Sabtu, 02 Oktober 2010

PUYANG KEMIRI

PUYANG KEMIRI: PESAN-PESAN, DAN ASAL USUL EMPATLAWANG

Oleh : Vebri Al Lintani
Direktur Lembaga Budaya Komunitas Batanghari 9 (KOBAR 9)

Dalam kisah-kisah Puyang, selain memuat asal usul, juga memuat pesan-pesan dasar yang menjadi aturan adat yang amat dipatuhi oleh masyarakat. Inilah yang disebut dengan pesan puyang. Satu diantara kisah puyang di wilayah Batanghari Sembilan adalah Puyang Kemiri yang diakui sebagai puyang (nenek moyang) orang-orang di dusun (sekarang desa) Kunduran, sebagian dari masyarakat dusun Simpang Perigi, dan sebagian masyarakat yang tersebar di dusun-dusun sekitar kecamatan Ulu Musi, Kabupaten Empat Lawang, daerah perbatasan antara provinsi Sumatera Selatan dan provinsi Bengkulu. Dahulu daerah ini merupakan bagian dari wilayah marga Tedajin. Berikut ini ringkasan cerita Puyang Kemiri.

Konon di masa akhir kejayaan kerajaan Majapahit, Rio Tabuan, seorang biku yang yang berasal dari negeri Biku Sembilan Pulau Jawa menelusuri sungai Rotan atau sungai Musi dengan membawa kerbau dan ayam berugo (ayam hutan). Ketika tiba di Kuto Kegelang, kedua hewan yang dibawanya berbunyi, maka di tempat inilah dia menetap. Kuto Kegelang berada beberapa kilo meter di hulu Dusun Kunduran.

Di Kuto Kegelang, dia mendapatkan tujuh orang anak yang bernama

* (1) Imam Rajo Besak,
* (2) Imam Rajo Kedum,
* (3) Seampai-ampai,
* (4) Maudaro,
* (5) Siap Melayang,
* (6) Robiah Sanggul Begelung
* (7) Serunting Sakti.

Setelah mendapatkan tujuh orang anak, Puyang Rio Tabuan tidak lagi merasa kesepian. Anak-anak ini dimintanya dari Mastarijan Tali Nyawo, seorang penduduk yang tinggal di Surgo Batu Kembang.

Bertahun-tahun kemudian, Robiah Sanggul Gelung yang cantik dilarikan oleh Seniang Nago ketika mandi di tepian Sungai Musi. Robiah duduk di atas sebatang kayu yang rupanya samaran Seniang Nago dan kemudian pelan-pelan bergerak menjauh dan melarikannya ke Selabung.Lalu Robiah disusul oleh Kerbau Putih, (seekor kerbau peliharaan Puyang Kemiri, atau penafsiran lain adalah seorang yang berjuluk Kerbau Putih karena kesaktiannya) untuk mencari Robiah, atas suruhan saudara-saudaranya.

Kerbau putih memulai pencariannya dengan menyelam di sana dan muncul di tepian coko (tepian mandi di seberang dusun Kunduran). Di tempat ini masih dapat dilihat bekas telapak kaki (tinjak) kerbau putih. Lalu dia menyelam lagi, muncul kedua kalinya di dusun Tapa dan kemudian menyelam lagi hingga ketiga kalinya di Selabung.

Pencarian Kerbau Putih ini berhasil menemukan Robiah tetapi tak berhasil membawakanya kembali ke Kuto Kegelang. Robiah sudah menikah dengan Seniang Nago. Lalu Kerbau putih segera pulang ke Kuto Kegelang. Sebagai tanda bukti bahwa dia sudah bertemu dengan Robiah, Kerbau Putih dibekali dengan seikat ilalang, seruas bambu, air garam, sebuah kemang, seekor kemuai (keong putih) serta pesan Puteri Robiah yang ditulisnya di tanduk Kerbau Putih.

Dalam perjalanan pulang, Kerbau Putih dihadang oleh kerbau Tanduk Emas dan kemudian dua kerbau ini berkelahi. Kerbau Putih kelelahan dan mati di dusun Tapa. Perbekalan yang dibawa olehnya berupa ilalang tertumpah dan tumbuh di daerah ini sehingga menjadi hamparan padang ilalang yang saat ini dikenal dengan nama Padang Pancuran Emas. Buah Kemang pun tumbuh dan bambu juga ikut tumbuh di atas tubuh Kerbau Putih. sedangkan Kemuai diantarkan oleh Puyang Dusun Tapa ke Kuto Kegelang dan sekaligus menyampaikan pesan tentang Robiah yang tertoreh di tanduk Kerbau Putih.

Berselang beberapa bulan kemudian, Robiah yang sudah memiliki seorang anak berniat pulang (begulang) ke Kuto Kegelang. Mendengar kabar Robiah akan begulang, semua saudara-saudaranya amat bahagia, dan segera bermusyawarah untuk mengadakan sedekahan (kenduri). Tetapi lain halnya dengan Serunting, di dalam hatinya masih menyimpan rasa sakit karena perlakuan Seniang Nago yang melarikan Robiah. Karena itu, ketika dia disuruh mencari ikan, dengan setengah hati dia pergi, dan baru kembali setelah kenduri usai.

Ketika kembali Serunting hanya membawa seruas bambu, seperti yang di bawanya semula. Tetapi ternyata, seruas bambu itu berisi ikan yang tidak habis-habisnya, semua bakul, keranjang bahkan kolam tidak dapat menampung ikan yang ditumpahkan dari seruas bambu tersebut. Imam Rajo Besak yang sedari mula sudah kesal dengan Serunting bertambah marah. Lalu Imam Rajo Besak melemparkan seruas bambu dengan sangat keras hingga melewati Bukit Lesung dan jatuh di sungai Pelupuh.

Serunting sakti jadi tersinggung dengan sikap kakak tertuanya ini lalu pergi dari rumah. Tinggallah Imam Rajo Besak dan ke empat saudaranya. Mereka hidup tenang dalam beberapa tahun. Lalu mereka diserang oleh segerombolan orang. Rumah mereka dibakar habis. Tetapi kelima puyang ini dengan kesaktiannya, tiba-tiba menghilang (silam) dari pandangan orang-orang.

Dalam sebuah rumah yang mereda dari kobaran api, tampaklah seorang anak yang duduk di tengah puing-puing rumah. Konon, anak itu bukan hangus tetapi malah menggigil karena kedinginan. Anak yang bernama Sesimbangan Dewo ini kemudian dipelihara olehPuyang Talang Pito (daerah Rejang). Sesimbangan Dewo, artinya pengimbang puyang yang silam. Beberapa tahun dia dirawat oleh Puyang Talang Pito. Lalu dia mengembara selama sepuluh tahun ke negeri lain. Kemudian dia pulang ke sekitar dusun Kunduran, menetap di Muara Belimbing. Makamnya pun berada di Muara Belimbing.

Setelah beberapa tahun kemudian, Imam Rajo Besak menjelma kembali. Dia bertemu dengan Rajo Kedum dari Muaro Kalangan, Raden Alit dari Tanjung Raye, dan Puyang dari Muara Danau. Keempat orang ini kemudian dikenal dengan nama empat lawangan (empat pendekar) yang kemudian menjadi cikal bakal kata Empatlawang. Keempat sahabat kemudian menyerang kerajaan Tuban yang dipimpin oleh seorang ratu.

Dalam penyerangan yang dipimpin Imam Rajo besak sebagai panglima mereka mendapatkan kemenangan. Mereka berhasil memasuki istana dan mengambil beberapa benda yang berharga termasuk sebilah keris pusaka Ratu Tuban yang diambil sendiri oleh Rio Tabuan dengan ujung kujur (tombak) pusakanya, karena ketiga temannya tidak mampu. Kedua pusaka ini, hingga saat ini masih tersimpan di jurai tuo (keturunan yang memiliki garis lurus dengan puyang Imam Rajo Besak) yang tinggal di dusun Kunduran.

Puyang Kemiri memberikan sumpah kepada keturunannya yang jika tidak dipatuhi akan mendapat keparat (kualat). Inilah 3 sumpah Puyang Kemiri :

(1) beduo ati dalam dusun nedo selamat (berdua hati di dalam dusun tidak selamat),(2) masukkan risau dalam dusun nedo selamat (memasukkan pencuri di dalam dusun tidak selamat),(3) iri dengki di dalam dusun nedo selamat (iri dengki di dalam dusun tidak selamat).

Selain itu, puyang Kemiri pun memesankan tujuh larangan lagi, yakni:

* 1. nyapakan kaparan ke ayik (membuang sampah ke sungai),
* 2. mandi pakai baju dan celano (mandi memakai baju dan celana; biasanya orang di dusun kalau mandi memakai telasan (kain penutup tubuh yang dipakai khusus untuk mandi),
* 3. buang air besar/kecil di atas pohon,
* 4. ngambik puntung tegantung (mengambil kayu bakar yang tergantung di pohon),
* 5. ngambik putung anyot (mengambil kayu bakar yang hanyut di sungai,
* 6. mekik-mekik di ayik dan di hutan (berteriak di hutan atau di sungai),
* 7. nganyotkan kukak gebung (menghanyutkan kulit rebung di sungai).

Analisis pesanJika mencermati ketiga sumpah puyang, pertama, agar seseorang tidak boleh bersikap mendua hati, artinya seseorang harus setia pada kesepakatan awal. Tidak boleh memasukkan pencuri atau berkhianat, apalagi menjadi pencuri betulan. Artinya kejujuran merupakan hal yang paling utama dalam meningkatkan kepribadian seorang manusia. Selanjutnya, anak cucu Puyang Kemiri harus bersih hati dari iri dan dengki. Ketiga, norma dasar ini merupakan sikap dasar yang harus dimiliki oleh orang yang baik.Pada bagian kedua, poin satu, dan poin lima, umpamanya, pesan ini berspektif lingkungan. Bagaimana puyang-puyang dahulu telah memikirkan cara menjaga sungai dan melindungi hutan. Sungai dan hutan yang di dalamnya bergantung kehidupan tumbuh-tumbuhan dan hewan lainnya, merupakan satu mata rantai yang saling membutuhkan. Karenanya, mata rantai ini harus dijaga dalam garis keseimbangan. Simaklah larangan puyang yang tidak boleh membuang sampah di sungai, artinya jika membuang sampah tentu akan membuat sungai tercemar.Poin lima, pesan puyang melarang orang mengambil kayu bakar yang hanyut di sungai. Jika direnungi lebih lanjut, larangan ini tidak hanya melarang orang mengambil kayu bakar tetapi sebenarnya juga tidak boleh menebang pohon di tepi sungai. Karena biasanya pohon yang hanyut di sungai adalah pohon yang diambil di tepi sungai, atau yang dihanyutkan melalui sungai. Saat ini, kita lihat betapa banyak orang-orang mengangkut gelondongan kayu yang tidak sah (illegal logging) di sungai. Jadi, tidak hanya kayu bakar tetapi kayu-kayu besar sudah dijarah oleh orang-orang yang serakah. Akibatnya bencana banjir menjadi langganan tahunan bagi masyarakat daerah ini.Poin tujuh, puyang melarang seseorang menghanyutkan kulit rebung yang bermiang (bulu-bulu halus yang menempel di kulit rebung dan akan menyebabkan gatal-gatal jika terkena kulit manusia) di sungai. Maksudnya, kulit rebung yang mengandung miang jika dihanyutkan akan membuat miangnya hanyut dan jika ada orang yang mandi maka dia akan terkena miang yang dapat menyebabkan tubuhnya menjadi gatal. Selanjutnya, pada poin tiga, melarang orang membuang kotorannya di atas kayu. Takutnya jika ada orang lewat di bawahnya tentu akan membuat celaka juga. Jika dipahami lebih luas, poin tujuh adalah larangan puyang agar tidak berbuat yang dapat mengakibatkan orang lain celaka.Poin dua, dan poin empat merupakan kiasan perbuatan yang dapat mencelakakan diri sendiri. Cobalah pikirkan, jika seseorang mandi pakai baju dan celana, tentu mandinya tidak dapat terlalu bersih dan jika tiba-tiba hanyut, tentu celana dan baju akan menjadi berat jika dibawa berenang. Begitu juga dengan mengambil kayu bakar yang tergantung, salah-salah akan menimpa dirinya.Poin enam dilarang berteriak di sungai dan di hutan. Umumnya masyarakat di uluan Sumatra Selatan melarang berteriak di sungai dan di dalam hutan. Sebab, berteriak di dalam hutan akan mengganggu ketenangan hewan-hewan, dan bahkan bisa mengejutkan binatang buas. Jika binatang buas terkejut tentu saja akan mendatangkan celaka bagi diri sendiri.Larangan-larangan puyang di atas sebagian besar bersumber dari cerita Puyang Kemiri itu sendiri, misalnya, tentang larangan mengambil kayu bakar yang hanyut, ini ada kaitannya dengan Puyang Seniang Nago yang menyamar menjadi sebatang kayu yang rebah di tepian. Begitu juga dengan sikap hati mendua, dan iri hati di dalam dusun. Hal ini ada kaitannya dengan cerita Puyang Serunting Sakti yang tidak ikhlas menjalankan tugas yang sudah disepakati dan diperintahkan oleh Imam Rajo Besak.Pesan-pesan kearifan lokal seperti ini, jika dilihat secara substansi merupakan nilai-nilai yang universal dan bersumber dari adat. Tetapi seringkali, nilai-nilai yang berlaku secara adat, saat ini dianggap tidak masuk akal dan berbau kemenyan. Padahal, kearifan lokal seperti ini oleh masyarakat adat sangat dipatuhi. Karena mereka sangat yakin, apabila tidak dipatuhi akan mendatangkan balak (mala petaka). Dimana-mana seolah-olah mata puyang selalu mengawasi mereka. Hal ini sangat masuk akal. Saya kira, siapa pun yang melanggar ketentuan Puyang Kemiri akan tidak selamat dan tidak sempurna hidupnya. Bagaimana hidupnya mau selamat jika mendua hati (berhianat), pencuri, dan tidak jujur.Dari sisi budaya, legenda Puyang Kemiri merupakan modal sosial budaya yang perlu dijaga. Sejatinyalah, legenda Puyang Kemiri merupakan sumber hukum adat yang memiliki nilai-nilai universal, menjunjung persatuan, menjunjung rasa hormat terhadap diri sendiri, rasa hormat terhadap orang lain dan terhadap lingkungan alam lainnya.Selanjutnya tugas para agamawan dan budayawan menyambungkan substansi nilai-nilai tersebut dengan ajaran-ajaran agama Islam yang juga memiliki nilai-nilai yang sama, dan lalu menyambungkannya dengan nilai-nilai yang berkembang dalam era saat ini. Sehingga nilai adat dapat bersinergi dengan nilai agama dan nilai kebudayaan yang telah mengamali kegayauan (kegamangan).

PUISI MODERN DAERAH SEBAGAI CORONG

PUISI MODERN DAERAH SEBAGAI CORONG
Oleh Jajang R Kawentar

Puisi Modern berbahasa daerah sugguh sulit ditemukan di Kabupaten Lahat, mungkin juga di Sumatera Selatan. Sastra daerah merupakan manifestasi dari khasanah seni budaya dan ilmu pengetahuan yang berkembang di daerah tersebut. Sebagai pergulatan pengetahuan dan lingkungannya. Sastra dalam hal ini puisi bisa menjadi corong dalam menyuarakan berbagai macam permasalahan social dan kekayaan seni budaya serta alamnya.

Karya sastra daerah merupakan bentuk pengabdian sastrawan yang cukup signifikan terhadap daerahnya ditinjau dari kebahasaan. Tersebab karya sastra dalam hal ini puisi tercipta sebagai karya yang adiluhung cermin kecintaan seorang penyair terhadap negrinya sendiri, terhadap seni budaya dan lingkungannya. Penyair berfungsi sebagai pemerilahara dan penjaga dari bahasa daerah itu sendiri disamping para pemakainya, yang pada saat ini pengguna dari bahasa daerah itu sudah sangat sempit. Karena hanya pada kesempatan tertentu saja, seperti dalam keluarga. Tidak sedikit orang yang meninggalkan bahasa daerahnya dalam percakapan sehari-hari. Alasannya karena pergaulan yang sudah semakin tinggi atau karena terbawa budaya metropolis. Terkadang malu memperkenalkan bahasa daerahnya, bagian dari kekayaan negrinya.

Teknik penulisan bahasa daerah tentu berbeda dengan penulisan bahasa Indonesia meskipun memiliki kesamaan. Hal ini menampakkan keunikan dan kekhasan dari bahasa daerah itu sendiri. Tetapi penulis tidak membahas hal tersebut. Hanya ingin memperkenalkan puisi berbahasa daerah yang dikembangkan di Komunitas Sastra Lembah Serelo Lahat seperti karya Yudistio Ismanto yang sudah setahun ini bergiat di komunitas tersebut.

Yudistio Ismanto (30) bekerja dipercetakan milik sendiri, direktur CV Sobatindo Kreasi, sejak SMA senang dengan sastra dan sudah setahun sejak berdirinya Komunitas Sastra Lembah Serelo Lahat. Dirinya mulai aktif menulis puisi. Selain menulis puisi berbahasa Indonesia, dia juga menulis puisi berbahasa Lahat.

Mati Bujang

janji sengkuit ditagih ladang
kebile nian kabah kan nyiang
kate betaruh njadikah utang
dek tebayar jangan melanang

tinggalah rumput matilah bujang
rimbe ngehiput mulut betantang
badan tepuput tesandar miang
nyali ciut matilah bujang

Puisi ini menunjukkan karakter laki-laki Lahat, yang harus siap menghadapi tantangan zaman. Tentang penagihan janji seorang laki-laki yang menatap keras kehidupan saat ini. Kalau kita takut terhadap kehidupan saat ini dan tidak mau bekerja dengan keras lebih baik mati dari sekarang. Mati Bujang menjadi kalimat sindiran bagi pemuda yang takut akan kerasnya kehidupan, sehingga tidak mau berusaha, bekerja keras, tidak bisa memenuhi kebutuhan hidupnya.

Yudistio Ismanto juga berbicara mengenai lingkungan, mengenai sungai Lematang yang saat ini semakin memprihatinkan. Yudi seolah membongkar sugai Lematang yang dulu menjadi sumber kehidupan selain sebagai tempat mencari ikan, tempat bahan baku bangunan seperti batu, pasir, sebagai tempat lalu lintas pengguna sampan menuju kebun atau ke pasar, sebagai tempat mandi, mencuci, dan buang air besar. Yudi membandingkannya dengan keadaan Lematang saat ini yang kotor oleh sampah, keruh karena ada alat berat pengeruk batu dan pasir di mana-mana. Sehingga mengakibatkan berbagai jenis ikan musnah, pulau-pulau hilang dan dasar sungai semakin dangkal, sementara sungai semakin melebar. Cucung Puyang Lematang mempertanyakan mempertanyakan sungai yang dulu indah dan menjadi sumber kehidupan kini seperti sebuah kenangan.

Cucung Puyang Lematang

Tuape agi diahap sandi ayek lematang
mak ini ahi gi tekinak escavator betangan panjang
Sandi hulu sampai ke hilir
ngeruki batu ngudaki pasir
Ancurlah lubuk ninggal kenangan

Dimane agi kah nyakau gulai
Ame ikan pegi dek tekeruan
Ame ketam lah pule kelam ngihingi malam
Ame udang lah midang ke neghi sebehang

Tangan mengayun Beduyun-duyun
untalkan umpan tajur ahapan
Tinggallah kance tinggallah kundang
Badan duduk di batu bujang
Singkap kuduk tembang mengingat puyang

Tung keruntung Batang pisang
Akulah cucung Puyang lematang

Daun nipah dihume padang
Mintak semah kah ndek mindang

Nak betanak Ikuk padi
Digek ye besak ye kecik jadi

lenget pagi behanjak siang
dek lame agi ahi kan petang
mancing semah uleh seluang
perahu karam di ayek lematang

Tentunya semua ini mempertanyakan kepada kita dan masyarakat Lahat sendiri, mungkin kepada pemerintah yang mengatur dan masyarakat adatnya. Kekhawatiran sebagai warga yang menyayangkan kepada semua pihak karena tidak serta merta menjaga lingkungannya. Kita sadar apabila lingkungan tidak lagi ramah akibat kerakusan atau keteledoran masyarakatnya, maka kita semua sedang menunggu bencana.

