Selasa, 17 November 2009

”Cicak Nguntal Baya”

Rabu, 18 November 2009 | 07:58 WIB

”Ya iki buntutku, kok pidak siji dadi sewu:
Ya iku sing jenenge aji candrabhirawa, ajine wong cilik. Saya mbok idak, saya brontak.
Saya mbok pateni, saya urip.
Saya mbok apusi, saya lantip ing budi.
Ya iku mau sing jenenge people power, he baya”.

(Sindhunata, ”Cicak Nguntal Baya”)

KOMPAS.com — Pergerakan cicak-cicak di Jakarta dan kota lain bisa jadi memang tidak selincah sebelumnya, seperti dikatakan guru besar Ilmu Kepolisian Universitas Indonesia, Bambang Widodo Umar. Namun, tidak di Yogyakarta. Napas panjang menuntut ditegakkannya keadilan tengah disiapkan.

Persiapan itu ditandai dalam Brebeg Seni di Kapitroekan Karang Klethak, Wonorejo, Hargobinangun, Pakem, Sleman, Sabtu (14/11) malam. Puisi Sindhunata yang dibacakannya sendiri dari panggung dan dihadiri ratusan warga dan seniman itu adalah awalnya.

Penggal puisi jawaban cicak atas pertanyaan buaya yang meremehkan kemampuannya itu lebih kurang artinya, Ya ini ekorku, jika diinjak satu tumbuh seribu: Ya ini yang dinamakan senjata candrabhirawa, senjatanya orang kecil. Makin diinjak makin berontak. Makin dibunuh makin hidup. Makin ditipu makin pandai. Ya itu tadi yang namanya people power, hai buaya.

Sementara budayawan Sindhunata membacakan puisi panjangnya, tiga perupa, yaitu Djoko Pekik, Teddy, dan Putu Sutawijaya, menggambar di kanvas ukuran 2 x 3 meter. Temanya tunggal, ”Cicak Nguntal Baya”. Hujan yang turun tidak menghentikan kegiatan tiga perupa di alam terbuka itu.

Sambil ketiga perupa itu terus menggambar, ruwatan dilakukan dengan membongkar dan melempar kulit ketupat. Dari atas panggung, para seniman kemudian melemparkan beras kuning bersama uang receh ke arah penonton yang segera berebut memungut recehan.

Konflik antarlembaga yang melibatkan Komisi Pemberantasan Korupsi dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, menurut Sindhunata, sekadar pemicu untuk menumbuhkan penyadaran sosial yang lebih besar. Ruwatan yang digelar tidak sekadar ruwatan batin, tetapi lebih pada ruwatan sosial.

”Gerakan sosial tidak mungkin tanpa penyadaran. ’Cicak Nguntal Baya’ adalah penyadaran tentang kekuatan orang kecil,” ujar Sindhunata.

Cenderung lupa

Sebelumnya, dengan kebaya merah yang membalut tubuhnya, politisi Rieke Dyah Pitaloka membacakan orasi budaya. Rieke, yang lebih dikenal masyarakat desa sebagai Oneng dalam serial komedi televisi yang dibintanginya, menyerukan perlawanan terhadap korupsi dan perilaku koruptif lainnya.

”Kekuasaan memiliki watak arogan yang cenderung lupa pada amanah rakyat. Ketika kekuasaan menjadi lupa, maka tugas kebudayaanlah untuk mengingatkan. Politik tanpa kebudayaan seperti cicak tanpa dinding, seperti buaya tanpa sungai,” ujar Rieke.

Melalui Brebeg Seni yang diserukan dari perbukitan dengan bantuan angin dari sela-sela rumpun bambu, seniman ingin dengan segala kemampuannya hendak menyampaikan penyadaran sosial. Rakyat yang selama ini dilecehkan hendak disadarkan akan kekuatannya. Yang besar tak harus menindas yang kecil. Yang kecil punya kekuatan untuk menelan yang besar.

Ketika hujan mulai deras, Marzuki bersama Jogja Hip Hop Foundation tampil. Kritik kepada seniman yang memburu kapital dan melupakan tugas seni disampaikan lewat lagu ”Jula Juli Lolipop”.

Bersama Soimah Pancawati, yang kembali ke Yogyakarta tiap akhir pekan setelah kesibukannya di Jakarta, Marzuki menyanyikan secara hip hop lagu berjudul ”Cicak Nguntal Boyo”.

Karena hujan turun, meski ratusan penonton di tengah rimbunnya tanaman tidak beranjak, Marzuki dan Soimah tampil dengan payung.

”Biar rakyat bergembira, biar kami yang menderita,” ujar mereka disambut tawa dan tepuk tangan.

Butet Kartaredjasa dan Djaduk Ferianto yang datang malam itu bersama puluhan seniman turut memberikan semangat dari tempat mereka menonton.

Teriakan-teriakan yang menyemarakkan acara membuat tontonan untuk penyadaran itu menyatu dan terasa mengalir tanpa ada kesan paksaan.

Penyadaran sosial

Meskipun tempatnya terpencil, sekitar 22 kilometer dari Kota Yogyakarta melalui Jalan Kaliurang, kemeriahan untuk penyadaran sosial itu bisa dilakukan dan diharapkan bergelombang.

Obor bambu menjadi penunjuk jalan ketika para penonton meninggalkan jalan besar menuju tempat perhelatan. Sebagian warga sekitar menyambut dengan menjajakan berbagai makanan desa untuk kudapan.

Warga sekitar yang hadir malam itu, seperti Ngadiman (50), mengaku ikut geram dengan perseteruan cicak lawan buaya.

Meski tinggal di pelosok pedesaan, dia selalu mengikuti perkembangan terbaru dari perseteruan tersebut di televisi.

”Kami orang kecil bisanya ya hanya geleng-geleng kepala melihat dan menyaksikan para petinggi di televisi,” ujar Ngadiman.

Djoko Pekik yang melejit lewat lukisan ”Berburu Celeng” menjelang peristiwa 1998 juga geram.

Di mata Djoko Pekik, para petinggi negara dilihatnya seperti tukang parkir dan preman. Hanya tukang parkir dan preman yang kerjaannya berebut lahan.

Berbeda dengan ruwatan desa yang hasilnya bisa segera dilihat dengan terciptanya keamanan lingkungan, dampak ruwatan ”Cicak Nguntal Baya” ini mungkin tidak segera dapat dirasakan.

Dengan gelaran ruwatan, muncul secercah penyadaran yang diharapkan mampu menumbuhkan gerakan sosial.

Warga pedesaan pun memperoleh secuil hiburan dan kesempatan menertawakan perilaku para pejabat dari gelaran ruwatan. Dari desa kecil di lereng Gunung Merapi, dengan bantuan angin dari sela-sela rumpun bambu setelah hujan, seruan dilantangkan.

Cicak-cicak belum mati. Kalaupun diinjak, ekornya akan tumbuh lagi, bahkan sampai seribu kali.

”Ya iku mau sing jenenge people power, he baya
Nadyan lembut tan kena jinumput, gedhene ngebaki jagad
Mula sanadyan aku mung cicak
Aku bisa nguntal kowe, wong gedhemu luwih cilik tinimbang jagad saisine”.

(Wisnu Nugroho/ Mawar Kusuma)
Sumber: Kompas

Kepahitan bila berlalu


Pengantar Buku Puisi-puisi dari Penjara S. Anantaguna

oleh Asep Sambodja

Kepahitan bila berlalu
Jadi lagu sangat merdu
(“Sisi yang Cerah”)

Pada mulanya adalah ketidakadilan. Sehari setelah Presiden Soekarno mengeluarkan Surat Perintah 11 Maret yang berisi perintah pengamanan, dan bukannya transfer of authority, Soeharto mengeluarkan surat keputusan No. 1/3/1966 yang berisi: 1) membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI) termasuk bagian-bagian organisasinya dari tingkat pusat sampai ke daerah beserta semua organisasi yang seazaz/berlindung/bernaung di bawahnya. 2) menyatakan PKI sebagai organisasi terlarang di seluruh wilayah kekuatan negara Republik Indonesia (Adam, 2009; Samsudin, 2005).
Menindaklanjuti surat keputusan itu, pada 5 Juli 1966, Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) yang diketuai A.H. Nasution mengeluarkan Tap MPRS No. XXV/MPRS/1966 yang berisi pembubaran PKI, pernyataan sebagai organisasi terlarang di seluruh wilayah Negara Indonesia bagi PKI dan larangan setiap kegiatan untuk menyebarkan, mengembangkan faham, atau ajaran komunisme/marxisme-leninisme (Samsudin, 2005).
Apa implikasinya? Negara berusaha mencuci-tangan dengan apa yang telah dilakukan oleh Soeharto dan algojo-algojonya dalam massacre yang terjadi pascaperistiwa G30S 1965. Pembantaian atas sekitar setengah juta orang di Indonesia dalam jangka enam bulan sejak Oktober 1965 hingga Maret 1966 adalah tragedi paling besar dalam sejarah Indonesia modern (Cribb, 2005). Sebelum PKI dilarang, banyak anggotanya yang dibunuh, ditangkap, disiksa, ditahan bertahun-tahun tanpa proses pengadilan.
Soal jumlah yang pasti mengenai korban yang mati memang belum jelas, karena negara sendiri mencoba menyembunyikan peristiwa berdarah ini dalam kolong sejarah bangsa Indonesia. Tapi, sebagaimana Robert Cribb, Ricklefs (2005) juga menyebutkan bahwa jumlah anggota PKI yang dibunuh sedikitnya 500.000 orang. Harian Kompas, 13 Agustus 2001 menyebutkan korban yang meninggal dalam pembunuhan massal 1965-1966 hingga satu juta jiwa. Sarwo Edhie Wibowo, Komandan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) yang memimpin pembantaian massal di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali itu bahkan mengklaim telah membunuh tiga juta orang komunis (Ricklefs, 2005; Aleida, 2009).
Selain itu terjadi penangkapan disertai penyiksaan dan penahanan terhadap orang-orang PKI yang semuanya tanpa proses pengadilan. Harus dicatat di sini bahwa penangkapan, penyiksaan, dan penahanan itu tidak melalui proses pengadilan. Ricklefs (2005) menyatakan sedikitnya ada 100.000 orang yang diperlakukan secara aniaya seperti itu. Kompas menyebutkan ada 700.000 orang yang dizalimi. Mereka memenuhi penjara-penjara yang ada di Jawa dan sebagian dibuang ke Pulau Buru.
Terkait dengan hal itu, perempuan-perempuan aktivis yang tergabung dalam Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) justru mengalami penderitaan yang berlipat-lipat. Mereka tidak saja ditangkap dan ditahan, tetapi juga diperkosa berkali-kali di dalam penjara. Testimoni yang mereka berikan terekam dengan baik dalam buku Suara Perempuan Korban Tragedi 65 karya Ita F. Nadia (2008).
Melihat peristiwa ini, Amerika hanya menutup mata. Bahkan mereka merasa gembira karena Soeharto telah berhasil menyingkirkan kekuatan sayap kiri di Indonesia. John Roosa menulis, “Washington sangat gembira ketika tentara Soeharto mengalahkan G30S dan merangsak menghantam kaum komunis. Ketidakberpihakan Soekarno dalam perang dingin dan kekuatan PKI yang semakin besar telah dibikin tamat dengan sekali pukul. Tentara Soeharto melakukan apa yang tidak mampu dilakukan negara boneka AS di Vietnam Selatan meskipun telah dibantu dengan jutaan dolar dan ribuan pasukan AS, yaitu menghabisi gerakan komunis di negerinya” (Roosa, 2008).
Sastrawan-sastrawan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang berafiliasi dengan PKI mengalami nasib sial. Pramoedya Ananta Toer, Putu Oka Sukanta, Hersri Setiawan, dan S. Anantaguna—untuk menyebut beberapa nama saja—mengalami penganiayaan oleh Rezim Orde Baru. Sebagai anggota Lekra, Putu Oka Sukanta dipenjara Rezim Orde Baru selama 10 tahun (1966-1976) tanpa diadili (Sukanta, 2008). S. Anantaguna sendiri mendekam di penjara selama 13 tahun (1965-1978) juga tanpa diadili dan tidak tahu kesalahannya apa.
Pramoedya Ananta Toer mengatakan dalam esainya, “Saya Bukan Nelson Mandela”, bahwa ia dibebaskan dari Pulau Buru pada 21 Desember 1979 dengan membawa selembar kertas yang menyatakan dirinya tidak terlibat dalam G30S. Namun, tidak ada proses hukum untuk merehabilitasi namanya. Negara tidak merehabilitasi dan tidak memberikan kompensasi kepada orang-orang PKI, termasuk sastrawan-sastrawan Lekra, yang telah mengalami penganiayaan selama bertahun-tahun tanpa proses pengadilan itu. Khusus untuk sastrawan Lekra, mereka tidak saja ditahan, melainkan buku-buku mereka juga dinyatakan terlarang. Yang terjadi kemudian adalah karya-karya mereka lenyap dari buku sejarah sastra Indonesia (Sambodja, 2009). Mereka adalah orang-orang yang dizalimi bahkan sampai saat ini, karena Tap MPRS No. XXV/MPRS/1966 itu belum dicabut.
Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), yang juga mantan Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) meminta maaf kepada Pramoedya Ananta Toer sebagai simbol korban pembantaian massal yang pernah dilakukan negara terhadap rakyatnya sendiri (Kompas, 15 Maret 2000). Goenawan Mohamad, Pemimpin Redaksi Majalah Tempo yang juga sastrawan Manifes Kebudayaan (Manikebu), menyayangkan sikap Pramoedya Ananta Toer yang tidak meniru sikap Nelson Mandela yang melakukan rekonsiliasi dengan Rezim Apartheid di Afrika Selatan yang pernah menindas Mandela (Mohamad, 2004). Menurut Pramoedya Ananta Toer, permintaan maaf Gus Dur itu hanya basa-basi, karena permintaan maaf itu tidak disertai dengan ketetapan MPR/DPR. Sekarang kita pertanyakan kembali: bisakah anggota DPR dan MPR yang sekarang ramai dengan artis-artis sinetron dan pelawak-pelawak itu bisa mewujudkan penegakan hukum di negeri ini—di tengah genggaman dan kekangan mafioso peradilan? Apakah mereka punya hati nurani? Apakah mereka punya nyali?
Puisi-puisi Sabar Anantaguna atau yang lebih dikenal dengan S. Anantaguna ini seperti mengekalkan kezaliman yang diwarisi Rezim Soeharto, yang tangannya berlumuran darah. Penuh darah rakyatnya sendiri. Yang dihasilkan Anantaguna sungguh luar biasa; suara yang dikeluarkannya seperti suara nabi. Mungkin ini terdengar agak berlebihan. Tapi, kalau melihat penganiayaan yang dilakukan Rezim Soeharto kepada orang-orang PKI, termasuk sastrawan-sastrawan Lekra, maka yang mereka alami itu lebih memiriskan hati. Dalam pembicaraan dengan mantan-mantan tahanan politik (tapol) yang tergabung dalam Lembaga Pembelaan dan Rehabilitasi Korban Rezim Orde Baru (LPR KROB), seorang di antaranya mengatakan bahwa penyiksaan yang mereka alami lebih sadis dibandingkan dengan penderitaan yang dialami Nabi Isa. Benarkah? Wallahualam bissawab. Tapi, kalau membaca puisi-puisi S. Anantaguna, kehidupan mereka di dalam penjara Orde Baru itu sebenarnya sudah berada di ujung tubir antara hidup dan mati.

Yang Diburu Juga Memburu

Mimpi yang ditimang
malam dengan bintang
Mimpi yang diemban
malam pesta bulan
mengadu rindu

Hati digoncang banting antara hidup dan mati
diburu tetapi juga ditakuti tak bisa mati

Mimpi yang diayun
angin bau embun
Mimpi sesah
angin dari lembah
menambah indah

Di bumi sepi diburu hidup dan mati
menerawangi hati mencari makna tanpa nyanyi


Puisi “Yang Diburu Juga Memburu” menggambarkan betapa batas antara hidup dan mati memang lebih tipis dari kulit bawang. Terkadang manusia merasa diburu kematian sebagaimana Chairil Anwar mengatakan dalam puisi-puisi akhirnya, “hidup hanya menunda kekalahan” (Anwar, 1990). Tapi, terkadang pula manusia memburu kematian itu jika berada dalam titik nadir kehidupannya. Barangkali kematian menjadi demikian indah jika harga diri sebagai manusia telanjur disampahkan. Di sisi lain, orang-orang yang mampu bertahan dalam ujian yang maha berat itu akan merasai makna kehidupan itu sendiri.

Kepedasan Hidup

Bila buah cabe bermatangan, dik, petiklah
biar pohonnya tidak cepat mati
bila hati matang, dik, petiklah
seperti kecapi
Biar hidup tidak kehilangan arti

Meski megap-megap hidup diarungi
Mengapa berjawab mati
Dari ujung kembali ke pangkal
kita kejar soal
memecahkan soal melahirkan soal

Betapa hati berdegup
merebut kualitas hidup
Awan tidak peduli
kita hidup atau mati

Bila buah cabe bermatangan, dik, petiklah
biar pohonnya tidak cepat mati
Bila hati mematang, dik, petiklah
seperti kecapi
Tanpa persoalan hidup ini sudah mati!

S. Anantaguna berupaya untuk menikmati hidup ini. Melalui puisi “Kepedasan Hidup”, Anantaguna ingin mengatakan dua hal. Pertama, ia yang telah menjalani sebagai tahanan selama 13 tahun tanpa proses hukum, mengerti benar kerasnya atau pedasnya kehidupan. Kedua, pedasnya hidup itu menjadi pengalaman sekaligus pelajaran yang sangat berharga. Kalau hal itu dianggap sebagai persoalan, maka persoalan itu harus ditaklukkan. Dan sejatinya kehidupan tanpa ada persoalan seperti hampa saja, sebagaimana dikatakan penyair, bahkan tak beda dengan kematian itu sendiri. Puisi “Sisi yang Cerah” yang saya kutip di atas, yang saya ibaratkan seperti suara nabi, menegaskan pada pembaca bahwa keberhasilan kita melalui segala rintangan, penderitaan, kepahitan, maka yang dirasakan kemudian adalah keindahan. Anantaguna menuliskannya dengan sangat indah: “Kepahitan bila berlalu, jadi lagu sangat merdu”.
Kini, setelah melalui masa-masa sulit itu, Anantaguna merefleksikan peristiwa yang membuatnya berada di titik nadir itu dengan bersahaja. Kebersahajaan itu terbaca dari puisi-puisinya yang menertawakan keadaan, menertawakan kehidupan, bahkan menertawakan diri sendiri. Anantaguna sudah memasuki tahap yang sangat matang, sehingga dengan mudahnya ia memetik buah pengalamannya itu. Puisi-puisi yang lahir dari tangannya adalah puisi-puisi yang bergizi.

Interogasi

Siapa namamu
namaku cinta

Di mana rumahmu
di hati manusia

Apa pekerjaanmu
memperindah dunia

Apa duniamu
kamar tiga kali dua
kalau sakit tidak diperiksa
tidak sakit malah diperiksa

Siapa temanmu
tak tahu

Harus tahu!
baiklah kalau harus menipu

Siapa menipu!
boleh jabat tangan seri satu-satu


Luar biasa! Saya menempatkan sastrawan-sastrawan Lekra ke tempat yang terhormat kembali. Dalam pandangan saya, posisi mereka sebagai sastrawan senantiasa berada di tengah-tengah rakyatnya. Ada kewajiban bagi sastrawan Lekra untuk benar-benar menyelami dan menghayati penderitaan masyarakat yang ada di lingkungannya dan kemudian mereka mengartikulasikan apa yang dirasakan rakyat melalui karya-karyanya. Di sinilah saya melihat para sastrawan berjasa dalam hal memperkaya kebudayaan bangsanya. Mereka turut serta membangun monumen peradaban bangsa.
Penyair-penyair salon tidak akan menghasilkan karya seperti itu, karena mereka tidak mau “turba”, tidak mau berkeringat dan kerja keras menyuarakan kebenaran hakiki yang bersemayam dalam jiwa dan hati orang-orang kecil. Bukankah Tuhan sendiri berada dalam diri orang miskin, lemah, duafa? Sebagaimana hadits nabi Muhammad, “Carilah Aku di tengah-tengah kaum duafa. Bukankah kalian ditolong dan diberi rizki karena bantuan orang-orang duafa?” (Rakhmat, 1991).
Sungguh mengherankan bagi saya bagaimana Taufiq Ismail melalui buku Prahara Budaya menyudutkan sastrawan-sastrawan Lekra untuk lebih terperosok lagi. Dalam buku yang disuntingnya bersama D.S. Moeljanto itu, Taufiq Ismail berupaya keras menaut-nautkan karya para sastrawan Lekra dengan peristiwa G30S. Ini, misalnya, tampak ketika ia menginterpretasi puisi Mawie Ananta Jonie yang berjudul “Kunanti Bumi Memerah Darah” dan esai Pramoedya Ananta Toer yang berjudul “Tahun 1965 Tahun Pembabatan Total” (Moeljanto, 1995). Padahal, kalau kita kaji dua tulisan itu dengan hati bersih, maka tidak ada sama sekali kata atau kalimat atau simbol dalam karya mereka yang mengarah ke peristiwa berdarah itu (Sambodja, 2009).
Saya pikir aneh kalau Taufiq Ismail berasumsi atau malah menuduh sastrawan-sastrawan Lekra itu terlibat dalam G30S. Apa bukti mereka terlibat dalam peristiwa itu? Apa pula bukti perempuan-perempuan Gerwani terlibat dalam penculikan dan pembunuhan itu? Bukankah perempuan-perempuan itu ditelanjangi secara paksa oleh tentara, dan bukannya menari telanjang sebagaimana yang dimitoskan selama ini? (Roosa, 2008; Nadia, 2008; Poesponegoro, 1984). Apa pula bukti keterlibatan ratusan ribu anggota PKI yang dibunuh tentara dan milisi antikomunis dalam peristiwa itu? Siapa sebenarnya Letkol Untung Samsuri dan Kolonel Abdul Latief itu? Bukankah mereka teman dekat Soeharto sendiri? (Adam, 2009).
Tentu saja kita bersyukur atas terbitnya buku-buku sejarah yang memberikan perspektif yang baru seperti itu; tidak melulu dari kacamata penguasa. Kita juga bersyukur atas terbitnya buku Lekra Tak Membakar Buku yang memberikan gambaran mengenai sastrawan dan seniman Lekra secara proporsional sebagai komplemen terhadap buku Prahara Budaya. Demikian juga dengan terbitnya buku Gugur Merah dan Laporan dari Bawah yang sedikit banyak menyelamatkan aset budaya bangsa yang selama ini diberangus Rezim Orde Baru (Yuliantri, 2008).
Lahirnya Puisi-puisi dari Penjara S. Anantaguna ini menjadi bukti bahwa kebenaran tidak bisa dimusnahkan dari muka bumi. Sebagai penyair, Anantaguna tidak perlu lagi berpura-pura menyuarakan penderitaan orang lain, karena pengalaman yang dialami Anantaguna merupakan ujian yang maha berat, sebagaimana tokoh-tokoh besar yang keluar dari kawah candradimuka. Maka, apa yang dituturkan Anantaguna adalah suara-suara yang di dalamnya terpancar kasih Ilahi. Saya kutip sebuah puisi Anantaguna untuk mengakhiri pengantar ini.

Catatan

Menghidupi hidup
menghayati hati

Angin merunduk
memeluk bumi

Kecup hidup
sampai mati


Citayam, 15 November 2009


Acuan
Adam, Asvi Warman. 2009. Membongkar Manipulasi Sejarah. Jakarta: Kompas.
Aleida, Martin. 2009. Mati Baik-baik, Kawan. Yogyakarta: Akar Indonesia.
Anwar, Chairil. 1990. Aku Ini Binatang Jalang. Jakarta: Gramedia.
Cribb, Robert. 2005. “Tragedi 1965-1966 di Indonesia”, dalam Christine Clark et.al. Di
Ujung Kelopak Daunnya Tetap Ada Airmata. Yogyakarta: Buku Baik.
Moeljanto, D.S. dan Taufiq Ismail (ed.). Prahara Budaya. Bandung: Mizan.
Mohamad, Goenawan. 2004. Setelah Revolusi Tak Ada Lagi. Jakarta: Alvabet.
Nadia, Ita F. 2008. Suara Perempuan Korban Tragedi 65. Yogyakarta: Galang Press.
Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto. 1984. Sejarah Nasional
Indonesia VI. Jakarta: Balai Pustaka.
Rakhmat, Jalaluddin. 1991. Islam Alternatif. Bandung: Mizan.
Ricklefs, M.C. 2005. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Jakarta: Serambi.
Roosa, John. 2008. Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta
Suharto. Jakarta: Institut Sejarah Sosial Indonesia dan Hasta Mitra.
Sambodja, Asep. 2009. “Historiografi Sastra Indonesia 1960-an: Pembacaan Kritis
Karya-karya Sastrawan Lekra dan Manikebu dengan Perspektif New Historicism.” Monografi. Belum diterbitkan.
Samsudin. 2005. Mengapa G30S/PKI Gagal?. Jakarta: Buku Obor.
Sukanta, Putu Oka. 2008. Surat Bunga dari Ubud. Depok: Koekoesan.
Yuliantri, Rhoma Dwi Aria dan Muhidin M. Dahlan. 2008. Lekra Tak Membakar Buku.
Yogyakarta: Merakesumba.
Sumber: Tag dari FB Asep Samboja