metro TV. Selengkapnya saya kutip puisi itu di sini:

Negeri Para Bedebah

karya Adhie Massardi

Ada satu negeri yang dihuni para bedebah
Lautnya pernah dibelah tongkat Musa
Nuh meninggalkan daratannya karena direndam bah
Dari langit burung-burung kondor jatuhkan bebatuan menyala-nyala

Tahukah kamu ciri-ciri negeri para bedebah?
Itulah negeri yang para pemimpinnya hidup mewah
Tapi rakyatnya makan dari mengais sampah
Atau jadi kuli di negeri orang yang upahnya serapah dan bogem mentah

Di negeri para bedebah
Orang baik dan bersih dianggap salah
Dipenjarakan hanya karena sering ketemu wartawan
Menipu rakyat dengan pemilu menjadi lumrah
Karena hanya penguasa yang boleh marah
Sedang rakyatnya hanya bisa pasrah

Maka bila negerimu dikuasai para bedebah
Jangan tergesa-gesa mengadu kepada Allah
Karena Tuhan tak akan mengubah suatu kaum
Kecuali kaum itu sendiri mengubahnya

Maka bila negerimu dikuasai para bedebah
Usirlah mereka dengan revolusi
Bila tak mampu dengan revolusi,
Dengan demonstrasi
Bila tak mampu dengan demonstrasi, dengan diskusi
Tapi itulah selemah-lemahnya iman perjuangan


Puisi Adhie Massardi tersebut sangat simbolik dan menggunakan idiom-idiom keislaman. Dari puisi tersebut, pesan yang ingin disampaikan penyair sangat jelas; baik dilihat dari judul puisi maupun kata-kata yang digunakan sang penyair. Keberpihakan penyair pada wong cilik, kaum tertindas, juga tampak jelas dalam puisi tersebut. Hanya saja, jika dibandingkan dengan puisi Tulus Wijanarko, maka terbaca bahwa puisi Tulus sangat menikam.
Meskipun demikian, saya pun membuka ruang yang sebebas-bebasnya buat pembaca untuk menafsir dan menginterpretasikan puisi Tulus Wijanarko dan Adhie Massardi.

Citayam, 6 November 2009
sumber dari FaceBook Asep Sambodja

Perlawanan Kaum Cicak

Sajak Perlawanan Kaum Cicak

karya Tulus Wijanarko


Kami tahu tanganmu mencengkeram gari
karena kalian adalah bandit sejati

Kami tahu saku kalian tak pernah kering
karena kalian sekumpulan para maling

Kami mafhum kalian memilih menjadi bebal
sebab melulu sadar pangkat kalian hanyalah sekadar begundal

Kami tahu kalian berusaha terlihat kuat menendang-nendang
demikianlah takdir para pecundang

Kami mengerti otak kalian seperti robot
meski demikian kalian sungguh-sungguh gemar berkomplot

Kami sangat terang kenapa kalian begitu menyedihkan
karena kalian memang hanyalah gerombolan budak
yang meringkuk jeri di mantel sendiri

Kami tahu kenapa kalian gemetar ketakutan
dan tanganmu menggapai-gapai sangsi ke udara

karena kalian tahu
Kami tidak takut kepadamu
Kami tidak takut kepadamu
dan akan melawan tak henti-henti

kami tahu
kalian gemetar,
Kami sangat tahu
kalian sungguh gemetar!

28/09



Negeri Para Bedebah

karya Adhie Massardi

Ada satu negeri yang dihuni para bedebah
Lautnya pernah dibelah tongkat Musa
Nuh meninggalkan daratannya karena direndam bah
Dari langit burung-burung kondor jatuhkan bebatuan menyala-nyala

Tahukah kamu ciri-ciri negeri para bedebah?
Itulah negeri yang para pemimpinnya hidup mewah
Tapi rakyatnya makan dari mengais sampah
Atau jadi kuli di negeri orang yang upahnya serapah dan bogem mentah

Di negeri para bedebah
Orang baik dan bersih dianggap salah
Dipenjarakan hanya karena sering ketemu wartawan
Menipu rakyat dengan pemilu menjadi lumrah
Karena hanya penguasa yang boleh marah
Sedang rakyatnya hanya bisa pasrah

Maka bila negerimu dikuasai para bedebah
Jangan tergesa-gesa mengadu kepada Allah
Karena Tuhan tak akan mengubah suatu kaum
Kecuali kaum itu sendiri mengubahnya

Maka bila negerimu dikuasai para bedebah
Usirlah mereka dengan revolusi
Bila tak mampu dengan revolusi,
Dengan demonstrasi
Bila tak mampu dengan demonstrasi, dengan diskusi
Tapi itulah selemah-lemahnya iman perjuangan


Puisi-puisi ini diambil dari tulisan Asep Sambodja "Cicak dan Buaya dalam Puisi Indonesia Modern" yang di tg di FB

Minggu, 08 November 2009

BUKU KUMPULAN PUISI “NASIB ORANG LINTANG”

PENERBITAN BUKU KUMPULAN PUISI “NASIB ORANG LINTANG”
SMA NEGERI 1 LINTANG KANAN KABUPATEN LAHAT

SMA Negeri 1 Lintang Kanan menerbitkan buku kumpulan Puisi “Nasib Orang Lintang”. Buku setebal empat puluh delapan halaman, yang berisi satu buah artikel sastra Jajang Rusmayadi, S.Sn., sambutan Kepala Sekolah, dan enam puluh puisi dari karya tiga belas siswa yang tergabung dalam Sanggar Sastra, merupakan hasil dari beberapa pertemuan pada semester pertama. Buku Nasib Orang Lintang ini dicetak terbatas karena alasan dana.
Judul buku itu merupakan judul salah satu puisi yang terdapat dalam kumpulan puisi tersebut hasil karya Bambang Irawan kelas IPS 2, puisinya pendek hanya tiga baris seperti haiku, Nasib Orang Lintang: Dunia berputar/ Cahaya-cahaya bergantian/ Nasib orang lintang jadi panjang. Puisi ini menggambarkan antara harapan dan semangat hidup, atau optimisme hidupnya. Tentunya hasil perenungan dan pengamatan yang cukup mendalam dari penulisnya.
Banyak potensi sastra yang belum tergali di daerah Lintang, apalagi sumberdaya manusianya masih cukup segar dalam menyikapi keadaan lingkungan sosial dan lingkungan alam sekitarnya. Lagi pula daerah Lintang memiliki kekayaan budaya yang cukup unik dan khas, seperti bahasa daerah, perilaku, dan adatnya. Saya kira belum banyak penyair yang menuliskan segala potensi yang terkandung di daerah Lintang ke dalam karya sastra. Saya mengenal dua sastrawan dari daerah Lintang yaitu Syamsi Indra Usman yang pernah mendapatkan penghargaan “Anugrah Seni” karena aktifitasnya dalam menuis puisi dari Gubernur Sumatera Selatan pada tahun 2004, dan satu lagi adalah Febri Al-Lintani, yang cukup populer di Sumatera Selatan, ia sebagai Ketua Komunitasw Batang Hari 9 (KOBAR 9) serta pengurus Dewan Kesenian Palembang.
Seluruh karya puisi yang terdapat dalam buku Nasib Orang Lintang ini merupakan karya puisi terbaik dan terpilih dari yang baik. Penulisnya delapan laki-laki antara lain: Agus Tamin, Arif Rojuli, Bambang Irawan, Darwan Esmedi, Een Rikardo, Marlin Nopriko, Munawir Sazali, Prata LA., dan yang perempuan lima orang antara lain: Nia Rapikaduri, Puspita Sari, Radesi Yudede, Tina Dwita, dan Yulistri. Akhir-akhir ini anggota sanggar bertambah. Saya berharap mereka mampu meneruskan jejak pendahulunya, tidak hanya mandek sampai selesai SMA saja. Akan tetapi dapat bergabung dengan komunitas sastra yang lebih besar lagi. Saya menilai mereka cukup potensial.
Kebiasaannya pada usia remaja seringkali menuliskan masalah-masalah cinta terhadap lawan jenisnya, melankholis dan kurang serius, akan tetapi kenyataannya di Sanggar Sastra SMA Negeri 1 Lintang Kanan, mereka cenderung menuliskan tentang kecintaannya terhadap daerahnya, baik dari budayanya, lingkungan alamnya dan kritik sosial yang mencermati kinerja pemerintahan serta masyarakat itu sendiri. Seperti contoh puisi karya Prata LA kelas 2 IPS 1 yang mencermati salah satu kehidupan masyarakat Lintang, Motto Kito: Jemonyo hulu balang/ tiap hari di gelanggang/ keluargo tersingkirkan/ bando terlelang/ semboyan tercelah motto kito/ nedo mati muno jadila. Satu lagi puisi yang menurut saya mengkritik budaya daerahnya sendiri, karya Arif Rojuli kelas 2 IPA, Segayung Dunio Lintang: Ayo lari kawan/ dunio Lintang jadi Texas/ mennjadi Jakarta nomor 2/ menjadi penghuni manusia hebat/ kebejatan kesesatan/ dalam segayung dunio Lintang.
Puisi sebagai aksi protes, atau ketidakpuasan atas perlakuan penegak hukum dan pelecehan tehadap kaum perempuan. Berikut puisinya, karya Nia Rapikaduri, kelas 2 IPS2, Jangan: Jangan bicara moral kepadaku/ Aku tak pernah tahu/ Aku Cuma tahu tikus-tikus/ Mengendap ke kantong ibu/ Jangan tanyakan agama padaku/ Karna aku tak beragama/ Yang kutahu wanita-wanita bugil/ Berbaris menghadap Ka’bah/ Jangan tanya keamanan aparat/ Sebenarnya aparatlah yang menindas rakyat!
Puisi Bambang Irawan yang satu ini, mencoba menggambarkan bagaimana sikap, sifat dan prilaku orang-orang Lintang, judulnya Lintang Empat Lawang:Terlentang pisau panjang/ Perangko batang-batang/ Jadi orang jadi datang/ Datang pertentangan/Diri marah/ Duri tajam/ Lintang Empat Lawang/ Pantang mundur jadi orang/ Belum bertemu belum senang/ Garis melintang jalan panjang/ Tujuan tak karuan/ Celaka orang bisa karuan/ Celaka diri tidak karuan.
Bagaimana dengan sisi kehidupan orang Lintang yang lain dan keindahan alamnya, dilukiskan dengan cukup baik dalam puisi berikut:, karya Marlin Nopriko, kelas IPA, “Lubuk Kasai”: lubuk bening tenang penuh berkat/ kasai sahabat akrab abadi/ gelombang ombak bawa budaya mencuci budi/ hanyutkan sampah pekat/ berbau budaya angkuh syetan terkejut/ lubuk kasai/ melawan curam batu napal/ menantang batu keras terjal/ hancur oleh ombak-ombak kecil/ mengikis sukma/ menyerap dalam raga hati/ mewarnai baju baja diri. Selanjutnya Munawir Sazali, kelas IPA, mengupas tentang “Sungai Lintang”: Suasana pagi datang menjelang/ Sungai Lintang menantang/ Bersetubu denganku/ Dia menerjang aku tantang/ Kadang marah tak terkalahkan/ Kau raja bunyi tak berhenti/ Selalu berteriak dalam sepi/ menantang setiap orang dengan suaramu/ dan batu bisa kau taklukkan/ dengan bujuk rayumu.
Masyarakat Lintang mayoritas adalah petani kopi dan petani padi, salah satu puisi karya Tina Dwita, kelas 2 IPA mencoba membuka wawasan kita kepada apa yang dinanti oleh para petani tersebut. “Be Umo”: Berilah aku keberuntungan/ Tana siang dan biji kopi pilian/ Kiding besak, samo puntong/ Berilah aku keberuntungan/ Uang pembeli pupuk dan racun/ Hujan menyapu tanah air/ Bila waktunya kopi ku putir/ Bongkotnya kukaja/ Nikmatmu kugali// Terima kasih Tuhan/ Atas rahmatmu.
Masih banyak karya mereka yang sangat menarik untuk dinikmati dan diapresiasi. Mereka masih cukup muda yang paling tua lahir pada tahun 1987 dan yang termuda tahun 1990. umur mereka antara 15 sampai dengan 18 tahun. Mereka masih terus aktif menulis puisi, dan selalu konsultasi dengan saya, atau mereka meminta sekedar untuk membacakan karya-karya mereka. Saya merasa kehadiran saya ada manfaatnya bagi mereka.
Sanggar Sastra SMA Negeri 1 Lintang Kanan berdiri pada awal tahun ajaran 2005/2006, sebagai salah satu kegiatan Ekstrakurikuler, pembinanya saya sendiri yang merupakan guru pendidikan seni. Di samping Sanggar Sastra, ada seni Lukis, dan teater yang saya bina, ada juga Seni daerah ngarak pengantin yang dibina oleh kepala sekolah.
Apa yang saya berikan pada mereka?: saya tidak mengajari apa yang harus di tulis, tetapi saya membagi pengalaman bagaimana membina sebuah kesadaran dan bagaimana berkonsentrasi dalam satu hal atau satu masalah. Apa yang sedang mereka rasakan saat ini, apa yang mereka pikirkan dan bagaimana mereka harus mengeluarkan pendapat serta bagaimana mencermati lingkungan sosialnya dan lingkungan alam sekitarnya. Dengan demikian anak belajar percaya diri, lebih kritis dan memiliki keperdulian terhadap lingkungannya.
Selain itu dianjurkan lebih banyak membaca, karena Membaca merupakan salahsatu proses dalam pembuatan pondasi dan kerangka berpikir dalam menulis sebuah karya, baik fiksi maupun non fiksi (Ilmiah). Membaca sebagai modal dasar dalam penulisan dan dalam mengembangkan ide atau gagasan yang lebih baik dari yang sebelumnya. Dengan membaca akan memberikan dorongan spriritual, emosional dan intelektual yang secara menyeluruh akan tercermin dalam setiap karya tulisnya, terlebih akan tercermin dalam setiap prilaku kehidupan sehari-hari. Sehingga dengan kegiatan membaca yang lebih intensif akan menghasilkan para penulis muda berbakat yang memiliki wawasan susastra universal, dengan dimbangi dengan daya intelektual global.
Dengan demikian perlu kiranya pemerintah dalam hal ini Dinas Pendidikan memberikan ruang, fasilitas dan penghargaan. Bagi para siswa dan para pembinanya sebuah penghargaan sebagai partisipasi aktifnya dalam menghidupkan program kegiatan kependidikan (ekstrakurikuler). Dinas Pendidikan adalah lembaga yang memiliki kewengan dalam memajukan pendidikan khususnya Sastra dan Seni atau sebaliknya. Lembaga pendidikan (sekolah) sesungguhnya mengemban tanggung jawab sebagai sarana bagi menumbuhkembangkan minat dan bakat para peserta didiknya. Dari lembaga pendidikan formal inilah yang seharusnya menelorkan para kreator handal. O ya?
Kepala Sekolah SMA Negeri 1 Lintang Kanan, Imron, S.Pd. dalam sambutannya cukup bangga, oleh karena puisi yang terkumpul dalam buku ini merupakan hasil karya dari anggota Sanggar Seni yang baru dibentuk pada semester ganjil tahun ajaran 2005/2006. Sementara SMA Negeri 1 Lintang Kanan sendiri baru berdiri tahun ajaran 2004/2005. ini tentunya suatu prestasi yang sangat baik.
Menurutnya, buku kumpulan puisi “Nasib Orang Lintang” sedikit tergambar karakter orang Lintang dan Suasana alamnya. Bagi siapapun yang tidak pernah berkunjung ke daerah lintang dan menemui gaya orang lintang mungkin buku ini sangat bermanfaat guna mengenal lebih dekat dengan kehidupan dan alamnya.
Buku ini juga sebuah bukti yang akan menjadi catatan sejarah bagi perjalanan SMA Negeri 1 Lintang Kanan dalam proses belajar mengajar kami yang tentunya berwawasan ke depan. Kami membutuhkan bantuan dari bebagai pihak untuk segera mewujudkannya. Diharapkan siswa siswi SMA Negeri 1 Lintang Kanan lebih aktif dan kreatif dalam mengikuti seluruh kegiatan ekstrakurikuler, namun jangan sampai meninggalkan kegiatan intranya.

ITU BUKAN AKU Cerpen Erwan Aprianto

ITU BUKAN AKU

Cerpen Erwan Aprianto

25 tahun lalu, aku masih terbaring di sini ya … di sini. Di kamar yang menjadi saksi penderitaan seseorang tanpa sebuah nama. Tubuhku masih menyimpan bekas–bekas luka. Aku bukan pejuang tapi lebih pantas disebut pecundang. Tanpa kusadari aku telah menjadi pengkhianat. Pengkhianat keluarga, masyarakat dan yang paling membuatku terpukul adalah menjadi seorang pengkhianat bangsa.

Mei tahun 1965. Saat itu aku menjadi tentara yang mempunyai beberapa puluh anak buah. Pada bulan Juni aku ditugaskan ke Semarang oleh atasanku, Kolonel Birin. Untuk menumpas bersih antek–antek partai terlarang yang sedang meluas di sana. Aku mengajak istri dan anak-anakku. Tidak lama dari itu, tibalah kami di Semarang. Kami tinggal di sebuah asrama tentara tidak jauh dari pusat kota. Di sana, aku dan keluargaku disambut hangat oleh warga.

Suatu malam, sebagai seorang muslim untuk pertama kali aku pergi ke sebuah masjid di dekat rumahku. Aku pergi bersama salah seorang tetangga yang baru saja aku kenal. Ia biasa dipanggil Pak Ustadz, karena dia adalah seorang guru pengajian. Tak berapa lama sampailah kami di sebuah masjid yang terbuat dari papan dan beralaskan anyaman tikar.

“Allahu Akbar … Allahu Akbar,” terdengar suara adzan yang di kumandangkan oleh salah seorang pemuda di mesjid tersebut.

“Pak Ustadz, aku permisi mengambil air wudhu dulu,” ucapku setelah kami masuk ke dalam mesjid. Ustadz itu hanya menjawab dengan anggukan kepada.

Aku menuju ke tempat mengambil air wudhu yang berada tepat di belakang mesjid. Aku segera mengambil air wudhu. Kuusapkan air tersebut ke wajahku. Satu persatu orang–orang masuk ke dalam mesjid. Hanya tinggal aku sendiri di tempat wudhu tersebut.

Tiba–tiba. Dor!!! Suara letusan senapan terdengar keras di telingaku.

“Astahgfirullah,” ucapku terkejut seraya menyaksikan keadaan yang terjadi di dalam mesjid.

Segerombolan orang–orang bertopeng menembak secara membabi buta. Tak ada lagi yang tersisa. Semuanya tewas.

“Allahu Akbar…,” salah seorang pemuda yang masih hidup berteriak.

Terdengar lagi letusan peluru. Kali ini peluru itu menembus dada pemuda tadi. Pemuda itu berteriak. Darah memuncrat di sekujur tubuhnya. Pemuda itu terkapar. Dia tewas!!!

Terdengar gelak tawa kemenangan dari salah seorang gerombolan orang–orang bertopeng itu.

“Itulah akibatnya jika tidak menuruti kami,” salah seorang dari gerombolan tesebut berkata.

Bulu kudukku berdiri. Aku sembunyi di balik sebuah peti mati yang ada di belakang masjid tersebut. Aku seperti seorang pengecut yang sedang bersembunyi. Tapi, apa yang bisa aku lakukan. Aku hanya seorang diri tanpa senjata.

Perlahan–lahan kulangkahkan kaki. Aku berlari sekuat mungkin. Tanpa kusadari, salah seorang dari gerombolan tersebut melihatku dan langsung saja mengejar. Tapi aku cukup pintar. Aku bersembunyi di belakang rumah yang gelap. Orang bertopeng tersebut tak dapat menemukanku.

“Sialan,” umpatnya. Kemudian ia kembali bergabung bersama gerombolannya.

Aku pulang dengan pikiran yang masih mengambang. Kejadian itu tak akan pernah aku lupakan. Aku tak bisa berbuat apa–apa pada malam itu. Aku t’lah menjadi seorang pengecut.

Itulah awal bencana untukku dan keluargaku. Tepat pukul 24.00 malam, sebuah peluru menghantam kaca jendela rumahku. Aku dan istriku langsung terbangun. Saat letusan peluru itu terjadi yang kupikirkan hanyalah anak dan istriku.

Aku berlari ke kamar anak–anakku. Tapi sayang … aku terlambat. Kedua anakku telah raib. Mereka telah di culik. Entah siapa yang telah menculik mereka. Aku tidak tahu …

“Pak, Bagaimana anak – anak kita, Ghali dan Salman ?”

“Mereka diculik…? Ini pasti karena profesi Bapak sebagai seorang tentara,” istriku menyalahkanku.

Istriku menangis sambil menyandarkan kepalanya ke pundakku. Aku tahu bagaimana perasaan istriku saat itu. Perasaan seorang ibu yang kehilangan kedua anaknya. Akulah orang yang seharusnya di salahkan. Karena ada sebuah kesalahan yang sangat besar yang telah kulakukan. Aku telah menjadi seorang tentara.

Malam setelah kejadian itu, istriku tak dapat lagi berbicara. Ia hanya mengurung diri di dalam kamar sambil memandangi foto kedua anak kami yang telah hilang.

“Bu, anak kita pasti kita temukan. Siang ini aku akan melapor pada atasanku untuk meminta izin membawa beberapa anak buahku untuk mencari Ghali dan Salman. Tenanglah … aku pasti menemukan mereka.”

Tak ada jawaban yang keluar dari mulut istriku. Hanya kebisuan menyelimuti raut wajahnya. Hanya tangisan yang selalu menemani kehampaan jiwanya.

Siang itu aku pergi menghadap atasanku, Kolonel Birin untuk meminta izin mencari anak–anakku. Hanya itulah harapan satu–satunya.

“Tok …tok … tok,” perlahan ku ketok pintu ruangan Kolonel Birin.

“Masuk !” terdengar suara lantang Kolonel Birin kubuka perlahan pintu tersebut.

“Siap komandan,” aku langsung memberi hormat kepada atasanku. Tak sepantasnya aku memberi hormat pada seseorang yang lebih muda dariku. Tapi itulah dunia militer. Walaupun aku jauh lebih tua tapi aku hanyalah seorang Letnan.

“Ada apa, Letnan Husien,” tanya Kolonel Birin dengan gaya yang sangat berwibawa.

“Saya ingin meminta izin membawa beberapa anggota untuk mencari anak saya, Pak” jawabku dengan rasa takut.

“Ada apa dengan anakmu sampai–sampai kau ingin membawa beberapa anggota kita untuk mencari mereka.”

Kolonel Birin mendekatiku dengan wajah penuh dengan pertanyaan.

“Semalam anakku di culik oleh orang–orang komunis, Pak,” jawabku dengan lantang. Kolonel Birin terdiam sejenak dan duduk kembali ke tempat duduknya semula.

“Apakah yang menculik anakmu memang benar orang–orang komunis. Darimana kau tahu bahwa yang menculik anakmu adalah orang–orang komunis ?” tanya Kolonel Birin.

Aku terdiam tak dapat berbicara sepatah katapun. Pertanyaan Kolonel Birin membuatku sangat tersudut.

“Aku tidak tahu pasti, Pak. Tapi aku yakin yang menculik anak–anakku adalah orang–orang komunis karena mereka memiliki senjata api,” jawabku.

“Hanya itu …” tanya Kolonel Birin.

“Ya, Pak,” jawabku.

“Itu tak bisa kau jadikan bukti bahwa yang menculik anak–anakmu adalah orang–orang komunis. Setiap orang bisa memiliki senjata api, tapi belum tentu yang memiliki senjata api itu adalah orang–orang komunis. Aku tak bisa memberikan izin untuk membawa anggota kita untuk mencari anakmu. Masalahmu adalah masalah pribadi. Tidak menyangkut kepentingan anggota, Paham !”

Ucapan Kolonel Birin bagai peluru yang menghujami jantungku. Aku tertunduk lesu. Karena hanya itulah satu–satunya harapanku. Tapi apa kenyataannya. Aku mendapat jawaban yang sangat menyakitkan.

Semakin hari keadaan istriku semakin menjadi. Ia lebih sering berbicara sendiri di kamar dan sudah beberapa hari ia belum makan. Keadaannya sangat lemah. Aku tak bisa berbuat apa–apa. Hanya bisa berdoa agar anak–anakku pulang dengan selamat dan istriku kembali seperti semula.

Di setiap pelosok kota sudah hampir semuanya ku singgahi. Tapi anakku tidak kutemukan juga. Aku mencari mereka seorang diri hanya di temani sepucuk pistol tanpa peluru. Aku hampir putus asa. Yang ada di benakku hanyalah kebencian. Kebencian pada Kolonel Birin dan anggota–anggota militer lainnya.

Aku ingin pulang karena sudah seharian mencari anak-anakku. Setibanya di rumah, aku langsung terduduk karena lelah yang sangat. Beberapa saat kemudian aku menuju ke kamar. Kulihat istriku sedang tertidur pulas. Tapi ada sesuatu yang mengganjal pikiranku. Istriku tertidur di atas lantai. Aku langsung mendekatinya.

“Bu, jangan tidur dilantai nanti sakit.” kataku sambil mendekatinya.

Seperti biasa tak ada jawaban yang keluar dari mulutnya. Ku gerakkan badannya tapi tak ada reaksi sama sekali. Kuangkat istriku ke atas ranjang. Bak di sambar petir, tubuh istriku sangat dingin dan kaku. Aku tak ingin memikirkan hal–hal yang buruk tentang istriku. Perlahan ku tempelkan tanganku kehidungnya. Tubuhku lemas. Air mata mulai mengalir di pipiku. Istriku tak lagi bernapas. Istriku telah pergi selamanya. Ya… istriku telah pergi selamanya.

Kejadian itu membuatku sangat terpukul. Istriku dimakamkan tiga hari yang lalu. Aku merasa sebagai pembawa petaka. Semua orang yang kucintai telah pergi dan sampai saat ini aku tak tahu bagaimana keadaan anak–anakku. Aku hanya dapat menunggu. Menunggu sesuatu yang tak akan pernah datang. Ya … tak akan pernah datang.

Seminggu kemudian aku tak sengaja membaca surat kabar yang membuatku terjatuh pingsan. Surat kabar tersebut berisikan : “Dua anak laki–laki terbunuh dengan wajah yang tak dapat lagi dikenali.”

Aku tak tahu siapa yang membawaku. Aku sudah berada di rumah sakit. Pikiranku masih terbayang dengan surat kabar yang kubaca siang tadi. Aku langsung melepas infus yang melekat di nadiku. Seorang perawat langsung mencegatku.

“Pak, jangan bangun dulu, Bapak masih sangat lemah,” perawat tersebut berusaha mencegah.

“Aku ingin melihat anakku,” jawabku sambil mendorong perawat itu sampai terjatuh.

Aku berlari ke kamar mayat dan menanyakan pada petugas tentang dua mayat anak laki–laki yang terbunuh kemarin. Petugas itu langsung menunjukkan kedua mayat tersebut. Tak dapat dipungkiri lagi. Mayat kedua anak tersebut adalah anakku, Ghali dan Salman. Aku masih mengenal tahi lalat yang menempel di kaki mereka.

Kejadian demi kejadian pahit yang menimpaku menjadikan hidupku berubah. Semakin hari orang–orang komunis telah memperoleh banyak pengikut. Termasuk aku. Ya… termasuk aku. Aku sangat benci dengan tentara. Aku ingin membalas kematian anak dan istriku. Karena merekalah yang kuanggap sebagai penyebab kematian mereka.

Tanpa kusadari aku telah tergabung dalam partai terlarang tersebut. Saat itu aku telah meninggalkan profesiku sebagai tentara. Aku telah menjadi pemimpin partai terlarang itu dan hampir menguasai seluruh wilayah kota Semarang. Satu persatu aku dan orang–orangku membunuh anggota–anggota TNI, mulai dari Tamtama sampai ke Perwira semuanya telah kami bunuh dan kami tahan.

Suatu malam, aku dan orang–orangku menyatroni rumah seorang perwira tentara. Rumah yang sangat megah. Di tumbuhi bunga–bunga anggrek dan bunga sedap malam di pekarangannya. Tampak sebuah pos keamanan di sudut depan rumah yang di dalamnya terdapat beberapa tentara berpangkat tamtama sedang tertidur pulas. Dengan mudah aku dan orang–orangku masuk melompati pagar besi yang tidak terlalu tinggi.

“Dor … dor … dor …,” tiba-tiba terdengar suara letusan senapan mengarah tepat di tubuh tentara–tentara yang berada di dalam pos itu. Darah mengalir menganak sungai. Tak satu pun yang tersisa. Semuanya tewas dalam keadaan yang mengenaskan.

Aku dan orang–orangku beranjak pergi menuju pintu masuk rumah. Terlihat dengan jelas sebuah papan nama tergantung tepat di depan pintu masuk. Papan nama itu bertuliskan Kolonel Birin. Aku tersentak. Sebuah kisah yang telah lama terkubur kini terkuak kembali. Bayangan tentang anak dan istriku silih berganti mengisi pikiranku. Kebencian yang telah lama terpendam harus keluar dan berakhir malam itu.

Sekali lagi terdengar letupan peluru. Kunci rumah tersebut terhantam. Aku dan orang–orangku berpencar masuk ke setiap kamar. Tiba–tiba terdengar suara orang yang sedang membuka pintu.

Kolonel Birin! Ya… Kolonel Birin telah berdiri tepat di hadapanku.

“Angkat tangan!” teriakku.

Kolonel Birin langsung mengangkat tangan diikuti istrinya dari belakang.

“Apakah anda masih ingat dengan wajahku, Kolonel Birin?” tanyaku sambil membuka topeng. Wajah Kolonel Birin seketika berubah pucat. Ia kemudian bicara terbata–bata.

“Ka …u … Let…nan Husin,” jawabnya dengan wajah ketakutan.

“Ya … aku Letnan Husin. Tapi sekarang aku bukan lagi seorang Letnan.”

Dari belakang terdengar tangis anak laki–laki sedang digendong anak buahku. Wajah anak itu mengingatkan kejadian tiga tahun silam. Ya, wajah anak–anakku yang telah hancur dan tewas. Aku langsung saja mengambil anak itu.

“Bagaimana kalau pistol ini ku tembakkan ke kepala anakmu, Kolonel Birin ?” tanyaku sambil menodongkan pistol ke kepala anak tersebut.

“Jangan Letnan…! Lebih baik kau ambil semua hartaku. Tapi tolong lepaskan anakku,” teriak Kolonel Birin dengan wajah cemas.

“Aku datang bukan untuk harta, Kolonel Birin. Apakah kau masih ingat bagaimana anak dan istriku tewas, Hah … !” teriakku sambil menarik pemicu pistol yang kupegang.

Dor!!! Sebuah peluru bersarang di kepala anak itu.

Seketika itu juga anak tersebut jatuh ke lantai bersimbah darah yang membusa.

Tidak!!! Kolonel Birin langsung berlari kearahku.

Dor!!! Sebuah peluru keluar lagi dari sarangnya. Tapi kali ini bukan keluar dari pistolku melainkan dari pistol anak buahku. Kolonel Birin tewas dengan dada bersimbah darah. Istrinya jatuh pingsan melihat apa yang terjadi dengan suami dan anaknya. Aku tertawa bahagia. Aku bahagia karena semua dendamku sudah terbalas. Aku yakin anak dan istriku pun ikut senang melihat kematian orang–orang biadab seperti mereka. Tapi anak dan istriku tak lagi disini. Mereka disana didunia yang berbeda denganku.

Kami segera keluar dari rumah Kolonel Birin. Aku dan orang–orangku merayakan pesta atas kemenangan kami. Kami telah berhasil membunuh para petinggi–petinggi tentara. Dalam waktu yang relatif singkat, kami telah berhasil menduduki Kota Semarang.

Tapi semua itu tidak bertahan lama. Presiden mengeluarkan mandatnya untuk menumpas setiap anggota–anggota partai terlarang. Dalam waktu yang sangat singkat, kami berhasil di tumpas bersih oleh TNI. Satu per satu teman–temanku di bunuh dan di tahan. Mereka yang berani melawan langsung di tembak mati oleh TNI. Termasuk aku. Aku tertangkap saat ingin melarikan diri. Aku tertembak. Tiga buah peluru bersarang di kakiku. Tapi Tuhan masih memberikan kesempatan. Aku tidak di vonis mati. Aku di jatuhi hukuman 25 tahun penjara dan dibuang di salah satu penjara di sebuah kota yang sangat terpencil.

Jika aku terlahir sebagai hina

Apakah akupun harus kembali sebagai hina

Aku dipilih tuk mengangkat senjata

Tapi mengapa jalan menggiringku ke arah lain



Aku t’lah buktikan bahwa aku ada

Aku ada sebagai pelindung

Aku ada sebagai penuntun

Semua jalan telah menyimpang

Aku terlahir bukan untuk berjuang

Aku terlahir bukan untuk berperang

Tapi aku telah terlahir sebagai pecundang … kawan



Ingatlah …

Kita semua terlahir sebagai pejuang

Hingga urat mengencang

Sampai tubuh menegang

Kita tetap pejuang …



***

25 tahun sudah terlewati. Telah aku terima balasan yang kuperbuat selama ini. Rambutku sudah berubah menjadi uban dan kulitku sudah tak lagi segar. Tubuhku bergerak tapi jiwaku mati. Dosa-dosaku tak cukup di tebus hanya dengan kurungan 25 tahun. Aku pengkhianat. Akulah pengkhianat bangsa. Bangsa yang telah memberikanku kehidupan. Aku sampah. Akulah sampah bagi keluargaku. Tapi semuanya telah pergi. Aku tak mempunyai keluarga lagi. Aku seorang diri. Mereka telah lama meninggalkanku.

Aku telah bebas dari penjara yang telah mengurungku selama 25 tahun. Aku pun mendengar bahwa orang–orang yang sama sepertiku juga telah di bebaskan. Aku tak mempunyai apa–apa. Aku seorang lumpuh. Aku mempunyai kaki tapi tak dapat lagi berjalan. Rasa sakit itu masih terasa sampai saat ini. Saat aku tertembak …

Aku kembali ke kampung halaman. Rumahku masih seperti dulu. Tapi, banyak terdapat perubahan di dalamnya. Tak ada lagi istriku. Tak ada lagi teriakan dan canda tawa anak–anakku. Hanya tinggal aku sendiri. Aku yang sedang menunggu datangnya ajal menjemput, agar aku dapat kembali bersama keluargaku disana … ya disana di tempat yang sangat jauh … jauh dari dunia yang penuh dosa ini. Agar aku bisa meminta maaf pada istri dan anak–anakku. Aku tahu mereka pasti malu mempunyai ayah dan suami seperti aku. Mereka pasti malu dengan apa yang telah kulakukan selama ini. Karena aku bukanlah pejuang tapi lebih pantas di sebut pecundang.
Nop 2004

TAKADA LAGI Cerpen Erwan Aprianto

TAKADA LAGI
CERPEN Erwan Aprianto

Asap mengepul melayang tanpa arah. Sang raja siang mungkin tak akan lagi menampakkan keagungannya, hari ini. Pasar 16 ilir yang dulunya penuh dengan jejalan kaki lima, kini rata tinggal puing – puing kayu yang terbakar. Bongkar … Bongkar. Entah siapa yang menjerit. Pemandangan yang mungkin tak lagi tabuh tuk dilihat. Inikah yang dinamakan keadilan tuk rakyat jelata. Atau mungkin kemakmuran tuk para pejabat. Ah … aku pun tak tahu.

“Bongkar !” teriak salah seorang petugas yang mengenakan seragam necis dengan pentungan yang mungkin sudah menjadi senjata tuk memukul anjing atau sejenisnya.

Para pedagang yang mangkal di pasar 16 ilir seakan takkan pernah ingin meninggalkan kediamannya. Apakah demi suksesnya Pekan Olahraga Nasional (PON) nasib rakyat harus di korbankan. Kalimat itulah yang sering keluar dari bibir mereka.

Tampak dari kejauhan seorang laki – laki tua yang membawa keranjang di pundaknya. Tukang keruntung. Itulah panggilan akrab yang biasa terdengar di telinganya. Ia menghampiriku sambil tersenyum.

“Mau angkat barang, Mas ?” tanyanya sambil duduk disampingku.

“Ah … nggak Mang. Biar saya sendiri. Itung – itung olahraga,” jawabku.

Mang Abdul. Panggil saja namanya begitu. Kulit hitam gosong terbakar matahari. Urat – urat yang menari – nari di pergelangan tangannya mulai bermunculan. Usia yang masih muda mampu menipu wajahnya yang sudah kelihatan matang.

“Beginilah Mas. Mau cari kerjaan yang enak nggak nguras tenaga, pendidikan nggak menunjang. Ya terpaksa begini kalo mau hidup di zaman yang serba maju seperti sekarang ini,” Mang Abdul mulai cerita.

“Apalagi katanya kita mau jadi tuan rumah PON. Banyak sekali Mas pedagang – pedagang kaki lima yang di gusur dari sini. Katanya sik untuk penertiban. Penghasilan saya semakin sedikit. Pedagang – pedagang banyak yang sudah di pindahkan ke tempat yang telah di sediakan pemerintah. Tambah miskin saya,” eluhnya sambil menghisap rokok yang bukan lagi sekedar kenikmatan.
“Apa mereka selamanya berdagang di situ, Mang ?” tanyaku penasaran.


Erwan Aprianto
Anggota Teater Sansekerta, Sanggar Air Seni Palembang

PUISI M.D. BORANG

PUISI M.D. BORANG
Sekejap teringat subuh

Weh .bulan bulat kuning telur

Bintang bintang hilang, tinggal satu berdampingan.

Dari sudut kamar kosong bayangan

Mandang langit megah bertuan

O. aku hayal malaikat mencabut

Durja dari aku.

Seluruh sudut roh terbang jadi Satu lalu di bawa ke kuning telur

Aduh.hampa benar raga itu.

Hampa dan terdampar

Was..was..

O.sagala takut menyelusuri darah

Hingga sekecap perjalanan malam

Roh kembali ke badan

Mata tajam mulai nerawang

Dan bulan berganti garang

O.sagal was..was..





Air mata murai


O. langit runtuh berserak serak

Beribu air mata menyucur dari kelopak mata murai.

Deras - O – deras dan menghanyutkan sagala gala.

Lalu sesosok entah apa

Melayang layang di atas lautan air mata,

Terang sangatlah terang

Seperti peri tapi bundar bentuknya

O. itulah kharisma

Cahaya bahagia dari Sang Maha.

Barulah murai ngerti.

Lalu darah didih ngurang

Sekurang kurangnya

o. senangnya

o. bahagianya

o.begitu tampak

wahai kasihmu murai.

Oh.. menitik butir butir air mata

Bila aku mengingatnya .




Belasengkawa

*
gemakah langit ?
kalau.
Gemakan ke malikat mengejek !!

Gemakan ke setan setan menyetan !!

Gemakanlah hingga setetes darah jadi sorga !!

Ya.. gemakan. Dan gemakanl;ah segema gemanya.

*******************************
**

E..e..E..e..E..e..

( ….. )

rupa merupa langit takda bergema.

- darah -

- jelata -.

Sudah malam mengulang .






Masturbasi



O. betapa riang

Pulang kegubuk peot.

O. sagala rasa menghilang pada

Selongsong kata

Hanya …. A ….

O. betapa hebat

Bayi menyusun meninggi

Tinggi sepi.

O. jelas terpenjara

Dan

Bebas. Menyusun meninggi



Wah..gembira aku

Itu memuncak

Itu masturbasi

Akh…..

oh..s..

hhoh.ss





Mengapa beda ?



Wahai bapak coklat agung namamu

Di dubur bakteri coliku.

Wahai dedengkot serta merta menyedot

Megah kursimu di taik dakiku.

Hei cucung dedengkot serta merta

Menyedot - tenang… ! kanku letakan pula engkau di taik dakiku bahkan di tempat yang paling taik sekalipun -. antri.

……………………………………….

O. betapa hebat gadis kerdil kerdil sekerdil sagala kerdil dengan gendang gendang kecil.

Tak pernah meminta

Merasa

Memperkosa

Menjarah

Kau bukan kerdil

Apalagi nguggat baginda

Kau memang bukan kerdil.



O. hebat gadis kecil kerdil kerdil sagala

Kerdil dengan gendang kecil.

Pantas kau jadi terang benderang seterang ikat ikat malaikat.



Jauh memisah oh tetinggi !

Takkan negri oh meninggi.

Korbankan.




Sudah –Pas-



Ada malam nyelam

Ada bulan malam

Ada debu terbenam

Regu habis ditelan

Ada langit ngugah buram

Ada kawan suram muram

Ada –tak ada- murung garang tak ada

Ah. Lengan hentilah suram muram tinta hitam kala burung terbang layang ,layang ke ponggok awan, ah.

Kawan aku hwnti muram buram karena bata mebas lepas..pas…pas…sudah

-pas-.

Ha…ha…ha…ha…

ha…ha…ha…ha…

itu langit bau angit karena buncit.




Tanah Amerika


Para priyayi itu ngungsi ke Amerika.

Para priyayi itu makan dari dan di Amerika.

Para priyayi itu jual tanah ke Amerika.

Karena tanah tak beri lagi darah.

Para priyayi itu mati di Amerika.

Para priyayi iu jadi tanah Amerika.

Berlanjut.

Anak negri ke Amerika

Indonesia jadi Amerika

Dan ………………….





( ………………. )


Dan bising bising itu

Mengingatkan aku

Mei hari berkabung

Sebuah Negara

“untukku Indonesia

untukmu terserah

apa dan kapan’’

Negaraku berkabung

Negaramu berkabung

Hidup desa !!!






Bapak Langit ( senyumlah )



Hoy.buaya langit budaya bumi


Hoy.langit langit di atas langit prutmu buncit.

Bapak langit langit jidatmu buncit –cit, cit

Tambah buncit.

Bapak buncit bola hitammu nyingit ngit.

Bibirmu engat engit engat engit.

Bapak engit jadi burit habis duit kamu pingit ngit.

Hoy.bapak pingit

Kok lebih dari bapak buncit cit

Bapak buncit menang terus tiap suit.Tapi bapak suit tidak terlalu nyingit .engat engit

Engat engit engat engit engat

……………………………..


1933 – 1941

Tuan laut mana ikan opi opi yang pergi ke langit kemarin windu, Tuan laut.

Itu

Rundung malang tak henti henti datang, siang, malam, petang, ulang,Tuan laut.


Dicambuk pedang

Tuan laut

Lengannya lepas menggores awas !

Di kucup tonggak

Tuan laut

Kakinya lepas nendang berang !

Di gigit tanah tuan laut

Hidungnya menghembus hembus hembus tanda ngembus !

Tuan laut


O. Tuan laut

Huruf itu jadikan tuhan,

Tanda badan ngunjam aroma Tuhan.

Tuan laut.


Hati hati Tuan laut,.

Aroma ngawut sudah ngrawut.

Tuan laut.

Cernai Tuan laut.




1941 –

angin sering ngembus Tun laut

api ngembus rubus Tuan laut

kenapa Tuan laut tidak menghembus hembus, Tuan laut ?


ini waktu opi opi jadi paus.

Tuan laut

Kamu tak lagi berhembus

Karena paus asyik menghembus hembus hembus kamu,Tuan laut.





Jika Murai – Jika Pipit



Jika mulut muraiku melinang

Tak dapat ku ucap kakak

Lepas kemana roh rohku

Kau tahu aku tahu hutan itu memberi tahu

Jika darah pipit itu membanjiri

Pasti aku dapat berucap kakak

Rohku tertawa di kuku jempolku



Kenapa kakak

Kau tahu

aku tahu

5.000.000 itu cukup tajam untukku

maaf benar benar maaf ?.

wc tengah malam





Di Balik itu



Di balik kata aku rasa. Kau hantu, anu, ‘’gak enak’’.

Di balik kata aku menagkapmu, anu,

‘’gak enak’’.

Di balik itu kamu cahaya bapak.






Bola biru



Ini dingin malam ngukir tawa anak binatang

Jalang benar benar jalang

Anak binatang lupa puja pujimu.

Sana mengambang

Sini berbayang

Gelombang jadikan bayang.

Walau.

Ini perjuangngan anak binatang.






Kota Lembut


O. lembut kotamu yang malang

Nangis kala angin seakan diam

Kala keperawanan ditelan orang seberang.


O. perahu orang orangan lantang

Sudah angin diam wanitamu jadi jalang terus jalang.



‘’ayo orang orangan terjang seberang terjang. Tak guna angin terjang terjang jangan segan terjang terjang terjang ke seberang.

Dan ukir kembali noda keperawanan’’.





Oh. Rerumputan



Kau tahu

Raja raja itu

Tidur di bawah kolong jembatan kalicode.

Kau tahu

Raja raja itu tertawa terkekeh kekeh

Padahal hatinya gusar tidur di bawah kolong jembatan kalicode

Kau tahu

Raja raja itu terus tidur di bawah kolong jembatan kali code. Ternyata ukiran kata

Raja tak seindah yang kita pikirkan.

Oh. Rerumputan.




Karena Kumis

HA..HA..

Ringik kumismu itu

Ngukir bom di mataku

Ngukir mesin di kakiku

Ngukir sudut bayang itu


O.O.O.O.

Bom di mataku menulup urat otak otak kau
O.O.O.O.

Mesin di kaki ngebut sekian vol, laju

O.O.O.O.

Bayang itu jadi ungil hingga rebah oleh ucil.



E..e..E..e..E..e..E..

Jadi utuh.




Sajak bingung


Tadi seribu hawa

Meraung menyeruku

‘’A.a.u.u.a.a.u.u.’’ itu

‘’hana, hini, hana, hini,’’ itu

pikun.



Aku tak tahu apa

Mungkin tinta menyuruh

Mungkin hal itu saja

Mungkin apalah persetan


Tahukah kau kurasa hanya itu yang tahu.





Kasih ikut



Bila kau gencar

Bila kau gencarmu

Terbang terjang langit itu


Bila kau gencar

Bila kau gencarmu

Terbang terjang langit itu



Kasih angin ke aku

Aku juga terjang langit itu

Kasih tambang ke aku

Aku juga ledakan itu


Bila kau gencar

Bila kau gencarmu

Terbang terjang langit itu


Bila kau gencar

bila kau gencarmu

terbang terjang langit itu.


O.kasih ikut aku.





Hentilah


Lelah mata terkatup

Sudahlah sayang , jangan kau berkata, ah.

Henti lampu meredup. Hilang .

Sudahlah jangan kau ucap.uh.


Katup katup. Hanya.

Berilah ,ye….

Redup hilang. Hanya.

Berilah ,hore…

Ubah bau tanah ketabah


Barangkali aku ini sayang

Ini hanya Cuma Cuma ,yaitu

Dongeng bani adam hawa.






Tolol Seragammu,Tolol Cucu Adam hawa


Rela darahmu dicumbu itu

Betapa tolol jidatmu

Kau sampah tanpa urat

Apakah jurus sebrang ngenai nanahmu

Tolol

Membunuh tiap sudutmu

Harusnya kau tipu da’jal yang mendarah nanah

Kasih ilmu tiap darah itu

bahkan yoni sekalipun

agar tololmu jadi bomerang.

Kado ulang tahun. Riuh merang.

Betapa tolol seragammu

Betapa tolol cucung adam hawa

Tolol untuk buahmu

atau tolol untukmu

terserah

kau mesti lari dari da’jal dan tuntun..

……………………………………..





Cumbu Tanah



Tiap membau tanah.

Kokok ayam, tiba malaikat

Rupa angin mungkin.


Tiap hawa mulut mendengus

Tanda ajal terkekeh kekeh.


Tiap sebutir beras

ialah nanah mengecap

Rem !! jangan kau cumbui kemolekan hawa itu

Nanahmu maelaut membara.

Neraka.

Ini.


Harusnya cumbui sajadah

Yang mungkin taik di tiap keringat jidatmu.


Long long mata, bani adam.

Idiot usap.


Hapus sebutir keringat cemasmu,

Tak usah gusar !

( peternakan )





Malu



Kira kira apa yang mengibas

di balik hujan ?

hitam. Berbulu.

Mungkin tikus mengibas

Kerongkongnya.



Ingat KAU _’ B’ _



Kuintip lewat jendela,

Betapa kelam suram.


Ternyata kudapat

helai keladi menghirup perlahan cik cik hujan, malam berbuka.

( kantoran )





BIODATA

Nama Lengkap : Muhammad Deni A
Nama Samaran : M. D Borang

Alamat : Jln. Angsana Blok F2 no: 6 komp, Pusri Borang Perumnas Palembang
Telepon : (0711) 816603
Tempat T Lahir : Palembang, 5-Mei-1987
Pekerjaan : Anggota Kepolisian Pagaralam

Aktivitas : Anggota aktif Sanggar Air Seni (SAS), Anggota aktif Teater Sansekerta, Anggota Komunitas Sastra Lembah Serelo Lahat, Aktif menulis Puisi dan karya saya pernah dipublikasikan Harian Umum Sriwijya Post dan Harian Umum Transparan

Catatan Asep Sambodja: Cerpen-cerpen Seorang Soekarnois

oleh Asep Sambodja

Abdul Kohar Ibrahim adalah seorang Soekarnois sejati. Dalam novel Sitoyen Saint-Jean, A. Kohar Ibrahim (2008) memperlihatkan jati dirinya secara jelas, bahkan dengan penuh kebanggaan sebagai seorang Soekarnois. Ia menulis seperti ini:

Karena Presiden Republik Indonesia yang benar sebenar-benarnya adalah republiken Bung Karno, pembina bangsa, pejuang dan proklamator kemerdekaan yang antikolonialis dan neokolonialis serta imperialis. Sedangkan HMS adalah pengkhianat atasnya. Pengkhianatan yang mendatangkan bencana tragedi sampai pada menyengsarakan sebagian besar rakyat Indonesia. Salah seorangnya adalah diriku sendiri (Ibrahim, 2008: 11)

Seketika aku kangen pada BK. Sang Presiden Republik Indonesia, pembina bangsa dan pemimpin perjuangan kemerdekaan melepas belenggu feodalisme, kolonialisme dan neokolonialisme serta imperialisme. Presiden yang aku hormat hargai dan dicintai oleh rakyat Indonesia. Juga dihormat hargai oleh para pejuang kemerdekaan dan rakyat Asia Afrika. Pun, Presiden yang ahli pidato, penulis dan pencinta seni yang berjiwa besar (Ibrahim, 2008: 15).

Konkretnya, selain turba atau turun ke bawah demi lebih mengenal dan lebih mendorong maju perjuangan yang selaras dengan garis Bung Karno, juga menyusun ragam macam tulisan berupa reportase, esai budaya, juga kreasi prosa dan puisi. Yang, jika tidak dimusnahkan rezim militer fasis Orde Baru, tentu bukti-buktinya bisa dilacak di berbagai surat kabar dan majalah zaman itu yang tersimpan di Perpustakaan Nasional (Ibrahim, 2008: 20).

Kutipan di atas memperlihatkan betapa A. Kohar Ibrahim begitu gandrung dengan sosok Presiden Soekarno. Kecintaan Kohar kepada Bung Karno itu juga tercermin melalui cerpen-cerpennya yang terdapat dalam Laporan dari Bawah yang dihimpun oleh Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M. Dahlan (2008). Cerpen-cerpen itu berjudul “Danau Tigi Merah Berdarah”, “Ombak Terus Bergelora”, “Pesan”, “Penyergapan”, dan “Keinginan Seorang Perempuan”. Empat cerpen pertama berkisah tentang orang-orang yang berada di lini paling depan dalam pertempuran. Sementara cerpen “Keinginan Seorang Perempuan” berkisah tentang keinginan seorang istri yang sedang ngidam, yakni ia mengidam suaminya memanggul senjata.
Hampir semua tokoh dalam cerpen-cerpen itu menjadi anak wayang yang dimainkan sang dalang. Dalam arti, pengarang sangat berperan betul dalam cerita itu. Tokoh-tokohnya tidak diberi ruang ataupun kesempatan untuk berpikir, berbicara, dan bertindak menurut kata hati tokoh itu sendiri, melainkan semuanya tergantung pada sang pengarang sebagai dalang. Akibatnya, watak tokoh-tokohnya hampir sama pula. Dan pembaca harus membaca dengan sabar karena seperti mendengar dongeng yang hendak disampaikan oleh pengarang. Pembaca seperti menempati ruang sempit untuk berimajinasi dan berfantasi sendiri. Namun, pembaca diuntungkan dengan penggunaan kata dan bahasa yang bagus oleh pengarang.
Kecintaan Kohar kepada Bung Karno itu dicerminkan dengan pesan yang disampaikannya melalui cerpen-cerpennya. Dalam “Danau Tigi Merah Berdarah” Kohar bercerita tentang perjuangan membebaskan Irian Barat. Sementara dalam cerpen “Ombak Terus Bergelora”, Kohar menyinggung peristiwa konfrontasi dengan Malaysia. Kedua topik itu sangat relevan dan bersetuju dengan kebijakan Presiden Soekarno. Tokoh utama dalam kedua cerpen itu adalah pejuang yang selalu berada di garis depan. Sama halnya dengan tokoh utama dalam cerpen “Pesan” dan “Penyergapan”.
Ada yang menarik dalam cerpen “Danau Tigi Merah Berdarah” dan “Ombak Terus Bergelora”, yakni tokoh utamanya sama-sama tertembak di bagian lengan. Ada keberanian, ada semangat pengorbanan yang diperlihatkan tokoh-tokoh dalam cerpen-cerpen A. Kohar Ibrahim. Saya kutipkan adanya kesamaan “nasib” dua tokoh utama dalam dua cerpen itu.

Rumah-rumah rakyat dibakar Belanda! Dengan gila dan biadab! Marius menyelisip di antara belukar, memberi aba-aba pada anak buahnya yang tersebar di tempat-tempat tersembunyi. Lalu memuntahkan peluru senjatanya ke arah musuh yang bertebaran. Suara jerit parau dan tangis yang menyakitkan hati tak terindahkan lagi. Tetapi tiba-tiba Marius menyeringai, dirasakan hangat dan panas pada lengannya yang ditembus peluru. Terhuyung-huyung ia menyelinap di balik batu-batu sambil menahan nyeri, lalu merangkak. Tetapi tak kuat... tubuhnya berpeluh dingin.
(“Danau Tigi Merah Berdarah”)

Ketika Fatimah sibuk mengurusi seorang yang terluka dekat sebuah pohon, tanpa diketahui musuh telah begitu dekat, peluru mendesing-desing di kiri kanan. Dan tiba-tiba ia menyeringai, dirasakan lengan tangannya yang kanan hangat. Dirabanya dengan tangan kiri, darah terkelucak, ketika itu matanya kunang-kunang. Dipejamkannya matanya, berdiri dan berusaha melangkah, tapi tak kuasa. Seorang anggota Laskar melihat dia, berteriak menyambar tubuhnya yang melayang hampir jatuh ke tanah.
(“Ombak Terus Bergelora”)

Saya merasakan nikmat membaca pada bagian-bagian seperti ini. Kohar mendeskripsikan dengan baik saat-saat sang tokoh tertembak. Dan pembaca mungkin menangkap gambaran bahwa orang yang tertembak akan “menyeringai” dan “merasakan hangat” terkena peluru. Kedua tokoh itu tidak dimatikan oleh pengarang, karena masih diandalkan untuk menceritakan kisah selanjutnya, karenanya pula kedua tokoh itu sama-sama terkena tembakan di bagian lengan yang memang tidak mematikan.
Dalam cerpen “Pesan” dan “Penyergapan”, Kohar memperlihatkan semangat patriotisme yang melekat pada tokoh-tokohnya. Di dalam kedua cerpen itu pula diungkapkan betapa menjijikkannya orang-orang yang mau menjadi mata-mata penjajah. Ternyata bahwa dalam perjuangan, masih saja ada orang yang mencari untung buat dirinya sendiri, bahkan merugikan teman-teman sebangsanya sendiri. Luapan kekesalan itu terbaca dengan terang dalam kedua cerpen itu.
Sebagaimana judulnya, “Pesan”, cerpen ini mengisahkan tertangkapnya Agam oleh polisi-polisi kolonial. Agam tertangkap karena ada mata-mata yang membocorkan tempat persembunyiannya. Meskipun tertangkap dan dijatuhi hukuman gantung, Agam tidak memperlihatkan wajah penyesalan kepada istrinya, Parsih. Ketika istrinya diberi kesempatan bertemu untuk terakhir kalinya, di situlah pesan-pesan Agam dikeluarkan secara beruntun.

“Parsih, kita selalu mimpikan untuk bebas. Alangkah rindunya kita pada kebebasan, lepas dari tindasan kemelaratan dan ketakutan. Dan aku bersama kawan-kawan dan rakyat lainnya melakukan semua itu karena satunya keinginan untuk bebas itu...
Parsih, jangan kau habiskan airmata hanya untuk menangisi aku. Pengadilan kolonial telah memutuskan, aku harus menjalani hukuman...
Parsih, relakan aku. Hanya aku pesan, nanti, kalau saatnya telah datang… kau sudilah tanami pohon bunga merah di atas makamku. Kembang Beureum. Ingatlah Parsih. Ini pintaku, keinginanku.”
(“Pesan”)

Sementara dalam cerpen “Penyergapan”, yang tertembak adalah rekan seperjuangan Mansur yang bernama Amin. Dalam melakukan aksi penyergapan itu, Amin buru-buru mendekati serdadu-serdadu Jepang yang bergelimpangan. Dia tidak memperhitungkan bahwa tentara Jepang yang menjatuhkan diri dan pura-pura mati itu hanyalah taktik mereka belaka. Ketika tahu Amin tertembak, Mansur pun kemudian melemparkan granat ke gerombolan serdadu Jepang, yang mengakibatkan semuanya mati.
Cerpen “Keinginan Seorang Perempuan” menggunakan setting di Angola yang tengah dijajah Portugis. Kohar ingin menggambarkan bahwa semua hasil kebun yang ada di negara tersebut sudah dikuasai pihak imperialis, karena itu dia tidak bisa memenuhi keinginan istrinya yang mengidam berbagai hasil kebun. Akhirnya, istrinya bisa mengerti dan mengidamkan sesuatu yang spesial, yakni meminta suaminya, Natsa, untuk angkat senjata melawan kaum penjajah.

Ketika aku kembali menemui Kakek Keita, kakek itu menyelangak. Berkata, “Apa yang tidak dikuasai oleh orang-orang Portugis atau Eropa dari hasil bumi Angola kita, Natsa? Hampir semua mereka kuasai!” Dan ketika mengucapkan ini nampak wajah kakek merah padam. Sambungnya, “Jangankan kopi, jagung, lada, dan kapas… sampai budak-budak pun mereka kuasai! Apapun emas, berlian, dan besi serta hasil-hasil tambang lainnya yang sangat bernilai harganya! Benda-benda itu memang dari bumi, hasil keringat rakyat Angola, tapi,” kata kakek menekankan, “oleh karena orang-orang kulit putih itu yang berkuasa, merekalah yang menikmati semuanya.”

“Memang aku mengidamkan sesuatu, putra kita, entah kenapa aku begitu ingin dalam hari-hari ini mereguk secangkir kopi murni dan mengunyah jagung muda yang manis dan gurih. Oleh karena belum lagi terpenuhi, kutekan sekuat hati keinginan itu. Aku lebih menginginkan yang lain: engkau menyandang bedil!”
(“Keinginan Seorang Perempuan”)


Dari beberapa kutipan di atas terlihat kemampuan seorang Kohar Ibrahim dalam bertutur dan bercerita. Kata-katanya sangat terjaga dan memikat. Pesan yang diusungnya sehaluan dengan garis kebijakan Presiden Soekarno, tokoh yang diidolakannya sejak kecil. Ia menyuarakan antiimperialisme, mengobarkan semangat berjuang dalam merebut Irian Barat (kini Papua) dan berkonfrontasi dengan Malaysia, serta rasa setia kawan dengan bangsa Afrika yang sama-sama terjajah. Kohar juga mengobarkan semangat berani berkorban dan sikap seorang patriot sejati, nasionalis tulen, demi kemerdekaan rakyat Indonesia.

Citayam, 8 November 2009