Selain itu Yudistio Ismanto mempertanyakan banyaknya masyarakat miskin yang justru di sekitar penambangan sumber daya alam di sekitar Bukit Tunjuk (Bukit Serelo). Banyak orang luar mengeruk hasil tambang tetapi masyarakat disekitarnya hanya terus berharap dan berharap: Kebile nian hati kan ribang/ Ngayapi jalan tinggal sebatang/ Hutan kelimis lematang kehu/ Padi mengemis lesung membisu

Tembang Anak Umang

Sandi lematang bukit tunjuk bedihi nantang
hatap sawah membentang tambang
Di mane hume
Ke mane ladang
Dirut betanye
Siape betandang

Anak umang nangisi bapang
Umak dek bediye tinggalah suhang
lontar damar ncakauhi akar
Hidup nyemun dalam belukar

Kebile nian hati kan ribang
Ngayapi jalan tinggal sebatang
Hutan kelimis lematang kehu
Padi mengemis lesung membisu


Penulis: Pembina Komunitas Sastra Lembah Selelo Lahat dan Guru SMA Negeri 1 Merapi Selatan Kab. Lahat.

Jumat, 01 Oktober 2010

Syamsu Indra Usman dalam Konstelasi Budaya Empat Lawang

Syamsu Indra Usman dalam Konstelasi Budaya Empat Lawang
Oleh : Jajang R Kawentar

KabarIndonesia - Ketika orang ramai-ramai meninggalkan kebudayaan daerahnya dan mengagung-agungkan kebudayaan baru yang hampir tidak memiliki kepribadian itu, yang sesunguhnya kebudayaan produk kapitalisme atau seringkali kita menyebutnya budaya global. Kebudayaan global atau budaya baru keluar dari system budaya yang berkepribadian nusantara, karena mengumbar berbagai gaya hidup dan produk yang ditawarkan melalui barang-barang, mulai dari barang kelontong, kosmetik, hingga kebutuhan hidup sebagai produk hiburan.

Dalam konteks tersebut ternyata masih saja ada yang malah kembali ke keagungan daerahnya, bercengkrama dengan bahasa Ibunya, bergumul dengan tradisi yang luhur itu dan hal ini saya sebut sebuah kebudayan yang memiliki kepribadian. Bangsa kita termasuk di Sumatera Selatan ini, sudah merasa malu kalau mengetengahkan kesenian daerahnya, menggunakan bahasa daerahnya, terutama para generasi penerusnya. Hampir tidak ada lagi yang menyukai kesenian daerahnya, bahasa daerahnya, apalagi mempelajarinya. Sungguh keprihatinan yang mendalam kalau leluhur itu tahu. Kebanggaan anak negeri terhadap tanah kelahiran dan tradisi tanah leluhur serta karya seni anak bangsanya, luntur sudah.

Kepedulian Sang Penyair
Keprihatinan itu ditangkap Syamsu Indra Usman sang Penyair Gunung, rajo teleguh yang tidak pernah lelah terus mengusung kebudayaan daerah Empat Lawang sebagai kabupaten baru di Sumatera Selatan yang menurutnya sangat berbeda dengan yang lain. Perbedaannya dikatakan dengan lantang, yang menggambarkan karakter Lintang daerahnya. Dia menjadi rujukan utama dalam kebudayaan daerahnya, ia terus berusaha menjaga dan ikut mengembangkannya.

Dalam beberapa pertemuan dan berbagai kegiatan serta membaca beberapa karyanya mengenai budaya Empat Lawang, Indra Usman seakan hendak membicarakan budaya daerah Empat Lawang di tingkat global melalui puisi, cerita pendek dan novel. Bahkan resep masakan tradisional Empat Lawang, kamus bahasa Lintang dan adapt istiadat Empat Lawang. Apakah karya sastra berbahasa daerah Empat Lawang itu merupakan bentuk perlawanan terhadap budaya global? Apakah sebagai bentuk penyadaran bagi masyarakat Empat Lawang? Seakan ia ingin mengatakan bahwa kenalilah budaya sendiri, jangan merasa malu dengan bahasa dan budaya yang kita miliki. Seolah-olah ia juga mengajak marilah kita mencintai seni tradisi dan budaya sendiri, gunakanlah bahasa daerah sebagai ciri kepribadian bangsa melalui karya sastra serta nafas kehidupan hari-hari dalam pergaulan.

Masyarakat Menyepelekan Tradisi
Kita memang sudah hampir kehilangan akar budaya sendiri, dan kita seperti masuk dunia baru, seperti budaya baru atau budaya global yang dikumandangkan lewat berbagai kesempatan dan hampir setiap menit serta detik dinikmati oleh para generasi penerus melalui berbagai media yang semakin canggih.
Kita di sini di Sumatera Selatan terkadang bingung yang mana sesungguhnya kebudayaan milik kita. Seringkali tidak terima dengan kebudayaan yang ada dan telah mengakar. Seringkali tidak percaya diri dengan yang ada, apalagi budaya yang berkembang sesuatu yang buruk, selalu diusut-usut budaya datangan. Dengan alasan bahwa dari dulu Sumatera Selatan merupakan daerah transit berbagai suku bangsa. Bahkan ketika berkembang berbagai macam kekerasan, ada pula alasannya karena Sumatera Selatan merupakan daerah maritim sejak jaman Kerajaan Sriwijaya.

Munculnya berbagai betuk kekerasan sejalan dengan tenggelamnya budaya luhur yang menjadi akar rujukan dalam tingkah laku masyarakat, sebuah tradisi yang mengajarkan moral dan bermasyarakat. Hukum-hukum yang berakar dari tradisi dipangkas walau sedikit-sedikit, ataupun lenyap ditelan jaman, karena system pendidikan tidak mengajarkannya sebagai suatu alat yang dapat dijadikan benteng atau filter atas serangan budaya baru. Pada akhirnya masyarakat kian menyepelekan tradisi puyang, dan semakin lama ditinggalkan bahkan dilupakan. Di sisi lain ada orang-orang luar yang mencoba mencatat sejarah yang mereka anggap bangsa kita memiliki peradaban tinggi pada saat itu.

Namun kita telah menginjak-nginjaknya sendiri.
Simpul-simpul budaya seperti kesenian sudah memudar, sanggar-sanggar kesenian hampir sulit didapatkan, para pekerja seni kehilangan pekerjaannya, Dewan Kesenian tinggal nama dan gedungnya saja. Sementara pendidikan seni budaya di sekolah-sekolah menjadi mata pelajaran anak tiri. Guru-gurunya banyak bukan ahli di bidangnya. Di lain hal sekolah menengah seni dikebiri atau perguruan tinggi seni karbitan. Budaya belajar dari titik nol tidak lagi menjadi model, budaya belajar jalan pintas menjadi popular.

Masalah ini bukan hal yang kecil tetapi nasional, namun orang-orang memandangnya permasalahan ini gampang. Padahal permasalahan kebudayaan merupakan masalah fundamental bagi sebuah bangsa. Karena kebudayaan menyangkut masalah kepribadian bangsa atau karakter bangsa. Apabila kita sudah kehilangan kepribadian maka bangsa kita akan mudah diombang-ambing oleh dorongan dari luar dan akan mudah dipecah belah oleh bangsa lain.

Lahirlah Karya Seni
Syamsu Indra Usman terus melahirkan karya-karya dengan tanpa pamrih, terutama mendokumentasikan sejarah leluhurnya dan berbagai karya seni lain. Berbagai karya sastra mengalir dari pemikiran yang memiliki udara, air dan makanan yang masih segar.

Ingat perjuangan belum selesai, generasi penerus terus lahir dan perlu berbagai bimbingan serta arahan orang tua yang memiliki wawasan seni budaya daerahnya, sehingga generasi yang dilahirkan dapat membentengi diri dari budaya luar yang membuat rusak anak bangsa.

Diharapkan setelah terbentuknya pemerintahan baru yang menjadikannya Kabupaten Empat Lawang, sebagaimana yang dicita-citakan Syamsu Indra Usman, sebagai penggagas utama pembentukan Kabupaten tersebut. Dengan demikian akan lebih mudah memformasikan bentuk kebudayaan Empat Lawang, yang berkarakter keras serta temparamental. Apabila diekspresikan ke dalam bentuk karya seni jelas akan sangat mencolok.
Sebagai upayanya dalam dalam mengakomodir kesenian tradisional Empat Lawang dan bahasa daerahnya akan diusulkan dalam bentuk mata pelajaran di sekolah sebagai muatan lokal. Dengan demikian diharapkan akan lahir karya seni yang bernuansa tradisi Empat Lawang terus mengalir.

Penulis Pekerja Seni dan Guru SMA N 1 Merapai Selatan Kabupaten Lahat.

PUNK

JAKARTA, KOMPAS.com — Menyebut kata punk, banyak orang dengan cepat bisa mengasosiasikan dengan sekelompok pemuda dengan gaya amburadul, musik keras dengan ritme menghentak, dan sering kali dianggap anarki di jalanan Ibu Kota. Apakah hal ini benar adanya?

Punk dan ideologi kebebasan punk sebenarnya bermula sebagai subbudaya yang lahir di London, Inggris, pada tahun 1980. Pada awalnya, kelompok punk merupakan anak-anak muda kelas pekerja dengan semangat we can do it ourselves yang merasa prihatin dengan kondisi sosial, ekonomi, dan politik yang tidak menentu ketika itu.

Sikap tersebut kemudian diwujudkan dengan ciri khas berdandan dan musik punk yang kadang kasar dan dengan beat cepat serta mengentak. Dandanan mereka mudah dikenali, yakni dengan rambut mohawk, tindik (piercing), tato, gelang spike, dan rantai yang menghiasi sekujur tubuhnya.

"Tapi, jika dilihat dari akarnya, punk memang bukan aliran musik atau sekadar style berpakaian, melainkan sebagai konsep pemikiran atau ideologi dalam menjalani kehidupan," kata Geboy (29), anggota komunitas punk Miracles yang berbasis di Cipulir, Jakarta, Selasa (28/9/2010).

Dia mengatakan, punk itu bentuk perlawanan dari budaya yang ada. Semangat kebebasan juga ada di sini. Namun, kebebasan dalam arti pemikiran, kami bebas mengatur diri kami sendiri tanpa ada campur tangan dari orang lain atau pihak lain.

Menurut Geboy, soal pakaian dan aliran musik itu memang menjadi bagian yang tak terpisahkan dari punk karena merupakan identitas punk itu sendiri.

"Bedanya dengan rasta atau grindcore itu hanya tampilan. Intinya, kami sama-sama menganut paham kebebasan yang sama," ujar lulusan S-1 Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Moestopo (Beragama) tahun 2006 ini.

Punk, menurut Dona (25), anggota komunitas Melody Street Punk, memang bebas, tetapi bebas yang menghormati. "Batasnya kami sama-sama tahulah. Kami memang bebas, tapi tetap hormatin orang lain. Ada toleransinya juga, enggak yang bebas seenaknya aja. Ini yang orang-orang salah tangkap," ujarnya.

Dona mengaku tidak suka dengan kehadiran anak-anak punk yang suka menggunakan kekerasan, seperti memalak atau mencopet.

"Adanya mereka itu yang enggak tahu punk, tetapi bergaya punk tahunya copet yang malah bikin rusak nama punk sendiri," ujarnya kepada Kompas.com.

Menurut Dona, sikap oknum-oknum tersebut menuntut kebebasan dengan merugikan orang lain, padahal ada aturan tidak tertulis bahwa tidak bisa sembarangan mengejek ataupun melakukan tindakan kriminal lain. Keberadaan oknum ini, menurut Dona, hanya ikut-ikutan saja dalam hal berpakaian, tetapi bukan dari pemikiran.

"Punk ikut-ikutan itu biasanya yang paling jelas banget mereka enggak mau tidur di jalan, masih ngikut orangtua. Padahal, aslinya punk itu tidur di jalan. Di sini (jalanan) kami belajar hidup sendiri," ungkap perempuan asal Manado ini.

Baik Geboy dan Ade sama-sama memaknai punk sebagai cara pandang dalam menjalani hidup yang penuh dengan kebebasan, kritis terhadap kondisi dengan penyampaian yang lebih berseni, dan suatu cara bertahan hidup mandiri tanpa bantuan mana pun. Punk bukan berarti style, dia adalah pemikiran. Tidak dilihat dari luar, tapi dari dalam diri seseorang.

"Kami melihat seseorang yang hanya menggunakan baju koko dan sarung, tapi menunjukkan perlawanan yang konkret serta pemahaman tentang punk lebih luas bisa dibilang juga seorang punk. Jadi, menurut gue, seimbang dari tampilan dan pemikiran," ujar Geboy. diambil dari kompas.com

Semangat Kebebasan dan Perlawanan

JAKARTA, KOMPAS.com — Semangat kebebasan dan perlawanan pada budaya mainstream atau arus utama menjadikan budaya punk memiliki pemikirannya sendiri dalam menjalani hidup. Tidak jarang, anak punk terkesan eksklusif bahkan dianggap antimedia mainstream. Benarkah demikian?

"Masyarakat selalu melihat punk dari segi negatifnya saja. Dan kenapa punk tidak mau bekerja sama dengan media-media mainstream? Karena media mainstream hanya menunjukkan hal-hal negatif saja ke masyarakat, sedangkan hal yang positifnya tidak pernah dibicarain," ujar Geboy (29), salah satu pecinta punk, Selasa (28/9/2010) di Jakarta.

Dia menilai, masyarakat umum menilai suatu hal terlalu sempit karena hanya melihatnya dari tampilan luar. "Coba untuk lebih terbuka dengan kebudayaan yang mulai berkembang karena setiap kebudayaan yang ada pasti ada hal positifnya," ungkap pria yang sudah menggandrungi punk semenjak SMP ini.

Punk merupakan sub-budaya yang lahir di London, Inggris, pada tahun 1980-an. Pada awalnya, kelompok punk merupakan anak-anak muda kelas pekerja dengan semangat we can do it ourselves. Ini merupakan pergerakan perlawanan terhadap kondisi sosial, ekonomi, dan politik yang tidak menentu.

Sikap itu pun kemudian diwujudkan melalui ciri khas musik punk yang kadang kasar dan dengan beat cepat serta menghentak. Lirik-lirik yang mereka nyanyikan juga sering kali merupakan bentuk sindiran kepada pemerintahan atau kondisi yang ada.

Dengan semangat do it ourselves tersebut, banyak komunitas punk menghasilkan band punk, tetapi tidak masuk ke industri. Mereka lebih memilih mengambil jalur distribusi independen (indie) yang tidak terikat pihak mana pun.

"Karena semangat do it yourself (DIY) itu, kami memang ngerasa bisa lebih puas kalau misalnya bisa sukses tanpa ada bantuan siapa pun, termasuk media mainstream. Makanya, kalau kami bikin acara, kami enggak mau disorot, cukup yang suka saja yang datang," ujar Ade (18), salah satu anggota komunitas Melody Street Punk di kawasan Blok M, Jakarta.
diambil dari kompas.com

we can do it ourselves

JAKARTA, KOMPAS.com — Punk merupakan pergerakan anak-anak muda kelas pekerja di London, Inggris, tahun 1980-an. Mereka menuntut ketidakadilan yang terjadi pada bidang sosial, ekonomi, dan politik yang terjadi saat itu.

Dengan mengusung semangat we can do it ourselves, para anak punk ini memilih hidup mandiri, bahkan tak jarang yang akhirnya memutuskan keluar rumah dan hidup di jalan.

Lalu, bagaimana cara mereka bertahan hidup? Survival ala anak punk, komitmen hidup mandiri tanpa bantuan siapa pun, termasuk orangtua, membuat anak-anak punk ini harus memutar otak mencari pendapatan bagi dirinya sendiri. Meski sering kali hidup di jalanan, mereka pantang melakukan tindak kriminal, seperti mencuri atau malak.

"Ha-ha-ha-ha-ha... banyak hal yang bisa dilakukan, Mbak. Yang penting kami enggak nyolong duit negara," canda Geboy (29), pencinta punk yang juga anggota band reggae Djenks' ini.

Menurut pria yang berpendapat punk bukan sekadar musik ini, setiap anak punk punya cara masing-masing untuk bertahan.

"Sebagian memang ada yang hidup di jalan, tapi sebagian punk ada yang punya usaha lain, seperti workshop sablon, distro, dan band," ujarnya, Selasa (28/9/2010) di Jakarta.

Pernyataan itu juga senada dengan apa yang diutarakan Dona (25). "Enggak. Kami enggak mau nyopet atau kriminal lain karena itu sama aja bikin nama punk makin jelek lagi. Kami cari duit sendiri," ujar perempuan yang hidup di rumah kontrakan bersama tiga temannya sesama anggota komunitas punk Melody Street Punk ini.

Dona mengatakan, cara anak-anak punk di komunitasnya untuk mencari uang adalah dengan menjadi tukang parkir, manggung, ataupun membantu proyek film titipan orang.

"Biasanya duitnya jarang buat sendiri, paling buat rame-rame, biar nanti kalau kumpul, buat uang rokok atau minum, atau ntar kalau ada yang sakit," ungkapnya.

Slogan do it yourself itu, yang kemudian mendarah daging di tiap anak punk, berpengaruh pada cara menyambung hidupnya yang tidak mau terikat, seperti masuk menjadi karyawan.

"Iya, makanya banyak yang bikin usaha sendiri, paling sablon kaos, distro gitu, atau jasa tato," ujar Dona kepada Kompas.com.

Komunitas sebagai rumah

Dona mengatakan, awal masuknya dia ke dalam komunitas punk karena dirinya tengah kabur dari rumah saat kedua orangtuanya berlaku keras bahkan hingga pemukulan.

"Ya, awalnya saya memang kabur dan ketemu temen-temen di sini, dan banyak yang broken home juga, jadi saya ngerasa cocok," ujarnya.

Dona masuk pada tahun 2005. Sebagai satu-satunya anggota aktif di komunitas yang sudah ada dari tahun 1996 ini, Dona merasa menemukan keluarga, termasuk orangtua yang sudah meninggal dunia.

"Di sini justru karena cewek satu-satunya, saya berasa dilindungin. Di sini udah kayak keluarga lah, ikatannya kuat," ungkap Dona.

Geboy yang berasal dari komunitas punk Miracles juga mengaku, kekeluargaan di dalam komunitas sangat erat dan lebih nyaman bertukar informasi tentang dunia punk.

Terkait pola perekrutan untuk masuk ke dalam komunitas, baik Dona maupun Geboy, meyakinkan bahwa tidak ada aturan atau prasyarat apa pun untuk masuk ke dalam komunitasnya, ospek pun juga tidak ada.

"Dulu sempat ada ospek, tapi anak-anak justru protes pada enggak setuju cara itu, jadi sekarang enggak ada. Kalau mau masuk, ya tinggal datang, kami sih terbuka aja," ujarnya.

Persyaratan, lanjut Dona, justru akan bertabrakan dengan semangat kebebasan yang ada di dalam punk. "Mereka ke sini cari kebebasan, tapi pas masuk ke dalam malah diatur-atur, kan aneh," ucap Dona.

Memang, selama didirikan, kata Dona, anggota di komunitas Melody Street Punk memang silih berganti, keluar dan masuk.

"Jenuh itu pasti ada, jadi banyak di antara mereka yang akhirnya enggak sanggup dan milih kerja kantoran," ucap Dona.

Sementara Geboy, yang sudah menerjuni dunia punk dari bangku SMP ini, mengatakan, orang keluar masuk komunitas punk itu hal yang wajar.

"Ada pula yang menganggap ini (punk) hanya sebuah kenakalan remaja aja. Rasa jenuh pasti ada, tapi karena gue sudah jatuh cinta denga pemikiran ini gue enggak bisa lari walaupun jenuh sekalipun. Punk buat gue ada di hati," ujar Geboy. diambil dari kompas.com