Sabtu, 17 Oktober 2009

Moelyono kecemplung dalam dunia seni rupa

Berawal dari Menggambar

Minggu, 18 Oktober 2009 | 02:55 WIB

Bagaimana mulanya sampai Moelyono kecemplung dalam dunia seni rupa? ”Itu berawal dari kegemaran menggambar,” katanya.

Moelyono kecil tinggal bersama ayahnya, Kasijan, dan ibunya, Umi Kuratin, di kompleks perumahan pendopo Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur. Kasijan adalah kurir di kabupaten. Keluarga itu bertetangga dengan sejumlah pejabat daerah yang punya banyak buku dan majalah.

”Saya suka lihat gambar di buku dan majalah itu. Saya tiru gambar itu dengan kapur di atas papan tulis atau lantai.”

Kegemaran itu berlanjut saat dia masuk SD, SMP, dan SMA di Tulungagung. Atas dorongan gurunya, tahun 1977, dia melanjutkan studi ke Jurusan Seni Lukis di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI)—yang kemudian menjadi Institut Seni Indonesia (ISI), Yogyakarta.

Untuk masuk perguruan tinggi seni itu, dia terpaksa menjual sepeda kayuh seharga sekitar Rp 25.000. Pada awal kuliah, dia sempat terima kiriman uang Rp 15.000 per bulan. Sayang, beberapa bulan berikutnya, ayahnya meninggal.

”Saya terus kuliah sambil kerja apa saja. Bikin poster, spanduk, atau reklame.”

Sebagaimana mahasiswa lain, Moelyono mengawali gaya lukisannya dengan corak realistik. Corak itu berubah lebih eksperimental saat dia bergabung dengan kelompok Seni Kepribadian Apa (PIPA).

Tahun 1983, dia mengajukan karya tugas akhir S-1 berupa seni instalasi ”KUD”, Kesenian Unit Desa.

Moelyono menghamparkan berlembar-lembar tikar di halaman kampus. Di atasnya diberi berpincuk-pincuk tanah. Di atas tanah itu ditaburi bermacam tanaman: bayam, ubi, jagung, atau kecambah. Ada juga gubuk dan podium untuk pidato.

”Instalasi itu penghargaan saya terhadap para petani di Desa Waung, Tulungagung. Mereka bertahan hidup dengan mengolah rawa penuh eceng gondok untuk ditanami sayuran.”

Karya ini mencerminkan gagasan awalnya bahwa seni seyogianya masuk dalam denyut nadi masyarakat. Sayang, instalasi seni lingkungan itu dinyatakan bukan seni lukis dan tak memenuhi syarat kelulusan sarjana. Ujian pun gagal.

Dia kemudian diundang ujian lagi dengan membuat drawing. Tahun 1985, dia lulus. Sempat bekerja sebagai desainer grafis iklan di Jakarta, tapi dia tak betah.

Lelaki itu mudik ke Tulungagung tahun 1987. Dia kemudian bergabung dengan kaum nelayan miskin di Brumbun, Tulungagung Selatan. Dari desa itu, dia merintis jalan kesenian bersama rakyat bawah. (iam)Sumber: Kompas

Tidak ada komentar:

Posting Komentar