Selasa, 04 Januari 2011

DEMI PURNAMA

Cerpen Pion Ratulolly[1]

Demi purnama. Demi waktu yang sempat tertahan. Kau ada dimana? Sedang aku masih setia menatap purnama kelimabelas di malam ini. Katakan kepadaku, hati siapakah yang tak berdetak kagum melihat dewi malam tengah ramah membagikan senyum pengharapan pada para penghuni alam? Di mata sejuk, di hati lembut dan di bibir decak doa senantiasa bertasbih, katamu dulu. Andai saja jarak bukan menjadi pemisah jumpa, ingin kudaki tangga langit, kudapati dewi malam, lalu bersujud langsung di hadapannya, sembari memanjatkan berjuta pohon pinta.

Syahdan, purnama naik ke tangga lima belas, di sepuluh tahun lalu. Aku bersama dirimu, istriku, sedang senang memandang bulan. Bagi kita, rembulan adalah harapan. Harapan bisa terkabul saat kedua mata kita tak pernah berkedip menyaksikan bintang jatuh di bulan purnama. Di detik itulah, kedua tangan kita tengadahkan ke langit. Sambil merapal sebuah keluhan sederhana; Duhai Sang Rembulan, percayakanlah pada kami satu saja anak Adam-Mu, untuk kami lahirkan dari rahim kasih dan sayang kami berdua. Mantra yang saban purnama kita panjatkan. Diiringi sesegukan tulusmu untuk meminta belas kasih Rembulan. Semoga Ia berkenan menjatuhkan seorang momongan dari langit malam.

“Bang!” Kuhafal benar desahan nafasmu waktu itu. Sementara aroma keringat peluhmu terasa sedikit memabukan keinginanku untuk membelaimu. Memanjakanmu mesra di atas bale-bale sambil membayangkan betapa indahnya bermain-main dengan bocah-bocah kecil keturunan kita.

“Ada apa, Adikku.Lenganku selalu kusediakan untukmu bersandar sebelum dan setelah engkau letih melantunkan doa.”

“Sepertinya aku telah kecewa pada rembulan, Bang. Selama ini, dia telah menutup kedua telinganya untuk mendengar keluh kesah kita.” Matamu nanar menatapku. Semburat senyum sangsi membekas di bibir tipismu. Aku dapat membaca kelebat durja dari sorot mata itu.

“Jangan berkata seperti itu, Sayang. Kesabaran kita sedang diuji.” Aku sedikit kecut membagikanmu sebuah senyuman sederhana. Tak seberat persoalan yang tengah kita hadapi ini.

“Seperti itu katamu dari dulu. Tak pernah berubah sepatah kata pun. Seperti rembulan yang tak pernah kunjung mengabulkan pinta kita.”

“Sayang, semua ikhtiar sudah kita lakukan. Dari tradisional maupun medis. Tetapi rupanya kita masih kurang dipercayai oleh Sang Rembulan untuk merawat anak keturunannya.”

“Harusnya kamu percaya apa kata Ama Meddo. Kita berdua tidak mandul. Kita sedang diteluh. Disihir untuk tidak punya keturunan. Buktinya, Ibu Bidan bilang rahimku sehat. Tetapi aku merasakan rahimku seperti tertusuk-tusuk jarum. Apa lagi kalau bukan teluh? ”

“Jangan berkata seperti itu, Sayang. Bersabarlah. Mungkin tidak hari ini, mungkin esok kita akan diberikan momongan.”

“Ah, selalu saja begitu. Lama-lama aku jadi tak betah. Ceraikan aku sekarang juga!”

Aku tersentak. Sebuah tombak ketakpercayaan yang tajam nian, tiba-tiba menghujam dadaku. Sakit. Pedih. Aku tak menduga jika kau akan berputus harapan seperti saat ini. Betapa sebuah gubuk rumah tangga yang selama ini telah kita bangun di atas fondasi saling pengertian harus diruntuhakan lantaran keputusasaanmu.

Dan dalam sekejap aku jadi meradang. Marah dengan segala ketaknyamananku selama ini. Jangan dikira aku juga bahagia jika tak memiliki keturunan seperti ini.

“Ya, kita cerai! Aku menceraimu dengan talak tiga.” Tanpa rencana, kalimat itu serta-merta meloncat keluar dari mulutku. Bibirku bergetar. Nafasku memburu. Mataku memerah ganas. Panas ragaku. Serasa semua ruh makhluk halus masuk ke dalam tubuhku lalu menjadikanku seolah sebuah monster yang amat mengerikan.

Tetapi tragis, sungguh sebuah drama tragedi sedang dikemas. Engkau malah terjatuh. Kejang-kejang. Tubuhmu bergetar-getar. Kusaksikan engkau sedang berperang melawan sesuatu dalam dirimu. Mulutmu meracau-racau tak jelas. Umpat, caci dan maki keluar berhamburan. Engkau kesurupan.

Aku menjadi hilang amarah sekejap. Besarnya rasa belas kasih di dalam dadaku sekejap waktu langsung mengalahkan amarahku yang sudah memuncak sebelumnya.

“Bangsat! Anjing! Aku tak akan pernah berhenti mengejarmu. Sampai ke liang lahar sekali pun. Hahaha!!!”

Ah, ada apa lagi ini? Mengapa semua harus seperti ini? Mengapa istriku yang hendak kucaraikan harus mencaci-makiku sepedis ini? Tak sekali pun aku diperlakukan serendah ini oleh istriku selama ini.

“Kau tahu, aku siapa?” Kulihat wajahmu memerah sungguh. Sinar matamu ganas menatapku penuh dendam. Sebuah dendam lama yang telah lama kau pendam.

Aku mendekatimu. Berupaya memegang telapak tangan kananmu dan menekannya. Berharap kalau ada makhluk halus yang masuk dapat kudesak keluar.

“Heiii!!!! Sedang apa kau? Kau pura-pura lupa, siapa aku?”

Aku masih berusaha sekuat tenaga menekan telapak tanganmu. Di antara ibu jari dan jari telunjukmu, kutekan lebih kuat.

“Kau masih ingat, Ina Barek, lelaki bejat?”

“Astagga!!!”

Kali ini aku semakin tersentak. Dan tanpa lagi melihatmu, aku lari meninggalkanmu. Menutup kedua telinga atas apa yang baru saja aku dengar. Aku ingin menjauh dari segala kenyataan atas apa yang baru saja terjadi. Aku berlari dengan sekuat sisas tenagaku. Sekencang mungkin. Kalau pun harus terjatuh dan mati, aku tak takut. Saat ini mati adalah pilihan yang mungkin masih lebih baik dari pada harus menghadapimu.

Dan aku harus lari. Aku harus menjauh darimu. Sebab di dirimu saat ini bukan hanya bersemayam dirimu saja, tetapi juga Ina Barek. Gadis di sebelah kampung yang ditemukan tak lagi bernyawa di pinggiran kali kampung. Ia meninggal dengan tragis karena dicekik seseorang. Tapi kasihan, ia tengah hamil. Dan tahukah kamu, istriku, anak yang dikandungnya dan dibawa mati bersamanya, adalah anakku juga. Anak yang kubenihkan di saat malam purnama. Di saat engkau tengah berdoa menanti anak dari rembulan.

*****

Demi purnama. Demi waktu yang sempat tertahan. Kau ada dimana? Sedang aku masih setia menatap purnama kelimabelas di malam ini. Katakan kepadaku, hati siapakah yang tak berdetak kagum melihat dewi malam tengah ramah membagikan senyum pengharapan pada para penghuni alam? Di mata sejuk, di hati lembut dan di bibir decak doa senantiasa bertasbih, katamu dulu. Andai jarak bukan menjadi pemisah jumpa, ingin kudaki tangga langit, kudapati dewi malam, lalu bersujud langsung di hadapannya, sembari memanjatkan berjuta pohon doa. Maafkan aku Ina Barek; perempuan pelampiasan keputusasaanku. Maafkan aku calon anakku. Maafkan aku Ina Somi, Istriku. Maafkan aku yang tak pernah letih memandang purnama.

Kupang, 04/01/2011
Jam: 13:13

[1] Pion Ratulolly, lahir pada 31 Desember 1986 di desa pesisir Lamahala, Nusa Tenggara Timur. Ia adalah peserta Mastera (Majelis Sastra Asia Tenggara) bidang Novel di Kupang. Peserta PEKSIMINAS (Pekan Seni Mahasiswa Nasional) IX di Jambi. Peserta Temu Sastrawan Indonesia III di Tanjung Pinang. Menulis novel “atma” Putih Cinta Lamahala Kupang.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar