Selasa, 04 Januari 2011

PECUNDANG

cerpen yadhi rusmiadi jashar

"Aku bukan pecundang!!!" ujarku lantang di suatu rembang petang saat gemawan berarak pulang.
"Hehehehe, hidupmu selalu dirundung kekalahan, dari detak ke detik dan hari membulan-bulani tahun, kau tetap saja selalu kalah. Grafik hidupmu terus menurun dari waktu ke waktu, hampir menembus titik nadir. Hah, kau selalu kalah. kalah... kalah..." ejek Saya. Amarah masih bisa kutahan, sebab kutahu Tuhan sangat sayang padaku.
"Ingat tanahmu yang tergusur yang membuatmu terdampar di belantara hutan kota metropolitan ini? Tanah yang sempat membuat hidupmu sedikit lapang itu kini menjadi pemukiman mati. Itu kekalahan pertamamu. Kau kalah... kalah ... kalah..." kembali Saya mengejekku. Sengit.
"Kawan, tanah itu tanah leluhur. Kau tentu tahu, unggangku, pemilik pertama tanah itu, mendapat gelar Pahlawan karena mengorbankan nyawanya demi kemerdekaan tanah air ini. Hanya sekedar mengorbakan tanah seupil, untuk kompleks pemakaman pula, masak penuh perhitungan. Lagian tanah itu tidak digusur gratis." jawabku.
"Tapi kini kau tak punya tanah, toh. Tak punya lagi rumah dan ladang sayur yang juga ikut tergusur. Uang ganti ruginya lari kemana, hayo. Dan satu lagi kekalahanmu, istrimu minggat, anakmu tidak tahu sekarang di mana. Saya tidak yakin anakmu turut mantan istrimu. Jangan-jangan sudah dijual orang, jadi babu atau mungkin melacurkan diri... Duh... duh... duh... kalau ternyata benar, berapa banyak sudah kau menabung kekalahan. Kalah... kalah.... kalah." Saya mencecar dengan penuh sindiran. Amarahku sudah di ubun-ubun.
"Setiap manusia membawa nasibnya sendiri-sendiri. Tuhan penuh kasih. Hidup mereka sudah ada dalam garisanNya. Ingat kawan, Tuhan tak akan menimpakan cobaan pada suatu kaum melebihi batas kemampuannya, ngerti kamu."
"Selompret... Tuhan kau bawa-bawa untuk menutupi kekalahanmu. Makan nih, bau kentut. Kau kalah... kalah... kalah... pecundaaaang!!!!"
"Diam kau. Dalam hidup tak ada kalah atau menang. Semua yang dialami manusia adalah pencerahan. Jangan kau anjurkan aku meloncat dari jembatan Ampera menuju dasar Musi."
"Kalau tanah tak digusur, aku belum tentu bisa mengenal kota metropolitan ini. Aku akan tetap terjebak dalam hirup-pikuk desa kecil bagai katak dalam tempurung. Kalau istriku tak minggat dan anak-anakku tak lari, aku mungkin tak diajarkan bagaimana rasanya tak bertanggung jawab pada orang lain. Seperti saat di dusun dulu. Sekarang aku belajar bertanggung jawab pada diri sendiri. Hal yang dulu kuabaikan karena aku sibuk menanggungjawabi orang lain...."
"Hallllaaaah.... kutu kuprettt... Simpan semua pencerahan itu. Itu hanya pengalihanmu atas fakta kekalahan yang bertubi-tubi menerjangmu. Kamu pengen rumahmu yang dulu, kan? Kamu pengen kebun sayur yang digusur dulu, kan? Kamu pengen beristri lagi, kan? Haah..., Itu burung lama tergantung, bulukan, tau!!! Hahahahahaha.... kamu... kamu... dasar pecundang, banyak alasan," tawa Saya memecah awan berarak menjadi lima bagian. Empat bagian ngacir, terbirit lari meninggalkan satu bagian yang tergagau pakam.
"Sudahlah... hidupku aku yang menanggung, rumah suatu saat kumiliki lagi, beserta ladang sayur dan istri baru," suaraku sudah tak keras lagi. Lirih.
"Kapan, bro? Kapan? Hahahahaha... Menunggu matahari berada sejengkal dari kepala. Hahahaha." Saya terus mengusikku dengan ejekan-ejekan pedas.
Pedas dan pahit. Begitulah kenyataannya. Aku terpaksa harus membenarkan beberapa ejekan Saya. Mungkin benar Aku adalah pecundang sejati. Sejak dilahirkan, kemalangan selalu merundungku. Umakku meninggal selang beberapa jam kelahiranku. Bak lalu menitipkanku pada munting, istri dari adik ibu. Selama dalam pengasuhan munting, sampai meranjak dewasa, selama itu pula kerap aku menyaksikan perbalahan besar munting dan mangsak. Setelah dapat berpikir, aku kerap merasa akulah yang menjadi penyebab perbalahan mereka. Aku minggat, pulang ke rumah asal, rumah unggang yang didiami bak.
Aku menikah juga karena terpaksa. Eh, maksudnya dipaksa. Ceritanya, aku dijebak dan dipaksa menikahi gadis yang sudah bunting dua bulan. Ceritanya, malam itu aku bertandang ke rumahnya. Biasa, anak muda yang baru beranjak dewasa. Baru setengah jam ngobrol di ruang tamu, di luar rumah orang sudah ramai. Ada wak kadus juga. Aku lalu dibawa ke rumah wak kadus dan disuruh menandatangani surat perjanjian untuk menikahi gadis yang baru sekali kutemui. Aku dan bak tak dapat berbuat banyak mendapat desakan warga hampir separuh dusun. Akhirnya, aku mengawini gadis yang sudah bunting dua bulan! Jadilah dia istriku. Tapi, aku menerimanya dengan besar hati. lagi pula istriku tidak banyak tingkah, patuh, dan mampu mengambil hati bak yang mulai sakit-sakitan. Sebelum anak pertamaku lahir, bak sudah pulang.
Dalam hidup, satu-satunya kebahagiaan yang tak terkira dan kuanggap sebagai kemenangan adalah saat anak-anakku lahir.
Lahir. Tapi, jangan anggap pula kelahiran anak-anakku sebagai kekalahan. Ketiga anakku bernasib sama, tertahan di rumah sakit kabupaten dan keluar bukan dari lubang semestinya. Lahir lewat perut!!! Istriku pendarahan serius. Anakku tertahan karena biaya operasi kurang. Duh... Sampai masuk koran, lagi.
"Kenapa merenung," usik Saya lagi.
"Memikirkan segintir kemenangan yang pernah diraih?"
"Hhhhhh"
"Atau, kau ingin merasakan menang dengan mudah?
"Atau kau ingin melupakan tumpukan kekalahanmu?"
"Hahahahahahaha... Hidup jangan terlalu lurus, bung. Bengkok-bengkok sedikit ya tidak apa-apa." ujar Saya beruntun. Menghipnotisku.
"Ah, Tuhan ajari aku memaknai kekalahan. Hidup semakin sulit. Sehari kadang tak makan. Petak kost yang kusewa di 22 Ilir, keseringan telat bayarnya. Mulut ibu kost yang datang menagih terpengat-pengot meninggalkan gerutu sambil tak lupa menebarkan ancaman pengusiran. Becak yang baru kusewa kadang berlari mencong menghindari uberan Pol PP. Aku benar-benar terpuruk di sini. Tak ada yang bisa kulakukan untuk mengembalikan hidup seperti semula. Hanya azan dari Masjid Agunglah yang selalu mengelus dadaku. Melembutkan hati agar aku tak berbuat aneh dan nekat. Tapi, sampai kapan aku bisa bersabar dan ikhlas?" ujarku lirih tanpa suara.
"Hmmmm.... kawan, rupanya kau menyadari kekalahanmu. Kasihan. Tidak apa kawan. Aku bersamamu. Aku tahu apa yang berkecamuk di otak dan hatimu," kini suara Saya begitu lembut. Mendayu-dayu. Menggamit ruang hatiku yang sedari dulu memang telah ragu.
"Kawan... Hidup ini sulit dan berat. Kau hanya butuh secuil keberanian untuk mengembalikan hidupmu yang dulu. Belilah linggis dan obeng. Bila uang masih cukup, beli pula pemotong rantai."
"Ah, tidak. Aku tahu kau takkan punya keberanian untuk melakukan itu. Kau lihat puncak menara jembatan Ampera. Kau akan menemukan kebahagiaan di sana. Panjatlah kawan. Tuhan menunggumu di sana. Dia akan janjikan sebuah rumah dan istri yang cantik. Buatlah kontrak denganNya. Ya, di sana di ujung telunjuk Saya."
Aku memanjat salah satu menara kembar jembatan Ampera. Menuju puncak. Lalu angin bersiur kencang membuat rambut dan pakaianku melambai-lambai. Namun, di puncak menara, aku tak menemukan Tuhan. Aku hanya menemukan iblis yang tersenyum menawarkan perkawanan. Mukanya hitam, rambut jarang, kupingnya yang besar dan runcing sesekali saling bersentuhan dihembus angin kencang. Urat-urat yang membintat di matanya dan giginya yang taring semua, tak sedikitpun membuatku takut. Kukunya yang panjang kecoklatan mengimbangi tangannya yang melampai panjang. Senyumnya kembali mengembang, membujuk tanpa suara. Sementara di bawah menara jembatan Ampera, deru mobil dan motor mengeluarkan suara bising, terdengar jelas dari atas menara. Di sungai, ketek dan tongkang berlalu lalang membawa penumpang, hasil bumi, dan bahan bakar minyak oplosan. Menyeberang atau mengantar orang ke pulau Kemaro.
Yah, biar dramatis aku berteriak kencang agar orang berkerumun menyaksikan aksi nekatku. Akan kubiarkan tim penolong memanjat menara dengan susah payah. Setelah mereka dekat, aku akan meloncat ke bawah. Tinggal pilih, ke aspal jembatan yang keras dengan kepala duluan, atau ke sungai yang menawarkan banyak kemungkinan. Ah, lebih baik ke sungai Musi. Aku hanya tinggal menunggu momen yang pas untuk terjun. Ya, penolong sudah dekat. Lalu, tanpa aba-aba, Aku meloncat bebas ke sungai, memilih pas pada sampah potongan-potongan bambu yang hanyut. Kemudian, mulut orang yang berkerumun menganga lebar melihat tubuh ringkihku meghunjam sebilah potongan bambu yang runcing, menusuk dari pantat tembus ke leher. Persis kambing guling. Sebagian orang pasti memalingkan muka, ngeri.
"Haaah, tidak kawan. Aku bukan orang bodoh yang tak punya iman. Sudah kubilang, jangan selalu kau anjurkan aku memanjat menara jembatan Ampera." Aku mengeluh panjang.
"Tolooool..., Dasar pecundang!!!"
"Cukuup.... Jangan kau sebut lagi aku pecundang. Nanti kubunuh kau." amarahku yang sudah mendingin kini kembali membara.
"Hahahahaha.... Pecundang sepertimu mana pernah punya keberanian membunuh."
"Jangan buat aku berbuat kasar. Aku sudah muak padamu."
"Selagi kau tak mau menjadi pemenang dalam kehidupan, sekaliiii saja, Saya akan tetap menyebutmu pecundang... orang kalah... kalah.... kalah," kembali Saya menyindir sambil tertawa parau.
Aku sudah tak tahan, amarahku sudah tak dapat kukendalikan. Aku masuk ke petak kost, mengambil sebilah pisau lalu kembali keluar. Petang mulai meremang. Sepi.
"Huahahahaha.... Pisau dapur tumpul!!! Kau takkan berani membunuhku. Tak berani!!! Pecundang."
"Cukup.... cukup. Aku bukan pecundang. Hah, di mana kau. Hayo jangan bersembunyi. Kau belum tahu betapa tajamnya pisau dapur yang kau anggap tumpul ini." Aku benar benar kalap.
"Hahahahaha... Saya tidak bersembunyi, pecundang. Saya di lehermu. Eiitt..., tidak. Sekarang Saya ada di pergelangan tanganmu...."
Belum selesai Saya berujar, tiba-tiba, "Hhiiiih...."
Bressss.... dengan kekuatan penuh, pisauku mencari Saya. Darah segar pun mengalir dari pergelangan tanganku.
Gelap.***

~~muaraenim,30/12/10~~

Keterangan:
Unggang: kakek
Bak: ayah
Umak: ibu
Munting: bibi, istri dari adik ibu.
Mangsak: paman, adik ibu.

DEMI PURNAMA

Cerpen Pion Ratulolly[1]

Demi purnama. Demi waktu yang sempat tertahan. Kau ada dimana? Sedang aku masih setia menatap purnama kelimabelas di malam ini. Katakan kepadaku, hati siapakah yang tak berdetak kagum melihat dewi malam tengah ramah membagikan senyum pengharapan pada para penghuni alam? Di mata sejuk, di hati lembut dan di bibir decak doa senantiasa bertasbih, katamu dulu. Andai saja jarak bukan menjadi pemisah jumpa, ingin kudaki tangga langit, kudapati dewi malam, lalu bersujud langsung di hadapannya, sembari memanjatkan berjuta pohon pinta.

Syahdan, purnama naik ke tangga lima belas, di sepuluh tahun lalu. Aku bersama dirimu, istriku, sedang senang memandang bulan. Bagi kita, rembulan adalah harapan. Harapan bisa terkabul saat kedua mata kita tak pernah berkedip menyaksikan bintang jatuh di bulan purnama. Di detik itulah, kedua tangan kita tengadahkan ke langit. Sambil merapal sebuah keluhan sederhana; Duhai Sang Rembulan, percayakanlah pada kami satu saja anak Adam-Mu, untuk kami lahirkan dari rahim kasih dan sayang kami berdua. Mantra yang saban purnama kita panjatkan. Diiringi sesegukan tulusmu untuk meminta belas kasih Rembulan. Semoga Ia berkenan menjatuhkan seorang momongan dari langit malam.

“Bang!” Kuhafal benar desahan nafasmu waktu itu. Sementara aroma keringat peluhmu terasa sedikit memabukan keinginanku untuk membelaimu. Memanjakanmu mesra di atas bale-bale sambil membayangkan betapa indahnya bermain-main dengan bocah-bocah kecil keturunan kita.

“Ada apa, Adikku.Lenganku selalu kusediakan untukmu bersandar sebelum dan setelah engkau letih melantunkan doa.”

“Sepertinya aku telah kecewa pada rembulan, Bang. Selama ini, dia telah menutup kedua telinganya untuk mendengar keluh kesah kita.” Matamu nanar menatapku. Semburat senyum sangsi membekas di bibir tipismu. Aku dapat membaca kelebat durja dari sorot mata itu.

“Jangan berkata seperti itu, Sayang. Kesabaran kita sedang diuji.” Aku sedikit kecut membagikanmu sebuah senyuman sederhana. Tak seberat persoalan yang tengah kita hadapi ini.

“Seperti itu katamu dari dulu. Tak pernah berubah sepatah kata pun. Seperti rembulan yang tak pernah kunjung mengabulkan pinta kita.”

“Sayang, semua ikhtiar sudah kita lakukan. Dari tradisional maupun medis. Tetapi rupanya kita masih kurang dipercayai oleh Sang Rembulan untuk merawat anak keturunannya.”

“Harusnya kamu percaya apa kata Ama Meddo. Kita berdua tidak mandul. Kita sedang diteluh. Disihir untuk tidak punya keturunan. Buktinya, Ibu Bidan bilang rahimku sehat. Tetapi aku merasakan rahimku seperti tertusuk-tusuk jarum. Apa lagi kalau bukan teluh? ”

“Jangan berkata seperti itu, Sayang. Bersabarlah. Mungkin tidak hari ini, mungkin esok kita akan diberikan momongan.”

“Ah, selalu saja begitu. Lama-lama aku jadi tak betah. Ceraikan aku sekarang juga!”

Aku tersentak. Sebuah tombak ketakpercayaan yang tajam nian, tiba-tiba menghujam dadaku. Sakit. Pedih. Aku tak menduga jika kau akan berputus harapan seperti saat ini. Betapa sebuah gubuk rumah tangga yang selama ini telah kita bangun di atas fondasi saling pengertian harus diruntuhakan lantaran keputusasaanmu.

Dan dalam sekejap aku jadi meradang. Marah dengan segala ketaknyamananku selama ini. Jangan dikira aku juga bahagia jika tak memiliki keturunan seperti ini.

“Ya, kita cerai! Aku menceraimu dengan talak tiga.” Tanpa rencana, kalimat itu serta-merta meloncat keluar dari mulutku. Bibirku bergetar. Nafasku memburu. Mataku memerah ganas. Panas ragaku. Serasa semua ruh makhluk halus masuk ke dalam tubuhku lalu menjadikanku seolah sebuah monster yang amat mengerikan.

Tetapi tragis, sungguh sebuah drama tragedi sedang dikemas. Engkau malah terjatuh. Kejang-kejang. Tubuhmu bergetar-getar. Kusaksikan engkau sedang berperang melawan sesuatu dalam dirimu. Mulutmu meracau-racau tak jelas. Umpat, caci dan maki keluar berhamburan. Engkau kesurupan.

Aku menjadi hilang amarah sekejap. Besarnya rasa belas kasih di dalam dadaku sekejap waktu langsung mengalahkan amarahku yang sudah memuncak sebelumnya.

“Bangsat! Anjing! Aku tak akan pernah berhenti mengejarmu. Sampai ke liang lahar sekali pun. Hahaha!!!”

Ah, ada apa lagi ini? Mengapa semua harus seperti ini? Mengapa istriku yang hendak kucaraikan harus mencaci-makiku sepedis ini? Tak sekali pun aku diperlakukan serendah ini oleh istriku selama ini.

“Kau tahu, aku siapa?” Kulihat wajahmu memerah sungguh. Sinar matamu ganas menatapku penuh dendam. Sebuah dendam lama yang telah lama kau pendam.

Aku mendekatimu. Berupaya memegang telapak tangan kananmu dan menekannya. Berharap kalau ada makhluk halus yang masuk dapat kudesak keluar.

“Heiii!!!! Sedang apa kau? Kau pura-pura lupa, siapa aku?”

Aku masih berusaha sekuat tenaga menekan telapak tanganmu. Di antara ibu jari dan jari telunjukmu, kutekan lebih kuat.

“Kau masih ingat, Ina Barek, lelaki bejat?”

“Astagga!!!”

Kali ini aku semakin tersentak. Dan tanpa lagi melihatmu, aku lari meninggalkanmu. Menutup kedua telinga atas apa yang baru saja aku dengar. Aku ingin menjauh dari segala kenyataan atas apa yang baru saja terjadi. Aku berlari dengan sekuat sisas tenagaku. Sekencang mungkin. Kalau pun harus terjatuh dan mati, aku tak takut. Saat ini mati adalah pilihan yang mungkin masih lebih baik dari pada harus menghadapimu.

Dan aku harus lari. Aku harus menjauh darimu. Sebab di dirimu saat ini bukan hanya bersemayam dirimu saja, tetapi juga Ina Barek. Gadis di sebelah kampung yang ditemukan tak lagi bernyawa di pinggiran kali kampung. Ia meninggal dengan tragis karena dicekik seseorang. Tapi kasihan, ia tengah hamil. Dan tahukah kamu, istriku, anak yang dikandungnya dan dibawa mati bersamanya, adalah anakku juga. Anak yang kubenihkan di saat malam purnama. Di saat engkau tengah berdoa menanti anak dari rembulan.

*****

Demi purnama. Demi waktu yang sempat tertahan. Kau ada dimana? Sedang aku masih setia menatap purnama kelimabelas di malam ini. Katakan kepadaku, hati siapakah yang tak berdetak kagum melihat dewi malam tengah ramah membagikan senyum pengharapan pada para penghuni alam? Di mata sejuk, di hati lembut dan di bibir decak doa senantiasa bertasbih, katamu dulu. Andai jarak bukan menjadi pemisah jumpa, ingin kudaki tangga langit, kudapati dewi malam, lalu bersujud langsung di hadapannya, sembari memanjatkan berjuta pohon doa. Maafkan aku Ina Barek; perempuan pelampiasan keputusasaanku. Maafkan aku calon anakku. Maafkan aku Ina Somi, Istriku. Maafkan aku yang tak pernah letih memandang purnama.

Kupang, 04/01/2011
Jam: 13:13

[1] Pion Ratulolly, lahir pada 31 Desember 1986 di desa pesisir Lamahala, Nusa Tenggara Timur. Ia adalah peserta Mastera (Majelis Sastra Asia Tenggara) bidang Novel di Kupang. Peserta PEKSIMINAS (Pekan Seni Mahasiswa Nasional) IX di Jambi. Peserta Temu Sastrawan Indonesia III di Tanjung Pinang. Menulis novel “atma” Putih Cinta Lamahala Kupang.