Rabu, 18 November 2009 | 07:58 WIB
”Ya iki buntutku, kok pidak siji dadi sewu:
Ya iku sing jenenge aji candrabhirawa, ajine wong cilik. Saya mbok idak, saya brontak.
Saya mbok pateni, saya urip.
Saya mbok apusi, saya lantip ing budi.
Ya iku mau sing jenenge people power, he baya”.
(Sindhunata, ”Cicak Nguntal Baya”)
KOMPAS.com — Pergerakan cicak-cicak di Jakarta dan kota lain bisa jadi memang tidak selincah sebelumnya, seperti dikatakan guru besar Ilmu Kepolisian Universitas Indonesia, Bambang Widodo Umar. Namun, tidak di Yogyakarta. Napas panjang menuntut ditegakkannya keadilan tengah disiapkan.
Persiapan itu ditandai dalam Brebeg Seni di Kapitroekan Karang Klethak, Wonorejo, Hargobinangun, Pakem, Sleman, Sabtu (14/11) malam. Puisi Sindhunata yang dibacakannya sendiri dari panggung dan dihadiri ratusan warga dan seniman itu adalah awalnya.
Penggal puisi jawaban cicak atas pertanyaan buaya yang meremehkan kemampuannya itu lebih kurang artinya, Ya ini ekorku, jika diinjak satu tumbuh seribu: Ya ini yang dinamakan senjata candrabhirawa, senjatanya orang kecil. Makin diinjak makin berontak. Makin dibunuh makin hidup. Makin ditipu makin pandai. Ya itu tadi yang namanya people power, hai buaya.
Sementara budayawan Sindhunata membacakan puisi panjangnya, tiga perupa, yaitu Djoko Pekik, Teddy, dan Putu Sutawijaya, menggambar di kanvas ukuran 2 x 3 meter. Temanya tunggal, ”Cicak Nguntal Baya”. Hujan yang turun tidak menghentikan kegiatan tiga perupa di alam terbuka itu.
Sambil ketiga perupa itu terus menggambar, ruwatan dilakukan dengan membongkar dan melempar kulit ketupat. Dari atas panggung, para seniman kemudian melemparkan beras kuning bersama uang receh ke arah penonton yang segera berebut memungut recehan.
Konflik antarlembaga yang melibatkan Komisi Pemberantasan Korupsi dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, menurut Sindhunata, sekadar pemicu untuk menumbuhkan penyadaran sosial yang lebih besar. Ruwatan yang digelar tidak sekadar ruwatan batin, tetapi lebih pada ruwatan sosial.
”Gerakan sosial tidak mungkin tanpa penyadaran. ’Cicak Nguntal Baya’ adalah penyadaran tentang kekuatan orang kecil,” ujar Sindhunata.
Cenderung lupa
Sebelumnya, dengan kebaya merah yang membalut tubuhnya, politisi Rieke Dyah Pitaloka membacakan orasi budaya. Rieke, yang lebih dikenal masyarakat desa sebagai Oneng dalam serial komedi televisi yang dibintanginya, menyerukan perlawanan terhadap korupsi dan perilaku koruptif lainnya.
”Kekuasaan memiliki watak arogan yang cenderung lupa pada amanah rakyat. Ketika kekuasaan menjadi lupa, maka tugas kebudayaanlah untuk mengingatkan. Politik tanpa kebudayaan seperti cicak tanpa dinding, seperti buaya tanpa sungai,” ujar Rieke.
Melalui Brebeg Seni yang diserukan dari perbukitan dengan bantuan angin dari sela-sela rumpun bambu, seniman ingin dengan segala kemampuannya hendak menyampaikan penyadaran sosial. Rakyat yang selama ini dilecehkan hendak disadarkan akan kekuatannya. Yang besar tak harus menindas yang kecil. Yang kecil punya kekuatan untuk menelan yang besar.
Ketika hujan mulai deras, Marzuki bersama Jogja Hip Hop Foundation tampil. Kritik kepada seniman yang memburu kapital dan melupakan tugas seni disampaikan lewat lagu ”Jula Juli Lolipop”.
Bersama Soimah Pancawati, yang kembali ke Yogyakarta tiap akhir pekan setelah kesibukannya di Jakarta, Marzuki menyanyikan secara hip hop lagu berjudul ”Cicak Nguntal Boyo”.
Karena hujan turun, meski ratusan penonton di tengah rimbunnya tanaman tidak beranjak, Marzuki dan Soimah tampil dengan payung.
”Biar rakyat bergembira, biar kami yang menderita,” ujar mereka disambut tawa dan tepuk tangan.
Butet Kartaredjasa dan Djaduk Ferianto yang datang malam itu bersama puluhan seniman turut memberikan semangat dari tempat mereka menonton.
Teriakan-teriakan yang menyemarakkan acara membuat tontonan untuk penyadaran itu menyatu dan terasa mengalir tanpa ada kesan paksaan.
Penyadaran sosial
Meskipun tempatnya terpencil, sekitar 22 kilometer dari Kota Yogyakarta melalui Jalan Kaliurang, kemeriahan untuk penyadaran sosial itu bisa dilakukan dan diharapkan bergelombang.
Obor bambu menjadi penunjuk jalan ketika para penonton meninggalkan jalan besar menuju tempat perhelatan. Sebagian warga sekitar menyambut dengan menjajakan berbagai makanan desa untuk kudapan.
Warga sekitar yang hadir malam itu, seperti Ngadiman (50), mengaku ikut geram dengan perseteruan cicak lawan buaya.
Meski tinggal di pelosok pedesaan, dia selalu mengikuti perkembangan terbaru dari perseteruan tersebut di televisi.
”Kami orang kecil bisanya ya hanya geleng-geleng kepala melihat dan menyaksikan para petinggi di televisi,” ujar Ngadiman.
Djoko Pekik yang melejit lewat lukisan ”Berburu Celeng” menjelang peristiwa 1998 juga geram.
Di mata Djoko Pekik, para petinggi negara dilihatnya seperti tukang parkir dan preman. Hanya tukang parkir dan preman yang kerjaannya berebut lahan.
Berbeda dengan ruwatan desa yang hasilnya bisa segera dilihat dengan terciptanya keamanan lingkungan, dampak ruwatan ”Cicak Nguntal Baya” ini mungkin tidak segera dapat dirasakan.
Dengan gelaran ruwatan, muncul secercah penyadaran yang diharapkan mampu menumbuhkan gerakan sosial.
Warga pedesaan pun memperoleh secuil hiburan dan kesempatan menertawakan perilaku para pejabat dari gelaran ruwatan. Dari desa kecil di lereng Gunung Merapi, dengan bantuan angin dari sela-sela rumpun bambu setelah hujan, seruan dilantangkan.
Cicak-cicak belum mati. Kalaupun diinjak, ekornya akan tumbuh lagi, bahkan sampai seribu kali.
”Ya iku mau sing jenenge people power, he baya
Nadyan lembut tan kena jinumput, gedhene ngebaki jagad
Mula sanadyan aku mung cicak
Aku bisa nguntal kowe, wong gedhemu luwih cilik tinimbang jagad saisine”.
(Wisnu Nugroho/ Mawar Kusuma)
Sumber: Kompas
Selasa, 17 November 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar