Jumat, 09 Oktober 2009

ASPIRASI PENGARANG

ASPIRASI PENGARANG

Jajang R Kawentar

Pengarang memiliki aspirasi dalam karangannya. Aspirasi dalam karangan bisa jadi merupakan cermin dari otoritas pengarangnya. Dalam karangan tidak hanya terjadi pengembangan dari berbagai pengendapan pengalaman tetapi muncul juga gagasan-gagasan cemerlang yang orang lain belum tentu memikirkannya. Pengarang menjadi dandang atau wadah dari pada aspirasi, dan karangan merupakan proses setengah jadi dari aspirasi yang sedang menjadikannya kepada realitas sesungguhnya, tentunya yang diinginkan oleh aspirasi sipengarang tersebut, atau aspirasi masyarakat pembaca, yang akan menjadikannya kepada realitas itu sendiri. Sebaliknya, realitas juga sebagai bentuk aspirasi pengarang dalam karangan. Pengarang mengarang sesuai dengan realitas yang ada; kehidupan nyata yang dijalani. Tetapi realitas itu juga bisa berbentuk, gagasan, ide, pemikiran, keinginan, dan ilusi. Dalam karangan, realitas gagasan, ide, pemikiran, keinginan, dan ilusi, itu menjadi nyata sebagai aspirasi pengarang. Aspirasi pengarang berbicara hal-hal yang ideal, dan absolut. Hal-hal tersebut berbicara kekinian dan kekunoan. Aspirasi dikembangkan dan di sempitkan, antara yang di dekontruksi, reformasi, renofasi, rehabilitasi, dan stylisasi. Memunculkan berbgai bentuk aspirasi.

Aspirasi boleh jadi ditentukan oleh kedewasaan emosional, mental, berfikir, dan pengetahuan (intelektual) si pengarang. Bukan berarti orang yang telah tua itu, mempunyai pemikiran, mental, emosional dan intelektual yang dewasa, dan aspirasinya menjadi panutan atau biang. Akan tetapi tergantung dari proses pengarang memperlakukan aspirasi. Apakah aspirasi sebagai tuhan, sebagai jalan, sebagai pasangan hidup, sebagai alas kaki, sebagai alat vital, atau sebagai buang berak.

Hal lain yang ikut menentukan aspirasi pengarang yaitu keyakinan, idiologi, serta lingkungan pengarang berada. Aspirasi berpengaruh secara sadar atau di bawah sadar kepada karangan, sehingga karangan akan melahirkan aspirasi selanjutnya, baik itu dari dan oleh pengarang atau dari dan oleh masyarakat pembaca. Mungkin saja adanya perlawanan kaum buruh itu karena kaum buruh membaca aspirasi karangan Wiji Thukul, atau karya saya, umpamanya. Begitupun dengan kaum perempuan yang berbondong-bondong mendatangi gedung MPR, karena persoalan membaca aspirasi pengarang yang mewajibkan kepada seluruh kaum adam untuk menikah dua kali, dan apabila tidak akan dihukum gantung.

Apakah aspirasi yang melekat dalam karangan si pengarang itu memiliki daya kejut, daya bangun, bagi aspirasi berikutnya? Atau hanya menjadi mainan tikus dan lelaki hidung belang. Persoalannya aspirasi berada di awang-awang serta di atas cita-cita pengarang, sehingga untuk meraihnya perlu sebuah usaha ekstra.

Ada aspirasi pengarang yang hanya pengulangan dari aspirasi sebelumnya, ada aspirasi yang segar, dan sesungguhnya merupakan perkembangan dari aspirasi pengarang sebelumnya. Untuk memiliki aspirasi yang mampu melahirkan aspirasi selanjutnya dan seterusnya, pengarang harus memiliki kemauan serta kemampuan terus melakukan pencarian dan pencarian yang tiada henti.

Tidak ada istilah berhenti untuk terus belajar lintas pengetahuan, lintas seni budaya, lintas keyakinan, lintas pengalaman; pengalaman lahir batin, dan spiritual. Dengan belajar lintas-lintasan tadi, pengarang akan menimalisir terjadinya kemandekkan dalam menemukan aspirasi karangan. Diharapkan dalam penemuan hasil belajar dapat membentuk aspirasi pengarang yang lebih segar, yang diimpikan oleh pengarang dan oleh aspirasi itu sendiri.

Warnawarni Aspirasi

Keindahan karangan keindahan aspirasi. Pengarang yang beruntung, pengarang yang mampu menjaga aspirasi sebagai permaianan yang tidak main-main, permainan yang menyenangkan. Kesungguhan atau keseriusan dalam bermain dan memainkan aspirasi itu menjadikan jalan menuju pengarang pemilik aspirasi yang punya warna dan bercitarasa: berkarakter.

Setiap pengarang tentunya punya nuansa citarasa aspirasi yang berbeda dengan pengarang lainnya, meskipun corak dan warnanya sama, atau bisa saja terjadi sebaliknya, citarasa aspirasinya yang sama namun nuansa warna berbeda. Dengan demikian pengarang harus mampu memilih serta menentukan warna dan citarasa yang sesuai dengan pribadi atau kehendaknya.

Tidak hanya aspirasi pengarang saja yang memiliki citarasa, akan tetapi masyarakat pembaca pun memiliki pilihan terhadap warnawarni dan citarasa aspirasi pengarang atau karangan. Hal ini yang akan menjadikan kesempatan, atau peluang pasar. Bagaimana peluang ini dikelola secara professional, sehinga mampu menggandakan aspirasi pengarang dalam bentuk karangan ke dalam bentuk buku, sebagai santapan masyarakat pembaca tersebut. Masyarakat pembaca akan cepat dan lebih mudah mengenali pengarang yang memiliki warna dan citarasa aspirasi yang lebih spesifik. Meskipun tidak ada larangan kalau umpamanya pengarang mengacak warna dan citarasa itu menjadi warnawarni dan citarasa gado-gado. Sepertinya memang lebih enak menjadi pengarang yang memiliki citarasa warnawarni dan citarasa gado-gado. Tetapi ya setiap pilihan itu mempunyai resiko. Namun yang penting bagaimana memupuk aspirasi pengarang menjadi karangan. Tanpa karangan, aspirasi itu terbatas, tanpa aspirasi karangan itu menjadi loyo.

Namun aspirasi itu juga ternyata bagi sebagian pengarang bisa dipesan, baik itu oleh masyarakat pembaca atau sang penguasa. Pengarang tinggal mengarang sesuai dengan aspirasi apa yang dipesankannya. Apakah gado-gado, nasi rames, mie kuah, bubur ayam, pempek kapal selam, oseng-oseng kangkung, sambal, atau nasi goreng. Ada pengarang yang punya keterampilan sebagai katering seperti itu.

Ya sesungguhnya citarasa dan warna itu adalah dirikita sendiri yang memberikannya. Tentunya warna yang kita suka, citarasa yang kita suka, itulah diri kita. Seribu kepala bisa jadi seribu warna dan seribu citarasa.


Tujuan Aspirasi Pengarang

Aspirasi, tujuan pengarang

Tujuan pengarang, aspirasi

Macam-macam tujuan aspirasi pengarang, ada pengarang yang memiliki tujuan aspirasinya hanya sekedar untuk mencari makan. Mengarang merupakan profesi, sebagai lahan untuk bekerja. Bagi pengarang seperti ini, aspirasi, bukan berarti tidak dipikirkan, akan tetapi bagaimana aspirasi dalam karangannya dan karangan dalam aspirasinya dapat sesuai dengan harapan redaktur, baik itu koran, majalah, tabloid atau jurnal dan semacamnya. Aspirasi pengarang ini biasanya menyesuaikan dengan target berita-berita terbaru yang sedang berkembang dan hangat dibicarakan orang. Jadi mengarang sebagai keterampilan pengarang bagaimana meramu sebuah tragedi menjadi sebuah karangan yang enak untuk disimak, atau diapresiasi oleh masyarakat pembaca. Ia tidak ambil pusing dengan dunia luar, atau dunia teori dari pekerjaan yang dilakukannya.

Aspirasi penyadaran. Ada aspirasi pengarang sebagai penyadaran bagi masyarakat pembaca. Bagi aspirasi pengarang penyadaran, aspirasinya dibangun untuk mengelola dan mengarahkan opini masyarakat kepada satu tujuan pengarang atau tujuan keyakinannya atau idiologinya. Umpamanya karangannya merupakan upaya pendidikan politik. Masyarakat pembaca diajak untuk bertamasya mengetahui bagaimana posisinya dalam kedudukan berbangsa, bernegara dan beragama. Bagaimana posisi kaum perempuan di mata kaum laki-laki, masyarakat dan negara. Bagaimana sebuah keyakinan dan mitos menjadi hidup dan mati. Aspirasi pengarang sangat berperan, menumbangkan, menumbuhkan, memupuk dan menghancurkan.

Dalam aspirasi penyadaran, antara moral dengan tidak bermoral, antara penindas dan tertindas, menjadi bunga-bunga dalam kiasan karangan sehingga sebuah tragedy dramatik menjadi indah bila didengar, dibaca, dan pengarang berusaha meraih simpatik dan empati masyarakat pembaca, lalu proses penyadaran pun terlaksana. Bisa secara sadar atau di bawah sadar.

Aspirasi hiburan. Ada aspirasi pengarang sebagai hiburan bagi masyarakat pembaca. Bagi aspirasi pengarang hiburan, karangannya dititik beratkan guna menghibur masyarakat pembaca. Bagaimana masyarakat pembaca bisa menertawakan dirinya, sebagai akibat dari karangan. Tidak banyak pengarang yang memposisikan aspirasinya sebagai hiburan. Meskipun pada dasarnya setiap aspirasi pengarang bisa jadi sebuah hiburan. Akan tetapi, ada pengarang yang memfokuskan dirinya sebagai penghibur.

Aspirasi terapi. Ada aspirasi pengarang sebagai terapi bagi masyarakat pembaca dan sekaligus terapi bagi dirinya. Pengarang seperti ini cenderung karangannya sebagai media upaya penyembuhan, dengan mengungkapkan segala sesuatu yang menyelimuti perasaan, dan pikiran yang mengganggunya. Padahal bagi sebagian pengarang lain justru mencari-cari berbagai bentuk permasyalahan sebagai pemicu munculnya aspirasi.

Aspirasi kritik social. Ada aspirasi pengarang sebagai kritik social. Biasanya karangan ini memeiliki tujuan untuk memperbaiki keadaan social masyarakat versi sastra. Meskipun rasanya tidak mungkin sehelai teks dapat menyelesaikan masalah social masyarakat. Akan tetapi minimal dapat mempengaruhi melalui logika pemikiran dan pendapat. Brangkali sama halnya dengan kitab-kitab suci, yang memiliki harapan kepada sesuatu yang lebih baik dan absolut. Sehingga perubahan social itu berevolusi atau bisa jadi revolusi.

Tujuan aspirasi pengarang bisa terus menyesuaikan dengan keinginan jaman atau berjalan berdasarkan logika-logika masadepan dan kebutuhan pengarang atau manusia itu sendiri. Misalnya kebutuhan jasmani dan rohani serta kebutuhan ilmu pengetahuan. Bagaimana dengan kebutuhan sex, sandang pangan papan, kebutuhan berekspresi, keyakinan, kebutuhan media, penelitian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar