Selasa, 20 Desember 2011
TEPIAN LEMATANG TEMPAT PUITIS SEBAGAI OBJEK WISATA
Oleh Jajang R Kawentar
Tepian Sungai Lematang menjadi tempat yang cukup puitis untuk dikunjungi diakhir pekan. Mengajak keluarga, saudara, teman dekat atau sendirian sambil ngopi, makan bersama dengan membawa bekal dari rumah atau membeli di warung yang tersedia di lokasi, atau hanya duduk melepaskan lelah pikir atau lelah bekerja selama sepekan. Datang dengan menggunakan sepeda tua klasik, motor klasik, mobil klasik, mobil offroad, motor trail, bergaya seperti seorang yang touring. Sungguh mengasikkan. Berfoto bersama dengan latar belakang bukit jempol (bukit serelo) dan Sungai Lematang yang membentang dengan jembatan gantungnya. Setelah itu di upload ke Facebook atau Youtube, meminta komentar dari kawan-kawan yang jauh. Betul-betul seperti the amazing to Lahat mooi. Sederhana namun mengesankan. Sehingga orang lain ikut tertarik, dan penasaran untuk mengunjungi kota Lahat, mengunjungi tempat tersebut.
Mencari kepuasan bersama keindahan alam Lahat yang sungguh lebih indah dari daerah manapun. Begitulah egoisme positif dibangun menjadi nilai-nilai patriotisme lokal. Lahat adalah keindahan yang sungguh real, keindahan daerah lain itu karena alasan kita memandangnya berlebihan. Sehingga melupakan keindahan alam sekitar kita sendiri.
Pergi ke tepian Lematang menjadi alternatif wisata yang menjanjikan dan murah. Kita bisa merasakan bagaimana masyarakat mandi, mencuci dan memenuhi kebutuhan domestik keluarga. Disamping itu mengingatkan pada jaman dahulu, ketika Sungai Lematang menjadi pusat transportasi yang menyambungkan kota dengan dusun. Menjadi satu-satunya akses kehidupan perkekonomian, jual beli dan barter kebutuhan sandang pangan di aliran sungai tersebut.
Saat ini di beberapa lokasi tepian Sungai lematang bisa menjadi tempat untuk rekreasi keluarga. Mengapa sungai Lematang?, pertama karena alasan pemandangannya, umpamanya menghadap ke Bukit Serelo atau bukit Jempol, bukit besar, bukit telunjuk dan bukit-bukit lainnya yang merupakan jajaran bukit barisan. Kedua, karena alasan angin yang meniup semilir begitu sejuk dan udara yang segar, ketiga ada aktifitas warga yang menambang batu serta pasir secara tradisional, menjala ikan, keempat, bunyi dan gerak air yang mengalir ikut mengendurkan urat syaraf apalagi turut menyentuh air serta batu pasir yang berada di tepian sungai tersebut. Seperti mempertemukan kerinduan kita kepada laut luas dan sejarah panjang Kabupaten Lahat.
Membangun Kerinduan Sungai Lematang
Bagaimana membangun kerinduan masyarakat terhadap sungai Lematang menjadi sebuah gaya hidup yang sehat dengan berekreasi mengajak keluarga ke Sungai Lematang. Sebagai upaya relaxasi dari aktifitas sehari-hari. Membiasakan rekreasi dengan tempat tujuannya sungai Lematang yang berfungsi untuk memotivasi berpikir dan bekerja, mengumpulkan energi, suporrt kinerja, serta refresing. Memunculkan semangat baru, serta membangun kehangatan bersama keluarga.
Bahwa Sungai Lematang menyimpan sejarah juga kenangan di setiap insan yang pernah dekat atau menghampirinya, apalagi pernah tinggal di sekitarnya . Kenangan ini yang bisa mempertemukan kembalinya ingatan masa lampau. Sungai Lematang menjadi alasan sebagai daya tarik untuk mengunjunginya kembali, karena kenangan atau sejarah sudah tertancap di sana.
Mengajak keluarga sanak saudara atau handaitaulan menelusurinya ulang. Seperti napak tilas perjalanan diri, seperti ungkapan sebuah cinta terhadap tanah air sendiri, sekaligus memperkenalkan sebuah gaya hidup sehat rekreasi di tepian sungai Lematang. Dengan harapan kemudian Sungai tersebut menjadi objek wisata yang permanent serta menjadi ikon parawisata murah di Lahat khususnya, Sumatera Selatan dan go internasional yeah.
Semoga saja kita tidak hanya bisa memenuhi kebutuhan phisik saja tetapi rekreasi yang bisa memenuhi kebutuhan rohani. Menjaga keseimbangan dalam hidup, rekreasi itu penting sebagai makanan rohani atau jiwa. Rekreasi yang sekaligus membangun citra daerah sendiri adalah ke sungai Lematang.
Sekarang dibeberapa lokasi tepian sungai sudah banyak warung kopi atau rumah makan. Kita bisa mampir sebentar, melepas lelah, memandang landscape. Menceritakan sebuah perjalanan atau penasaran menyentuh air dan batu lematang yang unik.
Kita seringkali kebingungan bagaimana menikmati sebuah landscape atau suasana. Membandingkan sejuknya udara kota dengan udara di tepian sungai, membandingkan suara gemuruhnya air atau gemericiknya air dengan suara keramaian kota, dengan deru mesin dan kendaraan. Kesunyian yang di taburi suara burung atau suara serangga, adalah suasana masa lampau yang kini sulit ditemukan di kota. Seperti ketika listrik belum masuk dusun dan kendaraan masih sangat sulit dijumpai.
Dalam sebuah landscape dan suatu suasana tersebut tersurat serta tersirat kekuasaan Tuhan yang mengaturnya. Tak ada yang sama dalam setiap suasana dan di setiap landscapenya. Dengan menyadarinya, maka rasa indah itu muncul bersama rasa kagum. Selain itu pengakuan terhadap kemungkinan yang akan terjadi dan sedang berlangsung merupakan kenikmatan. Seringkali tidak disadari oleh para wisatawan awam atau pemula.
Biasanya wisatawan awam hanya ikut-ikutan berwisata berdasarkan kebanyakan orang. Bukan karena kebutuhan untuk refresing hanya kebutuhan sebuah gaya hidup modern. Sungai Lematang menunggu para wisatawan yang membutuhkan arti dari sebuah refresing.
Menggali Sejarah yang Terkikis Air
Kita bisa menjaga originalitas aktifitas keseharian yang ada di sungai tersebut. Menjaga kelestarian sungai tersebut dengan lingkungannya, dengan tidak membuang sampah atau limbah ke sungai. Tidak mengeruk sumber daya alam yang terkandung di sungai secara (sporadis) berlebihan, sehingga akan merubah ekosistem yang berada di sekitar sungai.
Diupayakan reboisasi atau penanaman pohon di sepanjang tepian sungai supaya sungai tidak terkikis oleh arus air (abrasi). Tentunya penanaman pohon tersebut diiringi dengan larangan penebangan pohon di sepanjang tepian sungai. Sekaligus sangsi hukumnya yang berat, sebagai upaya penyelamatan sungai. Sebab apabila terjadi abrasi akan berpengaruh terhadap debit air sungai, dan jelas akan terjadi pendangkalan dasar sungai.
Karena pendangkalan akan berpengaruh terhadap berkurangnya debit air dan akan mempengaruhi musim tanam padi petani yang menggunakan media sawah, karena air tidak akan sampai pada tujuan yang berada di ilir. Sebab air tidak memiliki tenaga untuk mengirimkannya, karena air mengikuti bentuk sungai yang kian melebar, sulit untuk mengikuti lajurnya. Menjadi banyak kehidupan alam yang dirugikan.
Apabila sudah terjadi seperti ini maka alamat mengecilnya harapan Sungai tersebut menjadi arena wisata. Puitisasi sungai menjadi suram dan muram. Bagaimana kita juga bisa ikut melestarikan lingkungan, sekaligus menjaga sejarah daerah-daerah yang berada di sepanjang tepian sungai seperti Benteng, Bandar Agung, Balai Buntar, beberapa Makam atau petilasan Puyang (nenek moyang) dan masih banyak lagi menjadi terkelola dengan baik.
Penulis Pembina Komunitas Sastra Lembah Serelo dan Guru SMA Negeri 1 Merapi Selatan Kab. Lahat
Jumat, 02 Desember 2011
AIR TERJUN MILANG DALAM CATATAN PERJALANAN
AIR TERJUN MILANG DALAM CATATAN PERJALANAN
Sambutan Kepala SMA N 1 Merapi Selatan
Kami menyambut baik dengan diterbitkannya sebuah buku kecil yang mencatat perjalanan siswa-siswi SMA Negeri 1 Merapi Selatan ke Air Terjun Milang pada 31 Desember 2010 lalu. Semoga apapun yang terdapat dalam buku ini dapat bermanfaat, karena ini merupakan pengalaman mereka dari 20 siswa siswi dan 2 pembinanya yang mengikuti kegiatan kemah tersebut.
Pengantar Penyusun
Buku ini mengisahkan perjalanan atau pengalaman Siswa-siswi SMA Negeri 1 Merapi Selatan dan Pembinanya yang mengikuti Kemah di tempat Wisata Air Terjun Milang yang terletak diantara Kecamatan Merapi Selatan dan Kecamatan Merapi Barat. Ada 20 siswa yang mengikuti kemah ini dengan pembinanya 2 orang, Jajang Rusmayadi, S.Sn dan Melly sebagai pembina Pramuka. Disamping itu kemah ini juga melibatkan SMA Negeri 1 Merapi Barat yang berjumlah 50 siswa dengan 6 pembinanya.
Dari sekian banyak siswa tidak semuanya menuliskan pengalamannya, namun kepada seluruh siswa yang ikut disampaikan untuk menulis dan sampai buku ini diterbitkan hanya terdapat 11 siswa saja yang dapat diterbitkan.
Dalam penulisannya diberi arahan supaya menulis dengan bahasa daerahnya (bahasa Perangai), tetapi dalam kenyataannya ada yang menggunakan bahasa indonesia, ada yang mencampuradukan bahasa Perangai dengan bahasa Indonesia. Walau demikian semua dari tulisan ini merupakan sebuah refleksi dari kegiatan yang dilakukan dalam rangka menyambut tahun baru 2011.
Dengan harapan hasil dari perjalanan ini menjadi sebuah gambaran bagi siapa saja, tentang keindahan tempat wisata alam Air Terjun Milang. Tentunya menjadi sebuah dokumentasi dari kegiatan yang sangat mengesankan, dan sebagai ungkapan kegembiraan dalam melakukan sebuah perjalanan.
Penyusun
Jajang Rusmayadi, S.Sn
Guru Seni Budaya SMA N 1 Merapi Selatan
Air Terjun Milang Menjanjikan Pencerahan Baru
Oleh Jajang Rusmayadi, S.Sn
Tempat wisata Air Terjun Milang yang terletak antara Kecamatan Merapi Selatan dan Kecamatan Merapi Barat, bisa ditempuh melalui jalan simpang Patung di Desa Padang Kecamatan Merapi Selatan dan dari Desa Tanjung Beringain masih dari Kecamatan Merapi Selatan. Dengan waktu tempuh hanya satu jam berjalan tanpa henti, namun kalau banyak berhenti bisa sampai 2-2,5 jam.
Air terjun Milang merupakan aset terpendam Kabupaten Lahat yang sangat berharga dibandingkan dengan bongkahan batu bara yang berada di dalam tanah sekitar lokasi wisata tersebut. Aset wisata itu tidak bisa tergantikan apabila disekitar lokasi air terjun itu juga di rusak karena eksplorasi dan ekploitasi kebutuhan tambang batu bara. Selain itu batu bara merupkan sumber daya alam yang akan habis dan menyisakan kehancuran serta masalah. Masyarakat kecil kembali yang akan menerima penderitaan akibat eksploitasi alam tersebut.
Air terjun Milang itu apabila dikelola dengan baik, kemudian akan menghasilkan pendapatan asli daerah, yang berdapak terhadap kesejahteraan masyarakat Lahat terutama disekitar daerah wisata tersebut. Memang hasilnya tidak bisa instan seperti eksploitasi batu bara, namun aset ini lambat laun akan menghasilkan pendapatan lebih dari harga batu bara. Keutamaanya karena masyarakat umum dapat merasakan manfaat dari wisata air terjun tersebut.
Namun apabila di daerah lokasi tersebut juga menjadi lahan tambang batu bara maka yang menikmati hasil dari tambang tersebut sesungguhnya hanya beberapa gelintir orang saja yang akan menikmatinya. Jelas batu bara itu tidak akan dikelola oleh daerah atau masyarakat akan tetapi dibawa ke luar kota dan orang luar yang akan menikmati dari hasil eksplorasi dan ekploitasi batu bara tersebut. Di samping itu masyarakat Merapi akan menuai kerusakan lingkungannya, dari pada menuai keindahan alamnya. Mungkin warga dunia akan mengutuknya.
Menikmati Panorama dan Pengetahuan Alam
Air terjun Milang diperkirakan tingginya sekitar 30 meter dengan 7 tingkatan air jatuh. Di tingkatan pertama atau paling atas, tingkatan ke dua dan tingkat tiga terdapat kolam atau lubuk yang cukup luas. Menurut warga Merapi Selatan di lubuk itulah terdapat banyak ikan yang berkembang biak. Sungguh indah panorama itu, apalagi kalau di sekitar air terjun itu di tata dan rumputnya di bersihkan. Lalu ditanami kembali kayu yang memperkuat struktur tanah yang curam dengan Pinus, menambah panorama lain lebih sejuk.
Air yang mengalir begitu jernih dan pada umumnya warga yang pergi ke kebun dan yang sengaja berkunjung ke air terjun Milang meminum air sungai tersebut tanpa di masak terlebih dulu. Mereka langsung memasukan ke dalam botol kemasan sebagai persediaan dalam perjalanan. Barangkali kandungan mineral yang terdapat dalam air tersebut lebih baik dari air kemasan yang di jual di pasaran.
Disekitar lokasi air terjun Milang banyak tempat untuk pengambilan gambar atau foto. Karena lokasi air terjun ini merupakan pertemuan antara tiga bukit, diantaranya bukit Milang itu. Alam ini sepertinya sudah menyediakan tempatnya yang tepat, sungguh luar biasa. Tepat di air jatuh terakhir itu ada sebuah batu yang bisa digunakan untuk berfose. Batu itu bisa memuat sekitar sepuluh orang untuk berfose, dan persis di depannya ada batu datar sebesar rumah kira kira bisa memuat 100 orang lebih untuk berfose. Sehingga kenangan bersama ke air tejun Milang tidak akan luput dari dokumentasi dalam perjalanan berwisata bersama.
Apabila hendak berkemah, di lokasi ini jelas tersedia tempat yang sungguh pas, meskipun di kebun milik petani kopi. Tempat ini juga menyediakan fasilitas untuk berkemah, kayu bakar, tempat mandi, mencuci, dan lokasi berkemah. Memang tidak ada lokasi yang datar seperti sebuah lapangan, akan tetapi ada tempat-tempat untuk mendirikan tenda-tenda yang berdekatan.
Menurut warga Merapi Selatan yang pernah berkunjung ke Air terjun Milang, di lokasi bukit-bukit itu sangat baik untuk di tanami tembakau, dan kopi. Di lapisan tanah itu terdiri dari humus, atau daun-daun yangkering dan membusuk. Menurut mereka tanaman di sini tidak perlu lagi di pupuk, tinggal bagaiman membersihkan ruput yang mengganggu di sekitar tanaman.
Sebelum menuju lokasi kita bisa melihat, bagaimana perkebunan durian yang sudah berumur ratusan tahun, kebun kopi, padi tadah hujan, dan perkebunan karet rakyat. Sekaligus kita bisa belajar bagaimana para petani itu menyadap karet, atau memetik buah kopi. Sekaligus kita bisa belajar dari alam tersebut sebagai ilmu pengetahuan.
Out Bound Sambil Refleksi Tubuh
Berbagai rintangan menuju lokasi air terjun Milang, mengajarkan kepada kita bagaimana menyelesaikan masalah, perlu tekad kebersamaan dalam menyelesaikannya. Sebab jalan yang ditempuh menuju ke lokasi berbagai medan, mulai dari jalan tanah, jalan air, lumpur dan berbatu. Ada jalan yang datar, menurun dan jalan yang terjal. Pariasi bentuk medan ini kita anggap out bound dan perjalanan yang menantang serta menyenangkan ini bisa dianggap permainan. Namun sepanjang perjalanan itu kita akan disuguhkan oleh alam yang mungkin belum pernah kita lihat sebelumnya, dan ini sebagai kejutan-kejutan dalam kehidupan yang kemudian akan menjadi kenangan atau sebuah cerita yang manis dan mungkin tidak akan habis bila dibahas.
Untuk mencapai lokasi harus ada perjuangan yang kuat. Untuk itu sejak awal niatan mengunjungi sesuatu yang indah dan menyenangkan itu perlu keteguhan, kesabaran serta sebuah usaha. Air terjun Milang merupakan anugrah atau sebuah hadiah dimana kita sudah merasa lelah untuk mencapainya, maka air terjun itu akan membayarnya dengan lunas.
Keindahan alam Merapi akan lengkap ketika kita melangkahkan kaki menuju air tejun Milang. Bukit Besar, Bukit Serelo (Bukit Jempol) dan bukit-bukit batu yang berjejer. Menjadi panorama yang tidak kalah menariknya dibandingkan dengan lokasi wisata dimanapun yang memiliki perbukitan atau pegunungan.
Beberapa anak sungai yang harus disebrangi dengan air yang mengalir jernih, serta batu-batu yang menghampar apabila membuka sepatu dan membiarkan kaki kita telanjang maka akan terjadi refleksi secara alami, begitulah yang dialami oleh para petani di sekitar bukit-bukit tersebut. Kita juga bisa membayangkan bagaimana para petani itu dengan penuh semangat mencari penghidupan di alam dengan bercocok tanam padi dan berkebun, mungkin dengan hasil tidak seberapa dan membawa hasil taninya yang sangat jauh tanpa berkendaraan, namun mereka tetap menempuh jalan hidupnya dengan penuh semangat.
Refleksi tubuh juga bisa dilakukan di lokasi air terjun, selain kita berjalan di batu-batu yang memijat telapak kaki, juga kita bisa merasakan air yang jatuh itu tidak merpa batu tetapi menerpa tubuh kita. Air yang jatuh itu serupa pukulan-pukulan kecil dan keras ke tubuh kita. Ini juga serupa sebuah terapi atau refleksi, dan sesudahnya kita akan merasakan semacam pencerahan-pencerahan baru dari air tejun Milang ini. Air yang jernih yang akan menimbulkan kerinduan akan alam yang terus lestari. Semakin lengkap pencerahan itu ketika menghirup udara di sekitar lokasi air terjung yang begitu segar.
Kita sudah bisa merasakan sejuknya udara itu sekitar 500 meter dari lokasi, seperti masuk ke dalam air. Kesejukan ini semakin nikmat, ketika memasuki petang, malam dan pagi hari. Sambil minum kopi hangat dan berbincang, rasanya kita semakin akrab dengan alam.
Penulis Pembina Komunitas Sastra Lembah Serelo [KSLS] dan Guru SMA Negeri 1 Merapi Selatan
Kartika Sari XII IPA
TAHUN BARU
Seiring berjalannya waktu
Tak terasa jikalau tahun telah berganti
Setiap insan berbondong-bondong untuk merayakannya
Tahun baru di alam terbuka
Di kala malam datang menjelang
Ribuan nyanyian yang dilantunkan
Dengan penuh canda tawa
Di bawah indahnya gemerlap bintang yang bercahaya
Malam yang syahdu
Semuanya menyambut dengan lagu
Sungguh bahagia di malam tahun baru
Tampak keramaian mensenyapkan kesunyian kalbu
Semua insan tersenyum senang
Menyanyikan lagu dan berdendang
Dengan senandung nyanyian alam
Menggebu di kesunyian malam
Aprianto XII IPS 1
ALAM SEKITAR
Di dalam kehidupan ini kita perlu memperhatikan alam sekitar. Karena tanpa adanya alam yang ada di sekeliling kita kehidupan tak mungkin indah bahkan menghirup udarapun sangatlah susah. Untuk ituk mari semua belajar untuk memahami tentang alam dan manfaatnya. Oleh sebab itu di malam tahun baru 2011 kami seluruh anggota pramuka emngadakan kemah di air terjun dekat Bukit Jambu daerah Air Milang.
Di sana kami belajar memahami arti kehidupan di dalam hutan. Hidup di dalam hutan sangatlah indah dan nyaman karena semuanya masih sangat asli, belum ada perubahan. Baik tumbuhan maupun udara. Di sanalah kita harus sadar betapa pentingnya hutan dan yang lainnya. Tanpa adanya hutan mungkin kehidupan di dunia tak mungkin indah.
Kuspita Aprianti XI IPA
Semuanya Damai
Pagi itu
Disaat semua siswa kelelahan
Akan perjalanan yang sangat jauh
Perjalanan yang penuh dengan rintangan
Dilalui begitu saja
Dan tanpa disadari setelah sampai tujuan
Semua terpana akan keindahan air terjun
Dan rasa lelah itu hilang begitu saja
Suara air terjun yang merdu
Yang membuat semua damai
Seakan membawa kebahagiaan.
Wendi XII IPS 2
MENYAMBUT TAHUN BARU 2011
Anggota Pramuka SMA Negeri 1 Merapi Selatan Kabupaten Lahat dan anggota Pramuka SMA Negeri 1 Merapi Barat melaksanakan perkemahan di Cuhup Milang. Selain menyambut tahun baru perkemahan ini juga untuk menjalin tali silaturahmi atau persahabatan.
Perkemahan ini diikuti oleh 20 orang anggota Pramuka SMA Negeri 1 Merapi Selatan dengan 2 orang Pembina dan 50 orang anggota Pramuka SMA Negeri 1 Merapi Narat dengan 6 orang Pembina.
Perkemahan dilaksanakan selama dua hari satu malam. Walaupun hanya dua hari satu malam, tapi kami cukup bahagia dan merasa puas. Karena keindahan air terjun Milang tersebut.
Air terjun Milang ini memiliki ketinggian kira-kira 40 meter dan kedalaman 2 meter. Air Terjun Milang terdiri dari lima tingkatan.
Selain menikmati keindahan air terjun ini, kami juga menikmati keindahan alam lainnya. Misalnya bukit Telunjuk, Bukit Besar, pohon- pohon yang menjulang dan air yang mengalir jernih.
Dinsih XII IPS 1
TAHUN BARU
Pada hari Jumat saya berserta temen-temen berkemah di cuhup Milang untuk merayakan Tahun Baru 2011. Pas sampai di lokasi, saya, Wendi, Yohandi, dan Doni bikin tenda. Kami istirajat dulu sambil maen gitar, sekalian jaga. Sekaligus menunggu yang perempuan masih dalam perjalanan. Lama kelamaan akhirnya yang perempuan sampai juga..
Aku lihat yang perempuan kecapek-an. Aku kasihan banget. Semuanya berkeringat seprti keluar semua. Ya aku juga gak bisa berbuat apa-apa.
Nah pas hari sudah malam menurutku seru, tapi ada keselnya juga sih. Pas jam 20.00 WIB kami semua kumpppul di lapangan. Menurut kami ini acara Lingko-an, yang laki memberikan selendang pada yang perempauan dan yang perempuan memberikan selendangnya pada yang laki-laki.
Pada malam itu aku yang dapat hukuman dan aku diminta untuk joget sama mantan pacar aku. Menurut aku itu membuat senang. Nah pas siangnya, kami membuat acara cari jejak. Awalnya aku gak mau sih ikutan acara cari jejak. Aku pengennya jaga tenda aja, tapi kata temanku dan juga ibu Melly menasihati harus ikut, karena kalau aku dak ikut anggota kurang.
Yumiani XI IPA
Jumat Tanggal 31 Desember
MENJELANG TAHUN BARU 2011 KAMI PERGI KE CUHUP MILANG
Pada suatu ahi kami pegi ke Cuhup Milang. Isandi huma kami naik mobil sampai di tebing Patung. Kami duduk kudai. Dide lame udim duduk, kami separu diajungnye oleh kakak Melly nule menuju ke Cuhup Milang. Lah kekerihan kami berumbung uangan mangke kami behadu, tapela kekerihan. Sambil behadu kami la lapae. Ude kami makan di pucuk batu. Udem makan kami nunggu rumbungan yang masih ade di belakang. Kene kami dindak nulu, takut sesat mangke ade bibik ke kebun. Kami betanye nak bibik tu, “dide kelame nguntap Cuhup Milang bik?”
Kate bibik tu, “Masih gilame nak,” katenye.
Kami betanye agi, “Ade penyimpangan bik?”
Dijawabnye, “Dide bediye penyimpangan nak, teruslah saje,”katenye.
Ude kate kami kite beguyur saje amun masih gilame. Kami keterus bejalan nae belem kina sampai liwat ayik, kami tu liwat tebing. Mangke nyampi ahirnye. Ai ribang benae kami nginak cuhup tu, alap tanggungan. Kerih yang tadi lah nginak cuhup tu dide lagi kerih.
“Di sanela kami meraseka menghirup udara yang segar dan batang yang menghijau, daunnye yang indah.”
Lame duduk di batu. kami ke cuhup. Mandilah. Udim mandi kami bemasak. Udim nanak, ngulai. Kami makan. Dek lame kami sembahyang maghrib. Habis itu kami bercerite dengan kance-kance, begabung. Sekitar jam 20.00 WIB kami kumpul ade acara untuk menyambut tahun baru 2011. Acara Lingko-an, sambil kami kenalan, dapat kance baru. Udem acara tu kami balikla ke tenda. Kami tiduk dikit, ahi tu masih jam satu malam.
Sekitar jam 05.00 WIB kami bangun, sembahyang subuh. Udemtu kami mandi. Terus bemasak. Kami belumla makan. Tapi kami kumpul senam pagiyan, dilanjutke acara Heking. Kami pegi ngak kance-kance. Sebagian ade yang nunggu di tenda. Waktu dang heking tu ribang benae dapat hukuman. Kamilik kakak kelas SMA N 1 Merapi Barat. la kekerihan tu kami balik lagi menuju kakak pembina.
La udem acara heking kami makan bersama, udem tu acara foto di Cuhup Milang, kene kami kebepisah. Kami acara foto kudul dengan SMA N 1 Merapi Barat. udemtu kami kumpul agi, bepisah kebalik ude jabatan tangan.
Helvi Mariani XII IPA
DI AWAL TAHUN YANG PENUH HARAPAN
Ahi Kamis tanggal 30 Desember 2010 kami kumpul di sekolahan kandik mempersiapkan kemah tahun baru yang belokasi di Cuhup Milang. Sekitar jam 08.00 WIB lah kumpul, persiapan la banyak, terutame masalah bemasak dan alat-alatnye, kami juge siapkah masalah yel-yel dan atraksi-atraksinye di acara tersebut.
Ahi Jumat kami berangkat langsung nuju tugu Patung di Gajahan, Desa Padang. Kami becerite sambil nunggu anggota yang lain. Kami juge befoto-foto dikit di sane. Sate lah kumpul gale anggotanye, kami diajung nulu li pembina kami. Kene die nak nunggu guru kami yang lain. Kami la nulu, anye kami mandak di Balaman Patung tu, kene kami takut sesat. Kami makan kapuh kudai di pucuk batu libau. Lah lame kami udim makan, maseh belum muncul pule guru kami tu. Kene kami la lame nunggu, kami nak nulu lagi. Anye kami beanye kudai nak bibik lewat, diye tu ke kebun. Nelah kami melanjutka perjalanan.
Dang kami bejalan, segale ade. Tape kerih kami muat tu lucu-lucu. Kami tetawe terus temenggegikha. Saking kelucunye kami dik tehase agi kerih, ulehan jauh tanggung perjalanan kami tu. Di perjalanan sambil tetawe kami ngenginaki pemandangan ade di jalan tu. Kami nginak badah tambang batu bara. Alap tanggung pemandangantu. Tambang batu bara dikelilingi batang-batang besak dan bukit-bukit yang menjulang.
Dik tehase saking kelemak e kami tu, dan saking kelucu e sampai juge di lokasinye. Jeme la udim muat tenda. Kami sampai langsung tepolek di dalam tenda. Lapetang kami mandi, la balik insandi mandi kerih la bepeloh-peloh badan kami. Saking kepanas kami la dide nginai lagi jalan, teserongkow di jalan. Tuape naik tebing, udim tu kami bemasak, dilanjutke nak makan.
Lamalamnye kami ade acara yaitu acara selendang, udem tu acara teka-teki sambil nunggu bel waktu pergantian tahun baru. Sambil nunggu tu kami diajung tiduk. La siang kami begibuk bemasak. Ade yang ke heking, ade pule yang kebemasak. Kami bagian kebemasak.
Jeme heking lak balik, anye gulai lom masak. Laudem masak, kami ajung yang mikut heking tu nulu makan. Udim makan kami langsung pegi ke Cuhup Milangnye nian, kandik acara befoto besame, nak sekolah insan di SMA N 1 Merbar. La petang kami balek sehempakan nak SMA N 1 Merbar, anye di perjalanan kami bepisah. Amen kami langsung merentas nuju Desa Tanjung Beringin, amen SMA Merbar nuju Tugu Patung.
Dari Kegiatan kami ini mendapat ilmu, jika kita selalu bersama keakraban akan terjalin, kami mendapat sahabat baru dan ilmu baru, dan tahun baru pun menjadi sangat besar harapannya.
IMAM AZHARI XI IPA
WAKTU KEMAH
Pada hari Jumat pagi, ku bersama teman-teman berbondong-bondong pergi ke lokasi perkemahan Air Terjun Milang. Di tengah perjalanan, kami bisa menikmati keindahan alam dan kesejukan angin yang tak henti menerpa pepohonan yang tinggi menjulang.
Letak matahari milai tinggi, rasa panas pun sudah terasa. Keringat yang bercucuran tak memadamkan rasa ingin tahu yang membara. Di tengah perjalanan melihat air terjun yang mengalir jernih. Mengalir dengan derasnya. Rumpun bambu yang bertabur, pohon-pohon yang rindam dan kami melihat batu-batu besar.
Perjalanan yang begitu jauh kami jalani. Semua ini kami lakukan hanya karena kami ingin tahu.
Beberapa jam perjalanan yang kami lewati akhirnya kami sampai juga di lokasi Air terjun Milang. Kami melihat keindahan alam dan kami merasakan indahnya ciptaan yang kuasa. Semoga jangan Cuma kami yang melihat agungnya ciptaan Alloh ini.
Kami dekati air terjun yang tinggi itu, rasa lelah yang tadi mengusik dan setelah kami melihat keindahan air terjun serta keindahan alam di sekitarnya, rasa lelah dan rasa panas itu semuanya hilang seketika. Teman-teman berbondong-bondong untuk mandi, kami merasakan kesegarannya.
Tak terasa hari larut malam. Saat itu malam Sabtu. Di sana kami melakukan berbagai aktifitas seperti sholat, mandi, cari jejak dan berkumpul. Tapi pada malam Sabtu kami melakukan aktifitas hiburan. Menghibur kami semua, seperti bergitar, bernyanyi, berjoget, berpantun, teka-teki dan bercanda.
Di sana kami banyak mendapatkan teman, cowok maupun cewek. Aku sangat senang. Tappi waktu terus berjalan, hari telah pagi. Sekitar pikul 09.00 WIB kami melakukan kegiatan cari jejak. Di Pos I kami sangat sebel, kelompok kami disuruh joget nyanyi dan akting jadi laki-laki homogen. Di Pos II kami disuruh menutup mata, lalu mencari suatu benda yang ditentukan oleh kakak penjaga Pos. Saya terbentur kayu sehingga kaki terluka. Di Pos III kami disuruh menjawab pertanyaan-pertanyaan dan di Pos IV kami disuruh mencari benda dan ditutup mata di dalam air. Baju kami basah, kami sangat kedinginan.
Sekitar pikul 11.00 acara perpisahan dengan SMA N 1 Merapi Barat. kami bersalam-salaman. Kami sangat terharu karena kami baru saja bertemu dan harus bberpisah. Di perjalanan kami juga berpisah jalan. Inilah perjalanan kami ke Cuhup Milang.
Isra Marianah XI IPS 2
PERKEMAHAN DI CUHUP MILANG
Pada suatu ahi dang tanggal 30 Desember 2010 yang lalu, kami ngikuti bekemah di ayik Cuhup Milang, untuk menyambut tahun baru 2011 dengan SMA N 1 Merapi Barat. Kami bekumpul kudai di Patung. Sate sampai di patung tu, kami duduk kudai jerang, udim tu kami diajunge li kakak pembina kami nulu separu.
Pehasean kami, parak juge Patung dengan Cuhup Milang tu. Engkase gi jauh tanggungan, sampai-sampai kami behadu behape kalian. Di pehaduan petame, kami makan-makan. Pejalanannye ade nak due jaman. Akhirnye sampai juge ke Cuhup Milang
Sate sampai tu kami merasekan udara yang segar dan lagi pule lengit gale rase kerih kami tu kene la nginak Cuhup Milang. Kami mandi di Cuhup Milang tu dan acara foto-foto. Gegale befoto.
Sekitar jam 18.00 WIB ahi la petang kami ngak SMA N 1 Merapi Barat Sembahyang Maghrib. Kami besame-same sembahyang Maghrib . La udem sembahyang Maghrib kami makan besame-same. Sekitar jam 20.00 WIB kami mulai acara taun baruan, sampai jam due belas malam.
Acaranye banyak, seperti balas pantun, teka-teki dan nyanyi. Sate udim acara tu kami tiduk. Pagi-pagi kami la bemasak. Jam 08.00 kami bekumpul ngadeka heking. Udim heking tu kami makan besame-same. Kami beringkas nak balik. Kami sedih karena akan bepisah dengan SMA N 1 Merapi Barat. sebelum balik kami saling bejabat tangan.
Ayik beburu bada, bepadu
Ape yang pacak diambik, milu sampai tujuan walau dekpacak diterka
Biawak itu menirukan suara ayam, memanggil anak ayam yang sedang diasuh induknya. Namun induk ayam bersuara seperti teriakan melarang anaknya mendekati Biyawak itu. sementara lidah Biawak menjulur-julur seperti lidah ular.
Kulihat Biawak itu seperti buaya, besar, hanya perbedaannya Biawak agak tinggi kakinya dan kulitnya agak halus...
Kejadian di belakang rumah ini, beberapa hari terakhir semakin sering. Belum lagi Biawak berkepala hitam yang memang sudah setiap hari lewat memperlihatkan gelagatnya yang tercium tidak bersahabat. mungkin bersahabat dengan ayam dan bebek kami saja...
Yusita Putri XI IPA
I LOVE CURUP MILANG
Pada hari Jumat kami dan kance-kance akan ngadeke kemah di Curup Milang. Hari itu nak kance-kance kumpul di satu tujuan di Patung Desa Padang. Di sane kami sandi SMA N 1 Merapi Selatan nak nunggu SMA N 1 Merapi Barat, anye ade due sekolahan yang pegi ke Curup Milang.
Mereka tampak ramah saat bertemu di Patung. Setelah galenye bekumpul siswa-siswi dan bapak ibu guru, kami melanjutkan perjalanan yang kami tuju ke Curup Milang. Perjalanannye sangat jaudan melelahkan. Rasenye kami tak sanggup lagi untuk berjalan, krene kaki udem sakit. Beberape kali kami behadu dan perut mulai keroncongan.
Kami behangkat kire-kire jam 08.00-11.00 WIB, kami lah sampai. Mangke kami makan di jalan dan minum kudai. Udem makan kami melanjutke lagi perjalanan. Dari ayek ke ayek kami lewati tanpa lelah. Kami gale penasaran dengan Cuhup Milang. Mangkenye kami bergiat-giat bejalan untuk lebih gancang. Sekian lamenye kami bejalan tekinalah tenda jeme bekemah. Akhirnye sampaijuge kami ke tujuan untuk melihat Cuhup Milang.
Kami behadu sejenak di tenda dan menghirup udara segar. Di sane pohon-pohon yang hijau, pecak lum pernah tersentuh oleh manusie. Hati kamipun sangat senang berkemah di Curup Milang. Walaupun jalannye sangat jauh, sangat melelahkan tetapi setelah melihat Cuhup Milang rase lelah dan letih itu hilang.
Dinginnye ayek Milang, batunye besak-besak dan kami menaikinye untuk photo-photo besame kance-kance. Setelah itu kami mandi di Cuhup Milang, ayeknye jernih. Kami mandi di cucuran ayek yang terjune sangat tinggi sampai kepala kami sakit di hentam Cuhup Milang. Tersirat di hati, ayek Cuhup Milang yang diciptake Maha Pencipta sangatlah beharge. Membuat gegale jeme bahagie.
Matahari mulaila tenggelam. Kamipun begegas memasak dan sholat mahgrib berjamaah. Hari semakin gelap dan kamipun mengadeka acara lingkaran dan teka-teki. Di sane kami saling menghibur untuk menyambut bergantinye tahun, yang artinye menyambut tahun baru hati kamipun bahagie. Walaupun udem malam jam 24.00WIB, dek tehase. Selesai acara kami pun istirahat, tiduk.
Matahari pagi terbit, kami begegas masak dan mandi. Kami heking menyelusuri ayek Milang yang sangat panjang dan dingin. Kami mendapat hukuman oleh kakak kelas, kerene melakukan kesalahan. Kami dihukum jongkok besusun, sampai beberape kali kami dihukum kakak kelas. Selesai tu, hari sede mulai siang, matahari mulai menyengat kami begegas balik ke tenda untuk makan siang. Sesudah makan siang, kami menyiapkan dandanan dan bersiap untuk balik. Tetapi sebelum kami ke balik, kami kembali ke Curup Milang, mandi dan acara photo dengan kance-kance SMA Merapi Barat sebagai tanda perpisahan. Udemtu kami kembali ke tenda dan kami berkumpul untuk berdoa sebelum ke balik agar selamat di perjalanan. Selesai bedoa, kami membersihkan sampah-sampah yang ade di sekitar tempat bekemah. Dem tu kami besalaman dan saling bemaafan.
Kami mulai bejalan la ke balik. Sampai ke dusun kami becerite dengan kance-kance betape indahnye Curup Milang, tak terlupakan dan menjadi pengalaman hidup semase di SMA N 1 Merapi Selatan. Saya bekate, MARILAH KITE MENCINTAI ALAM DAN MENJAGANYA. Pesan saya pada kance-kance yang akan datang, KARENA ALAM SANGAT TERGANTUNG TERHADAP MANUSIE. JIKE KITE MENJAGENYE MAKE SEMAKIN INDAH DAN MENGHIBUR HATI KITE.
Yohandi XI IPA
KEMAH CURUP MILANG SMA N 1 MERAPI SELATAN BERSAMA SMA N 1 MERAPI BARAT
Saya dan teman-teman dari SMA N 1 Merapi Selatan berangkat ke Patung. Semua berkumpul terlebih dulu sebelum berangkat ke Curup Milang. Setelah kami berkumpul besame SMA Negri 1 Merapi Barat. setelah semua berkumpul kami langsung menempuh perjalanan menuju Curup Milang.
Kami semua kecapean. Kami merasa tidak sampai-sampai ke Curup Milang. Kami bertemu dengan air. Kami semua singgah di sungai itu, sambil mencuci muka. Sungguh terasa lega dan hilang semua rasa letih. Air yang kami singgahi itu sangat jernih dan segar. Lalu kami melanjutkan perjalanan.
Tidak lama kemudian kami mendengar gemuruh air Curup Milang. Kami semua sangat senang mendengat suara air tersebut. Rasa capek kamipun, hilang entah kemana. Pemandangan yang sangat indah dan air terjun yang sangat menakjubkan. Hati kami sangat senang.
Ketika kami sampai, kami langsung membuat tenda, untuk tempat kami tidur dan masak-memasak. Tidak lama kemudian, ada teman kami dari SMA N 1 Merapi Barat. ia mengajak kami untuk sholat Jumat. Karena kami terlalu capek, kami tidak bisa mengikuti sholat jumat yang dilaksanakan di tanah lapang.
Hari mulai malam, kami mulai makan. Untuk memeriahkan perkemahan tersebut, kami berkumpul melaksanakan kegiatan tahun baru. Saya dan kawan-kawan sangat senang. Ketika malam tahun baru kami diminta untuk bernyanyi sambil bergitar. Setelah itu kami melanjutkan joget bareng cewek-cowok. Malam itu sangat seru. Kami merayakan tahun baru tanpa gangguan apapun.
Semalaman saya, Doni dan Densih tidak tidur karena kami ngapel, sama cewek SMA N 1 Merapi Barat. gak disangka-sangka kami dapat cewek pada malam itu. hati saya dan teman-teman sangat senang.
Jam sudah menunju ke pukul 12 malam. Hati kami dak dik duk, bergetar, ketika melihat jarum jam terus berjalan. Tidak lama kemudian jam menunjukkan tepat jam 12 malam. Kami bernyanyi bersama-sama dan bergitar yang sangat heboh.
Oooo... sangat seru malam itu . tak terbayangkan kalau kami akan merayakan tahun baru berada di Curup Milang. Curup Milang yang indah tanpa henti. Rasanya kami tak mau pulang, karena menikmati sejuknya udara, pohon-pohon bergemulai terkena angin yang terus berhembus.
Hari mulai siang, kami semua mandi. Kemudian kami melaksanakan heking. Dalam perjalanan heking, banyak sekali rintangan dan cobaan pada kami. Kami di hukum untuk berjoget, bernyanyi, menirukan gaya banci dan ditutup mata sambil berjalan.
Oh sangat seru pokoknya. Ketika selesai melakukan heking, kami kembali mandi di Curup Milang sambil berfoto-foto di atas batu besar sekali. Setelah itu kami makan bersama. Setelah itu kami bersiap-siap untuk pulang. Kami membersihkan dulu tempat berkemah.
Kami kumpul sebelum pulang, kami berdoa dan mengucapkan terimakasih kepada Curup Milang. Di lain hari InsyaAlloh berjumpa lagi. Kami berdoa lagi untuk menutup acara itu. setelah itu kami langsung pulang.
Rabu, 23 November 2011
PEMENANG LIGA MONOLOG INDONESIA DIBOYONG TEATER GENDING MUARAENIM
Oleh Jajang R Kawentar
Kompetisi Liga Monolog Indonesia (LMI) #1 yang digelar di Gedung Kesenian Dewi Asri Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Jalan Buah Batu Kota Bandung Jawa Barat oleh Konsorsium LMI #1 pada 7-11 Novenber 2011 lalu, mempertemukan aktor-aktor teater muda dari beberapa wilayah Indonesia. Mereka menunjukan kebolehannya dalam berakting, dengan membawakan cerita-cerita tentang kearifan lokal. Namun para aktor muda tersebut tidak hanya mengaktualisasikan kemampuan dalam berakting saja, tetapi juga saling berbagi pengalaman dan menyambungkan silaturahmi diantara para pekerja teater dan sekaligus kelompok-kelompok taater dari berbagai daerah yang dimotori oleh kaum muda Indonesia.
Kompetisi Monolog yang direncanakan tahunan ini mengambil tema ‘Lokalitas adalah Identitas’ diisi kegiatan Bakti Aktor, Workshop Keaktoran, Diskusi Keaktoran, Pameran, dan Deklarasi Perserikatan Aktor Muda Teater Indonesia.
Satu-satunya peserta LMI dari Sumatera Selatan adalah Teater Gending Kabupaten Muaraenim, dan dalam kesempatan itu pula Teater Gending meraih peringkat pertama sebagai aktor terbaik sekaligus Duta Aktor Muda Indonesia dalam kompetisi LMI tersebut. Dalam hal ini Fikri MS, sebagai ketua dari Teater Gending Muaraenim sebagai sutradara sekaligus aktor monolog tersebut dan membawakan naskah Rebana yang ditulisnya sendiri. Fikri MS membawa 4 orang kru pendukung penyempurna performancenya. Dodi Irawan, sebagai penata musik, Hendrik K, Adeh Arianto dan Dodi penalosa pemain musik. Ilustrasi musik ini sangat membantu dalam menghidupkan suasana dan menggerakkan suasana masa silamkesenian rebana di Muaraenim ke dalam apresiasi para penonton.
Hanya sebuah kursi kayu dan satu Rebana besar sebagai teman bermain monolog, Fikri MS mampu merebut perhatian para penonton. Dengan kostum bergaya melayu lama, dia begitu menjiwa. Kenapa tidak Fikri MS merupakan aktor, sekaligus dia sebagai motor dalam menghidupkan kembali kesenian rebana di Muaraenim saat ini. Jadi berbagai harapan dan kendala yang dihadapinya saat ini jelas menjadi bagian dari kehidupannya. Sehingga begitu mudahnya dan mengalir saja ketika mengungkapkan setiap kata dan kalimat dengan logat Muaraenim Sumatera Selatannya di atas pentas.
Rebana Sebagai Simbol Perlawanan
Naskah Rebana, mengisahkan bagaimana sebuah perjuangan seorang Salam Said pada masa muda dengan kawan-kawannya sampai kini mempertahankan kesenian Rebana. Dengan sebuah rebana sebagai koneksi pengingat ke dalam masa silamnya itu, mampu menembus aura dan roh masa silam dengan tabuhannya yang menawan. Rebana yang pada masanya merupakan kesenian idola masyarakat Muaraenim, terutama para remaja. Saat ini harus terus berperang melawan seni dari negeri asing yang terus berdesakan melalui berbagai macam sisi dan teknologi. Umumnya anak muda tidak hirau lagi dengan kesenian rebana. Sementara Salam Said sendiri tak berdaya, hanya berharap akan ada orang yang membantu dan memahami betapa indahnya kesenian yang menjadi denyut nadinya itu. Serta ia berharap ada sebuah generasi yang bisa mmelelstarikan kesenian ini.
Rebana sebagai alat musik utama pengiring tradisi arak-arakan menyambut pengantin sunat atau pengantin pernikahan di daerah Muaraenim. Muaraenim sendiri merupakan kota tua sebagai cikal bakal terbentuknya sebuah kabupaten. Seni tradisi arak-arakan muncul sebagai hiburan, juga menyampaikan pesan-pesan keagamaan dan pepatah atau wejangan.
Naskah monolog Rebana ini sesungguhnya merupakan sebuah kritik terhadap anak muda Muaraenim dan terhadap masyarakatnya, mungkin juga terhadap pemerintahan yang mengayomi kesenian tradisi atau budaya daerah. Karena tidak mendapat perhatian, untuk mengembangkan dan ikut melestarikannya.
Dalam monolog tersebut Rebana menjadi sebuah simbol perlawanan terhadap sikap generasi muda yang tidak perduli lagi dengan seni tradisi, bahkan cenderung melecehkan kesenian tersebut. Sesungguhnya kesenian rebana selaras dengan jiwa masyarakatnya. Sebab sejak nenek moyang lahir rebana menjadi satu-satunya alat musik yang mudah di temui di daerah Sumatera dan mudah dipelajari tabuhannya.
Ketika rebana ditabuh seperti sebuah genderang untuk segera memulai mencintai kesenian tradisi daerah. Seakan meneriakkan “ayo lestarikan kesenian kita sendiri”, buanglah sikap tidak perduli dan gensi menekuni kesenian nenek moyang kita. Fikri MS dan Teater Gending Muaraenim telah melakukannya serta berusaha mengembangkannya.
Apresiasi LMI di Bandung merupakan wujud keseriusan dari kelompok Teater Gending Muaraenim dalam berkesenian, dan berusaha mewujudkan sebuah cita-cita luhur dengan meraih simpati para remaja di Muaraenim dalam menciptakan iklim berkesenian yang kondusif di daerahnya sendiri.
Bagaimana apresiasi dari masyarakat daerahnya sendiri, Muaraenim, Dewan Kesenian, dan pemerintahannya? Tentunya sebuah kebanggaan bagi daerah memiliki para penggiat kesenian seperti yang dilakukan Fikri MS bersama anggota Teater Gending tersebut. Karena sebetulnya membangun kondisi berkesenian seperti yang dilakukan Teater Gending saat ini, sangat sulit. Tetapi mereka terus bergerak, mereka berbicara, tidak hanya ngomong namun diiringi dengan segudang karya dan prestasi.
Pentas Monolog di Tiga Kota
Apresiasi yang diberikan dari Konsorsium LMI #1, Teater Gending Muaraenim dalam hal ini Fikri MS diberikan fasilitas untuk pentas monolog di tiga kota pada 14-31 Januari 2012. Pertama pentas di Kota tempat pemenang berada yaitu di Muaraenim,kedua di Jakarta yaitu di Bengkel Teater Rendra dan ketiga di Institut Seni Indonesia Yogyakarta.
Selain mendapat fasilitas untuk pentas di tiga kota, Fikri sebagai aktor terbaik sekaligus Duta Aktor Muda Indonesia versi LMI 2011, ia mendapat Piagam Penghargaan, Tropy dan uang pembinaan sebesar 2,5 juta. Dengan diraihnya penghargaan ini, menjadi motivasi bagi Teater Gending untuk lebih giat memberdayakan kaum muda melakukan kerja-kerja budaya di Muaraenim khususnya dan Sumatera Selatan.
Teater Gending bisa dijadikan sebagai pilot projek dalam peran sertanya mengorganisir kaum muda Muaraenim untuk ikut mengembangkan dan melestarikan kesenian daerah. Disamping itu mereka berperan aktif mempromosikan kesenian daerahnya, dan berusaha menggali potensi kebudayaan daerahnya dengan mencoba menampilkan aplikasi berbagai bentuk drama ke dalam tradisi daerahnya. Sehingga bentuk tampilan karya-karyanya mengarah kepada bentuk yang khas, serta unsur lokalnya begitu kental. Seperti penggunaan logat, bahasa dan musik Muaraenim.
Teater Gending sudah mampu mewarnai dan menggairahkan kehidupan kesenian di daerah. Kelompok atau komunitas seni yang berada di daerah lain patut belajar banyak kepadanya.
Penulis adalah Pembina Komunnitas Sastra Lembah Serelo dan guru SMA Negeri 1 Merapi Selatan Kab. Lahat
Kompetisi Liga Monolog Indonesia (LMI) #1 yang digelar di Gedung Kesenian Dewi Asri Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Jalan Buah Batu Kota Bandung Jawa Barat oleh Konsorsium LMI #1 pada 7-11 Novenber 2011 lalu, mempertemukan aktor-aktor teater muda dari beberapa wilayah Indonesia. Mereka menunjukan kebolehannya dalam berakting, dengan membawakan cerita-cerita tentang kearifan lokal. Namun para aktor muda tersebut tidak hanya mengaktualisasikan kemampuan dalam berakting saja, tetapi juga saling berbagi pengalaman dan menyambungkan silaturahmi diantara para pekerja teater dan sekaligus kelompok-kelompok taater dari berbagai daerah yang dimotori oleh kaum muda Indonesia.
Kompetisi Monolog yang direncanakan tahunan ini mengambil tema ‘Lokalitas adalah Identitas’ diisi kegiatan Bakti Aktor, Workshop Keaktoran, Diskusi Keaktoran, Pameran, dan Deklarasi Perserikatan Aktor Muda Teater Indonesia.
Satu-satunya peserta LMI dari Sumatera Selatan adalah Teater Gending Kabupaten Muaraenim, dan dalam kesempatan itu pula Teater Gending meraih peringkat pertama sebagai aktor terbaik sekaligus Duta Aktor Muda Indonesia dalam kompetisi LMI tersebut. Dalam hal ini Fikri MS, sebagai ketua dari Teater Gending Muaraenim sebagai sutradara sekaligus aktor monolog tersebut dan membawakan naskah Rebana yang ditulisnya sendiri. Fikri MS membawa 4 orang kru pendukung penyempurna performancenya. Dodi Irawan, sebagai penata musik, Hendrik K, Adeh Arianto dan Dodi penalosa pemain musik. Ilustrasi musik ini sangat membantu dalam menghidupkan suasana dan menggerakkan suasana masa silamkesenian rebana di Muaraenim ke dalam apresiasi para penonton.
Hanya sebuah kursi kayu dan satu Rebana besar sebagai teman bermain monolog, Fikri MS mampu merebut perhatian para penonton. Dengan kostum bergaya melayu lama, dia begitu menjiwa. Kenapa tidak Fikri MS merupakan aktor, sekaligus dia sebagai motor dalam menghidupkan kembali kesenian rebana di Muaraenim saat ini. Jadi berbagai harapan dan kendala yang dihadapinya saat ini jelas menjadi bagian dari kehidupannya. Sehingga begitu mudahnya dan mengalir saja ketika mengungkapkan setiap kata dan kalimat dengan logat Muaraenim Sumatera Selatannya di atas pentas.
Rebana Sebagai Simbol Perlawanan
Naskah Rebana, mengisahkan bagaimana sebuah perjuangan seorang Salam Said pada masa muda dengan kawan-kawannya sampai kini mempertahankan kesenian Rebana. Dengan sebuah rebana sebagai koneksi pengingat ke dalam masa silamnya itu, mampu menembus aura dan roh masa silam dengan tabuhannya yang menawan. Rebana yang pada masanya merupakan kesenian idola masyarakat Muaraenim, terutama para remaja. Saat ini harus terus berperang melawan seni dari negeri asing yang terus berdesakan melalui berbagai macam sisi dan teknologi. Umumnya anak muda tidak hirau lagi dengan kesenian rebana. Sementara Salam Said sendiri tak berdaya, hanya berharap akan ada orang yang membantu dan memahami betapa indahnya kesenian yang menjadi denyut nadinya itu. Serta ia berharap ada sebuah generasi yang bisa mmelelstarikan kesenian ini.
Rebana sebagai alat musik utama pengiring tradisi arak-arakan menyambut pengantin sunat atau pengantin pernikahan di daerah Muaraenim. Muaraenim sendiri merupakan kota tua sebagai cikal bakal terbentuknya sebuah kabupaten. Seni tradisi arak-arakan muncul sebagai hiburan, juga menyampaikan pesan-pesan keagamaan dan pepatah atau wejangan.
Naskah monolog Rebana ini sesungguhnya merupakan sebuah kritik terhadap anak muda Muaraenim dan terhadap masyarakatnya, mungkin juga terhadap pemerintahan yang mengayomi kesenian tradisi atau budaya daerah. Karena tidak mendapat perhatian, untuk mengembangkan dan ikut melestarikannya.
Dalam monolog tersebut Rebana menjadi sebuah simbol perlawanan terhadap sikap generasi muda yang tidak perduli lagi dengan seni tradisi, bahkan cenderung melecehkan kesenian tersebut. Sesungguhnya kesenian rebana selaras dengan jiwa masyarakatnya. Sebab sejak nenek moyang lahir rebana menjadi satu-satunya alat musik yang mudah di temui di daerah Sumatera dan mudah dipelajari tabuhannya.
Ketika rebana ditabuh seperti sebuah genderang untuk segera memulai mencintai kesenian tradisi daerah. Seakan meneriakkan “ayo lestarikan kesenian kita sendiri”, buanglah sikap tidak perduli dan gensi menekuni kesenian nenek moyang kita. Fikri MS dan Teater Gending Muaraenim telah melakukannya serta berusaha mengembangkannya.
Apresiasi LMI di Bandung merupakan wujud keseriusan dari kelompok Teater Gending Muaraenim dalam berkesenian, dan berusaha mewujudkan sebuah cita-cita luhur dengan meraih simpati para remaja di Muaraenim dalam menciptakan iklim berkesenian yang kondusif di daerahnya sendiri.
Bagaimana apresiasi dari masyarakat daerahnya sendiri, Muaraenim, Dewan Kesenian, dan pemerintahannya? Tentunya sebuah kebanggaan bagi daerah memiliki para penggiat kesenian seperti yang dilakukan Fikri MS bersama anggota Teater Gending tersebut. Karena sebetulnya membangun kondisi berkesenian seperti yang dilakukan Teater Gending saat ini, sangat sulit. Tetapi mereka terus bergerak, mereka berbicara, tidak hanya ngomong namun diiringi dengan segudang karya dan prestasi.
Pentas Monolog di Tiga Kota
Apresiasi yang diberikan dari Konsorsium LMI #1, Teater Gending Muaraenim dalam hal ini Fikri MS diberikan fasilitas untuk pentas monolog di tiga kota pada 14-31 Januari 2012. Pertama pentas di Kota tempat pemenang berada yaitu di Muaraenim,kedua di Jakarta yaitu di Bengkel Teater Rendra dan ketiga di Institut Seni Indonesia Yogyakarta.
Selain mendapat fasilitas untuk pentas di tiga kota, Fikri sebagai aktor terbaik sekaligus Duta Aktor Muda Indonesia versi LMI 2011, ia mendapat Piagam Penghargaan, Tropy dan uang pembinaan sebesar 2,5 juta. Dengan diraihnya penghargaan ini, menjadi motivasi bagi Teater Gending untuk lebih giat memberdayakan kaum muda melakukan kerja-kerja budaya di Muaraenim khususnya dan Sumatera Selatan.
Teater Gending bisa dijadikan sebagai pilot projek dalam peran sertanya mengorganisir kaum muda Muaraenim untuk ikut mengembangkan dan melestarikan kesenian daerah. Disamping itu mereka berperan aktif mempromosikan kesenian daerahnya, dan berusaha menggali potensi kebudayaan daerahnya dengan mencoba menampilkan aplikasi berbagai bentuk drama ke dalam tradisi daerahnya. Sehingga bentuk tampilan karya-karyanya mengarah kepada bentuk yang khas, serta unsur lokalnya begitu kental. Seperti penggunaan logat, bahasa dan musik Muaraenim.
Teater Gending sudah mampu mewarnai dan menggairahkan kehidupan kesenian di daerah. Kelompok atau komunitas seni yang berada di daerah lain patut belajar banyak kepadanya.
Penulis adalah Pembina Komunnitas Sastra Lembah Serelo dan guru SMA Negeri 1 Merapi Selatan Kab. Lahat
Selasa, 04 Januari 2011
PECUNDANG
cerpen yadhi rusmiadi jashar
"Aku bukan pecundang!!!" ujarku lantang di suatu rembang petang saat gemawan berarak pulang.
"Hehehehe, hidupmu selalu dirundung kekalahan, dari detak ke detik dan hari membulan-bulani tahun, kau tetap saja selalu kalah. Grafik hidupmu terus menurun dari waktu ke waktu, hampir menembus titik nadir. Hah, kau selalu kalah. kalah... kalah..." ejek Saya. Amarah masih bisa kutahan, sebab kutahu Tuhan sangat sayang padaku.
"Ingat tanahmu yang tergusur yang membuatmu terdampar di belantara hutan kota metropolitan ini? Tanah yang sempat membuat hidupmu sedikit lapang itu kini menjadi pemukiman mati. Itu kekalahan pertamamu. Kau kalah... kalah ... kalah..." kembali Saya mengejekku. Sengit.
"Kawan, tanah itu tanah leluhur. Kau tentu tahu, unggangku, pemilik pertama tanah itu, mendapat gelar Pahlawan karena mengorbankan nyawanya demi kemerdekaan tanah air ini. Hanya sekedar mengorbakan tanah seupil, untuk kompleks pemakaman pula, masak penuh perhitungan. Lagian tanah itu tidak digusur gratis." jawabku.
"Tapi kini kau tak punya tanah, toh. Tak punya lagi rumah dan ladang sayur yang juga ikut tergusur. Uang ganti ruginya lari kemana, hayo. Dan satu lagi kekalahanmu, istrimu minggat, anakmu tidak tahu sekarang di mana. Saya tidak yakin anakmu turut mantan istrimu. Jangan-jangan sudah dijual orang, jadi babu atau mungkin melacurkan diri... Duh... duh... duh... kalau ternyata benar, berapa banyak sudah kau menabung kekalahan. Kalah... kalah.... kalah." Saya mencecar dengan penuh sindiran. Amarahku sudah di ubun-ubun.
"Setiap manusia membawa nasibnya sendiri-sendiri. Tuhan penuh kasih. Hidup mereka sudah ada dalam garisanNya. Ingat kawan, Tuhan tak akan menimpakan cobaan pada suatu kaum melebihi batas kemampuannya, ngerti kamu."
"Selompret... Tuhan kau bawa-bawa untuk menutupi kekalahanmu. Makan nih, bau kentut. Kau kalah... kalah... kalah... pecundaaaang!!!!"
"Diam kau. Dalam hidup tak ada kalah atau menang. Semua yang dialami manusia adalah pencerahan. Jangan kau anjurkan aku meloncat dari jembatan Ampera menuju dasar Musi."
"Kalau tanah tak digusur, aku belum tentu bisa mengenal kota metropolitan ini. Aku akan tetap terjebak dalam hirup-pikuk desa kecil bagai katak dalam tempurung. Kalau istriku tak minggat dan anak-anakku tak lari, aku mungkin tak diajarkan bagaimana rasanya tak bertanggung jawab pada orang lain. Seperti saat di dusun dulu. Sekarang aku belajar bertanggung jawab pada diri sendiri. Hal yang dulu kuabaikan karena aku sibuk menanggungjawabi orang lain...."
"Hallllaaaah.... kutu kuprettt... Simpan semua pencerahan itu. Itu hanya pengalihanmu atas fakta kekalahan yang bertubi-tubi menerjangmu. Kamu pengen rumahmu yang dulu, kan? Kamu pengen kebun sayur yang digusur dulu, kan? Kamu pengen beristri lagi, kan? Haah..., Itu burung lama tergantung, bulukan, tau!!! Hahahahahaha.... kamu... kamu... dasar pecundang, banyak alasan," tawa Saya memecah awan berarak menjadi lima bagian. Empat bagian ngacir, terbirit lari meninggalkan satu bagian yang tergagau pakam.
"Sudahlah... hidupku aku yang menanggung, rumah suatu saat kumiliki lagi, beserta ladang sayur dan istri baru," suaraku sudah tak keras lagi. Lirih.
"Kapan, bro? Kapan? Hahahahaha... Menunggu matahari berada sejengkal dari kepala. Hahahaha." Saya terus mengusikku dengan ejekan-ejekan pedas.
Pedas dan pahit. Begitulah kenyataannya. Aku terpaksa harus membenarkan beberapa ejekan Saya. Mungkin benar Aku adalah pecundang sejati. Sejak dilahirkan, kemalangan selalu merundungku. Umakku meninggal selang beberapa jam kelahiranku. Bak lalu menitipkanku pada munting, istri dari adik ibu. Selama dalam pengasuhan munting, sampai meranjak dewasa, selama itu pula kerap aku menyaksikan perbalahan besar munting dan mangsak. Setelah dapat berpikir, aku kerap merasa akulah yang menjadi penyebab perbalahan mereka. Aku minggat, pulang ke rumah asal, rumah unggang yang didiami bak.
Aku menikah juga karena terpaksa. Eh, maksudnya dipaksa. Ceritanya, aku dijebak dan dipaksa menikahi gadis yang sudah bunting dua bulan. Ceritanya, malam itu aku bertandang ke rumahnya. Biasa, anak muda yang baru beranjak dewasa. Baru setengah jam ngobrol di ruang tamu, di luar rumah orang sudah ramai. Ada wak kadus juga. Aku lalu dibawa ke rumah wak kadus dan disuruh menandatangani surat perjanjian untuk menikahi gadis yang baru sekali kutemui. Aku dan bak tak dapat berbuat banyak mendapat desakan warga hampir separuh dusun. Akhirnya, aku mengawini gadis yang sudah bunting dua bulan! Jadilah dia istriku. Tapi, aku menerimanya dengan besar hati. lagi pula istriku tidak banyak tingkah, patuh, dan mampu mengambil hati bak yang mulai sakit-sakitan. Sebelum anak pertamaku lahir, bak sudah pulang.
Dalam hidup, satu-satunya kebahagiaan yang tak terkira dan kuanggap sebagai kemenangan adalah saat anak-anakku lahir.
Lahir. Tapi, jangan anggap pula kelahiran anak-anakku sebagai kekalahan. Ketiga anakku bernasib sama, tertahan di rumah sakit kabupaten dan keluar bukan dari lubang semestinya. Lahir lewat perut!!! Istriku pendarahan serius. Anakku tertahan karena biaya operasi kurang. Duh... Sampai masuk koran, lagi.
"Kenapa merenung," usik Saya lagi.
"Memikirkan segintir kemenangan yang pernah diraih?"
"Hhhhhh"
"Atau, kau ingin merasakan menang dengan mudah?
"Atau kau ingin melupakan tumpukan kekalahanmu?"
"Hahahahahahaha... Hidup jangan terlalu lurus, bung. Bengkok-bengkok sedikit ya tidak apa-apa." ujar Saya beruntun. Menghipnotisku.
"Ah, Tuhan ajari aku memaknai kekalahan. Hidup semakin sulit. Sehari kadang tak makan. Petak kost yang kusewa di 22 Ilir, keseringan telat bayarnya. Mulut ibu kost yang datang menagih terpengat-pengot meninggalkan gerutu sambil tak lupa menebarkan ancaman pengusiran. Becak yang baru kusewa kadang berlari mencong menghindari uberan Pol PP. Aku benar-benar terpuruk di sini. Tak ada yang bisa kulakukan untuk mengembalikan hidup seperti semula. Hanya azan dari Masjid Agunglah yang selalu mengelus dadaku. Melembutkan hati agar aku tak berbuat aneh dan nekat. Tapi, sampai kapan aku bisa bersabar dan ikhlas?" ujarku lirih tanpa suara.
"Hmmmm.... kawan, rupanya kau menyadari kekalahanmu. Kasihan. Tidak apa kawan. Aku bersamamu. Aku tahu apa yang berkecamuk di otak dan hatimu," kini suara Saya begitu lembut. Mendayu-dayu. Menggamit ruang hatiku yang sedari dulu memang telah ragu.
"Kawan... Hidup ini sulit dan berat. Kau hanya butuh secuil keberanian untuk mengembalikan hidupmu yang dulu. Belilah linggis dan obeng. Bila uang masih cukup, beli pula pemotong rantai."
"Ah, tidak. Aku tahu kau takkan punya keberanian untuk melakukan itu. Kau lihat puncak menara jembatan Ampera. Kau akan menemukan kebahagiaan di sana. Panjatlah kawan. Tuhan menunggumu di sana. Dia akan janjikan sebuah rumah dan istri yang cantik. Buatlah kontrak denganNya. Ya, di sana di ujung telunjuk Saya."
Aku memanjat salah satu menara kembar jembatan Ampera. Menuju puncak. Lalu angin bersiur kencang membuat rambut dan pakaianku melambai-lambai. Namun, di puncak menara, aku tak menemukan Tuhan. Aku hanya menemukan iblis yang tersenyum menawarkan perkawanan. Mukanya hitam, rambut jarang, kupingnya yang besar dan runcing sesekali saling bersentuhan dihembus angin kencang. Urat-urat yang membintat di matanya dan giginya yang taring semua, tak sedikitpun membuatku takut. Kukunya yang panjang kecoklatan mengimbangi tangannya yang melampai panjang. Senyumnya kembali mengembang, membujuk tanpa suara. Sementara di bawah menara jembatan Ampera, deru mobil dan motor mengeluarkan suara bising, terdengar jelas dari atas menara. Di sungai, ketek dan tongkang berlalu lalang membawa penumpang, hasil bumi, dan bahan bakar minyak oplosan. Menyeberang atau mengantar orang ke pulau Kemaro.
Yah, biar dramatis aku berteriak kencang agar orang berkerumun menyaksikan aksi nekatku. Akan kubiarkan tim penolong memanjat menara dengan susah payah. Setelah mereka dekat, aku akan meloncat ke bawah. Tinggal pilih, ke aspal jembatan yang keras dengan kepala duluan, atau ke sungai yang menawarkan banyak kemungkinan. Ah, lebih baik ke sungai Musi. Aku hanya tinggal menunggu momen yang pas untuk terjun. Ya, penolong sudah dekat. Lalu, tanpa aba-aba, Aku meloncat bebas ke sungai, memilih pas pada sampah potongan-potongan bambu yang hanyut. Kemudian, mulut orang yang berkerumun menganga lebar melihat tubuh ringkihku meghunjam sebilah potongan bambu yang runcing, menusuk dari pantat tembus ke leher. Persis kambing guling. Sebagian orang pasti memalingkan muka, ngeri.
"Haaah, tidak kawan. Aku bukan orang bodoh yang tak punya iman. Sudah kubilang, jangan selalu kau anjurkan aku memanjat menara jembatan Ampera." Aku mengeluh panjang.
"Tolooool..., Dasar pecundang!!!"
"Cukuup.... Jangan kau sebut lagi aku pecundang. Nanti kubunuh kau." amarahku yang sudah mendingin kini kembali membara.
"Hahahahaha.... Pecundang sepertimu mana pernah punya keberanian membunuh."
"Jangan buat aku berbuat kasar. Aku sudah muak padamu."
"Selagi kau tak mau menjadi pemenang dalam kehidupan, sekaliiii saja, Saya akan tetap menyebutmu pecundang... orang kalah... kalah.... kalah," kembali Saya menyindir sambil tertawa parau.
Aku sudah tak tahan, amarahku sudah tak dapat kukendalikan. Aku masuk ke petak kost, mengambil sebilah pisau lalu kembali keluar. Petang mulai meremang. Sepi.
"Huahahahaha.... Pisau dapur tumpul!!! Kau takkan berani membunuhku. Tak berani!!! Pecundang."
"Cukup.... cukup. Aku bukan pecundang. Hah, di mana kau. Hayo jangan bersembunyi. Kau belum tahu betapa tajamnya pisau dapur yang kau anggap tumpul ini." Aku benar benar kalap.
"Hahahahaha... Saya tidak bersembunyi, pecundang. Saya di lehermu. Eiitt..., tidak. Sekarang Saya ada di pergelangan tanganmu...."
Belum selesai Saya berujar, tiba-tiba, "Hhiiiih...."
Bressss.... dengan kekuatan penuh, pisauku mencari Saya. Darah segar pun mengalir dari pergelangan tanganku.
Gelap.***
~~muaraenim,30/12/10~~
Keterangan:
Unggang: kakek
Bak: ayah
Umak: ibu
Munting: bibi, istri dari adik ibu.
Mangsak: paman, adik ibu.
"Aku bukan pecundang!!!" ujarku lantang di suatu rembang petang saat gemawan berarak pulang.
"Hehehehe, hidupmu selalu dirundung kekalahan, dari detak ke detik dan hari membulan-bulani tahun, kau tetap saja selalu kalah. Grafik hidupmu terus menurun dari waktu ke waktu, hampir menembus titik nadir. Hah, kau selalu kalah. kalah... kalah..." ejek Saya. Amarah masih bisa kutahan, sebab kutahu Tuhan sangat sayang padaku.
"Ingat tanahmu yang tergusur yang membuatmu terdampar di belantara hutan kota metropolitan ini? Tanah yang sempat membuat hidupmu sedikit lapang itu kini menjadi pemukiman mati. Itu kekalahan pertamamu. Kau kalah... kalah ... kalah..." kembali Saya mengejekku. Sengit.
"Kawan, tanah itu tanah leluhur. Kau tentu tahu, unggangku, pemilik pertama tanah itu, mendapat gelar Pahlawan karena mengorbankan nyawanya demi kemerdekaan tanah air ini. Hanya sekedar mengorbakan tanah seupil, untuk kompleks pemakaman pula, masak penuh perhitungan. Lagian tanah itu tidak digusur gratis." jawabku.
"Tapi kini kau tak punya tanah, toh. Tak punya lagi rumah dan ladang sayur yang juga ikut tergusur. Uang ganti ruginya lari kemana, hayo. Dan satu lagi kekalahanmu, istrimu minggat, anakmu tidak tahu sekarang di mana. Saya tidak yakin anakmu turut mantan istrimu. Jangan-jangan sudah dijual orang, jadi babu atau mungkin melacurkan diri... Duh... duh... duh... kalau ternyata benar, berapa banyak sudah kau menabung kekalahan. Kalah... kalah.... kalah." Saya mencecar dengan penuh sindiran. Amarahku sudah di ubun-ubun.
"Setiap manusia membawa nasibnya sendiri-sendiri. Tuhan penuh kasih. Hidup mereka sudah ada dalam garisanNya. Ingat kawan, Tuhan tak akan menimpakan cobaan pada suatu kaum melebihi batas kemampuannya, ngerti kamu."
"Selompret... Tuhan kau bawa-bawa untuk menutupi kekalahanmu. Makan nih, bau kentut. Kau kalah... kalah... kalah... pecundaaaang!!!!"
"Diam kau. Dalam hidup tak ada kalah atau menang. Semua yang dialami manusia adalah pencerahan. Jangan kau anjurkan aku meloncat dari jembatan Ampera menuju dasar Musi."
"Kalau tanah tak digusur, aku belum tentu bisa mengenal kota metropolitan ini. Aku akan tetap terjebak dalam hirup-pikuk desa kecil bagai katak dalam tempurung. Kalau istriku tak minggat dan anak-anakku tak lari, aku mungkin tak diajarkan bagaimana rasanya tak bertanggung jawab pada orang lain. Seperti saat di dusun dulu. Sekarang aku belajar bertanggung jawab pada diri sendiri. Hal yang dulu kuabaikan karena aku sibuk menanggungjawabi orang lain...."
"Hallllaaaah.... kutu kuprettt... Simpan semua pencerahan itu. Itu hanya pengalihanmu atas fakta kekalahan yang bertubi-tubi menerjangmu. Kamu pengen rumahmu yang dulu, kan? Kamu pengen kebun sayur yang digusur dulu, kan? Kamu pengen beristri lagi, kan? Haah..., Itu burung lama tergantung, bulukan, tau!!! Hahahahahaha.... kamu... kamu... dasar pecundang, banyak alasan," tawa Saya memecah awan berarak menjadi lima bagian. Empat bagian ngacir, terbirit lari meninggalkan satu bagian yang tergagau pakam.
"Sudahlah... hidupku aku yang menanggung, rumah suatu saat kumiliki lagi, beserta ladang sayur dan istri baru," suaraku sudah tak keras lagi. Lirih.
"Kapan, bro? Kapan? Hahahahaha... Menunggu matahari berada sejengkal dari kepala. Hahahaha." Saya terus mengusikku dengan ejekan-ejekan pedas.
Pedas dan pahit. Begitulah kenyataannya. Aku terpaksa harus membenarkan beberapa ejekan Saya. Mungkin benar Aku adalah pecundang sejati. Sejak dilahirkan, kemalangan selalu merundungku. Umakku meninggal selang beberapa jam kelahiranku. Bak lalu menitipkanku pada munting, istri dari adik ibu. Selama dalam pengasuhan munting, sampai meranjak dewasa, selama itu pula kerap aku menyaksikan perbalahan besar munting dan mangsak. Setelah dapat berpikir, aku kerap merasa akulah yang menjadi penyebab perbalahan mereka. Aku minggat, pulang ke rumah asal, rumah unggang yang didiami bak.
Aku menikah juga karena terpaksa. Eh, maksudnya dipaksa. Ceritanya, aku dijebak dan dipaksa menikahi gadis yang sudah bunting dua bulan. Ceritanya, malam itu aku bertandang ke rumahnya. Biasa, anak muda yang baru beranjak dewasa. Baru setengah jam ngobrol di ruang tamu, di luar rumah orang sudah ramai. Ada wak kadus juga. Aku lalu dibawa ke rumah wak kadus dan disuruh menandatangani surat perjanjian untuk menikahi gadis yang baru sekali kutemui. Aku dan bak tak dapat berbuat banyak mendapat desakan warga hampir separuh dusun. Akhirnya, aku mengawini gadis yang sudah bunting dua bulan! Jadilah dia istriku. Tapi, aku menerimanya dengan besar hati. lagi pula istriku tidak banyak tingkah, patuh, dan mampu mengambil hati bak yang mulai sakit-sakitan. Sebelum anak pertamaku lahir, bak sudah pulang.
Dalam hidup, satu-satunya kebahagiaan yang tak terkira dan kuanggap sebagai kemenangan adalah saat anak-anakku lahir.
Lahir. Tapi, jangan anggap pula kelahiran anak-anakku sebagai kekalahan. Ketiga anakku bernasib sama, tertahan di rumah sakit kabupaten dan keluar bukan dari lubang semestinya. Lahir lewat perut!!! Istriku pendarahan serius. Anakku tertahan karena biaya operasi kurang. Duh... Sampai masuk koran, lagi.
"Kenapa merenung," usik Saya lagi.
"Memikirkan segintir kemenangan yang pernah diraih?"
"Hhhhhh"
"Atau, kau ingin merasakan menang dengan mudah?
"Atau kau ingin melupakan tumpukan kekalahanmu?"
"Hahahahahahaha... Hidup jangan terlalu lurus, bung. Bengkok-bengkok sedikit ya tidak apa-apa." ujar Saya beruntun. Menghipnotisku.
"Ah, Tuhan ajari aku memaknai kekalahan. Hidup semakin sulit. Sehari kadang tak makan. Petak kost yang kusewa di 22 Ilir, keseringan telat bayarnya. Mulut ibu kost yang datang menagih terpengat-pengot meninggalkan gerutu sambil tak lupa menebarkan ancaman pengusiran. Becak yang baru kusewa kadang berlari mencong menghindari uberan Pol PP. Aku benar-benar terpuruk di sini. Tak ada yang bisa kulakukan untuk mengembalikan hidup seperti semula. Hanya azan dari Masjid Agunglah yang selalu mengelus dadaku. Melembutkan hati agar aku tak berbuat aneh dan nekat. Tapi, sampai kapan aku bisa bersabar dan ikhlas?" ujarku lirih tanpa suara.
"Hmmmm.... kawan, rupanya kau menyadari kekalahanmu. Kasihan. Tidak apa kawan. Aku bersamamu. Aku tahu apa yang berkecamuk di otak dan hatimu," kini suara Saya begitu lembut. Mendayu-dayu. Menggamit ruang hatiku yang sedari dulu memang telah ragu.
"Kawan... Hidup ini sulit dan berat. Kau hanya butuh secuil keberanian untuk mengembalikan hidupmu yang dulu. Belilah linggis dan obeng. Bila uang masih cukup, beli pula pemotong rantai."
"Ah, tidak. Aku tahu kau takkan punya keberanian untuk melakukan itu. Kau lihat puncak menara jembatan Ampera. Kau akan menemukan kebahagiaan di sana. Panjatlah kawan. Tuhan menunggumu di sana. Dia akan janjikan sebuah rumah dan istri yang cantik. Buatlah kontrak denganNya. Ya, di sana di ujung telunjuk Saya."
Aku memanjat salah satu menara kembar jembatan Ampera. Menuju puncak. Lalu angin bersiur kencang membuat rambut dan pakaianku melambai-lambai. Namun, di puncak menara, aku tak menemukan Tuhan. Aku hanya menemukan iblis yang tersenyum menawarkan perkawanan. Mukanya hitam, rambut jarang, kupingnya yang besar dan runcing sesekali saling bersentuhan dihembus angin kencang. Urat-urat yang membintat di matanya dan giginya yang taring semua, tak sedikitpun membuatku takut. Kukunya yang panjang kecoklatan mengimbangi tangannya yang melampai panjang. Senyumnya kembali mengembang, membujuk tanpa suara. Sementara di bawah menara jembatan Ampera, deru mobil dan motor mengeluarkan suara bising, terdengar jelas dari atas menara. Di sungai, ketek dan tongkang berlalu lalang membawa penumpang, hasil bumi, dan bahan bakar minyak oplosan. Menyeberang atau mengantar orang ke pulau Kemaro.
Yah, biar dramatis aku berteriak kencang agar orang berkerumun menyaksikan aksi nekatku. Akan kubiarkan tim penolong memanjat menara dengan susah payah. Setelah mereka dekat, aku akan meloncat ke bawah. Tinggal pilih, ke aspal jembatan yang keras dengan kepala duluan, atau ke sungai yang menawarkan banyak kemungkinan. Ah, lebih baik ke sungai Musi. Aku hanya tinggal menunggu momen yang pas untuk terjun. Ya, penolong sudah dekat. Lalu, tanpa aba-aba, Aku meloncat bebas ke sungai, memilih pas pada sampah potongan-potongan bambu yang hanyut. Kemudian, mulut orang yang berkerumun menganga lebar melihat tubuh ringkihku meghunjam sebilah potongan bambu yang runcing, menusuk dari pantat tembus ke leher. Persis kambing guling. Sebagian orang pasti memalingkan muka, ngeri.
"Haaah, tidak kawan. Aku bukan orang bodoh yang tak punya iman. Sudah kubilang, jangan selalu kau anjurkan aku memanjat menara jembatan Ampera." Aku mengeluh panjang.
"Tolooool..., Dasar pecundang!!!"
"Cukuup.... Jangan kau sebut lagi aku pecundang. Nanti kubunuh kau." amarahku yang sudah mendingin kini kembali membara.
"Hahahahaha.... Pecundang sepertimu mana pernah punya keberanian membunuh."
"Jangan buat aku berbuat kasar. Aku sudah muak padamu."
"Selagi kau tak mau menjadi pemenang dalam kehidupan, sekaliiii saja, Saya akan tetap menyebutmu pecundang... orang kalah... kalah.... kalah," kembali Saya menyindir sambil tertawa parau.
Aku sudah tak tahan, amarahku sudah tak dapat kukendalikan. Aku masuk ke petak kost, mengambil sebilah pisau lalu kembali keluar. Petang mulai meremang. Sepi.
"Huahahahaha.... Pisau dapur tumpul!!! Kau takkan berani membunuhku. Tak berani!!! Pecundang."
"Cukup.... cukup. Aku bukan pecundang. Hah, di mana kau. Hayo jangan bersembunyi. Kau belum tahu betapa tajamnya pisau dapur yang kau anggap tumpul ini." Aku benar benar kalap.
"Hahahahaha... Saya tidak bersembunyi, pecundang. Saya di lehermu. Eiitt..., tidak. Sekarang Saya ada di pergelangan tanganmu...."
Belum selesai Saya berujar, tiba-tiba, "Hhiiiih...."
Bressss.... dengan kekuatan penuh, pisauku mencari Saya. Darah segar pun mengalir dari pergelangan tanganku.
Gelap.***
~~muaraenim,30/12/10~~
Keterangan:
Unggang: kakek
Bak: ayah
Umak: ibu
Munting: bibi, istri dari adik ibu.
Mangsak: paman, adik ibu.
DEMI PURNAMA
Cerpen Pion Ratulolly[1]
Demi purnama. Demi waktu yang sempat tertahan. Kau ada dimana? Sedang aku masih setia menatap purnama kelimabelas di malam ini. Katakan kepadaku, hati siapakah yang tak berdetak kagum melihat dewi malam tengah ramah membagikan senyum pengharapan pada para penghuni alam? Di mata sejuk, di hati lembut dan di bibir decak doa senantiasa bertasbih, katamu dulu. Andai saja jarak bukan menjadi pemisah jumpa, ingin kudaki tangga langit, kudapati dewi malam, lalu bersujud langsung di hadapannya, sembari memanjatkan berjuta pohon pinta.
Syahdan, purnama naik ke tangga lima belas, di sepuluh tahun lalu. Aku bersama dirimu, istriku, sedang senang memandang bulan. Bagi kita, rembulan adalah harapan. Harapan bisa terkabul saat kedua mata kita tak pernah berkedip menyaksikan bintang jatuh di bulan purnama. Di detik itulah, kedua tangan kita tengadahkan ke langit. Sambil merapal sebuah keluhan sederhana; Duhai Sang Rembulan, percayakanlah pada kami satu saja anak Adam-Mu, untuk kami lahirkan dari rahim kasih dan sayang kami berdua. Mantra yang saban purnama kita panjatkan. Diiringi sesegukan tulusmu untuk meminta belas kasih Rembulan. Semoga Ia berkenan menjatuhkan seorang momongan dari langit malam.
“Bang!” Kuhafal benar desahan nafasmu waktu itu. Sementara aroma keringat peluhmu terasa sedikit memabukan keinginanku untuk membelaimu. Memanjakanmu mesra di atas bale-bale sambil membayangkan betapa indahnya bermain-main dengan bocah-bocah kecil keturunan kita.
“Ada apa, Adikku.Lenganku selalu kusediakan untukmu bersandar sebelum dan setelah engkau letih melantunkan doa.”
“Sepertinya aku telah kecewa pada rembulan, Bang. Selama ini, dia telah menutup kedua telinganya untuk mendengar keluh kesah kita.” Matamu nanar menatapku. Semburat senyum sangsi membekas di bibir tipismu. Aku dapat membaca kelebat durja dari sorot mata itu.
“Jangan berkata seperti itu, Sayang. Kesabaran kita sedang diuji.” Aku sedikit kecut membagikanmu sebuah senyuman sederhana. Tak seberat persoalan yang tengah kita hadapi ini.
“Seperti itu katamu dari dulu. Tak pernah berubah sepatah kata pun. Seperti rembulan yang tak pernah kunjung mengabulkan pinta kita.”
“Sayang, semua ikhtiar sudah kita lakukan. Dari tradisional maupun medis. Tetapi rupanya kita masih kurang dipercayai oleh Sang Rembulan untuk merawat anak keturunannya.”
“Harusnya kamu percaya apa kata Ama Meddo. Kita berdua tidak mandul. Kita sedang diteluh. Disihir untuk tidak punya keturunan. Buktinya, Ibu Bidan bilang rahimku sehat. Tetapi aku merasakan rahimku seperti tertusuk-tusuk jarum. Apa lagi kalau bukan teluh? ”
“Jangan berkata seperti itu, Sayang. Bersabarlah. Mungkin tidak hari ini, mungkin esok kita akan diberikan momongan.”
“Ah, selalu saja begitu. Lama-lama aku jadi tak betah. Ceraikan aku sekarang juga!”
Aku tersentak. Sebuah tombak ketakpercayaan yang tajam nian, tiba-tiba menghujam dadaku. Sakit. Pedih. Aku tak menduga jika kau akan berputus harapan seperti saat ini. Betapa sebuah gubuk rumah tangga yang selama ini telah kita bangun di atas fondasi saling pengertian harus diruntuhakan lantaran keputusasaanmu.
Dan dalam sekejap aku jadi meradang. Marah dengan segala ketaknyamananku selama ini. Jangan dikira aku juga bahagia jika tak memiliki keturunan seperti ini.
“Ya, kita cerai! Aku menceraimu dengan talak tiga.” Tanpa rencana, kalimat itu serta-merta meloncat keluar dari mulutku. Bibirku bergetar. Nafasku memburu. Mataku memerah ganas. Panas ragaku. Serasa semua ruh makhluk halus masuk ke dalam tubuhku lalu menjadikanku seolah sebuah monster yang amat mengerikan.
Tetapi tragis, sungguh sebuah drama tragedi sedang dikemas. Engkau malah terjatuh. Kejang-kejang. Tubuhmu bergetar-getar. Kusaksikan engkau sedang berperang melawan sesuatu dalam dirimu. Mulutmu meracau-racau tak jelas. Umpat, caci dan maki keluar berhamburan. Engkau kesurupan.
Aku menjadi hilang amarah sekejap. Besarnya rasa belas kasih di dalam dadaku sekejap waktu langsung mengalahkan amarahku yang sudah memuncak sebelumnya.
“Bangsat! Anjing! Aku tak akan pernah berhenti mengejarmu. Sampai ke liang lahar sekali pun. Hahaha!!!”
Ah, ada apa lagi ini? Mengapa semua harus seperti ini? Mengapa istriku yang hendak kucaraikan harus mencaci-makiku sepedis ini? Tak sekali pun aku diperlakukan serendah ini oleh istriku selama ini.
“Kau tahu, aku siapa?” Kulihat wajahmu memerah sungguh. Sinar matamu ganas menatapku penuh dendam. Sebuah dendam lama yang telah lama kau pendam.
Aku mendekatimu. Berupaya memegang telapak tangan kananmu dan menekannya. Berharap kalau ada makhluk halus yang masuk dapat kudesak keluar.
“Heiii!!!! Sedang apa kau? Kau pura-pura lupa, siapa aku?”
Aku masih berusaha sekuat tenaga menekan telapak tanganmu. Di antara ibu jari dan jari telunjukmu, kutekan lebih kuat.
“Kau masih ingat, Ina Barek, lelaki bejat?”
“Astagga!!!”
Kali ini aku semakin tersentak. Dan tanpa lagi melihatmu, aku lari meninggalkanmu. Menutup kedua telinga atas apa yang baru saja aku dengar. Aku ingin menjauh dari segala kenyataan atas apa yang baru saja terjadi. Aku berlari dengan sekuat sisas tenagaku. Sekencang mungkin. Kalau pun harus terjatuh dan mati, aku tak takut. Saat ini mati adalah pilihan yang mungkin masih lebih baik dari pada harus menghadapimu.
Dan aku harus lari. Aku harus menjauh darimu. Sebab di dirimu saat ini bukan hanya bersemayam dirimu saja, tetapi juga Ina Barek. Gadis di sebelah kampung yang ditemukan tak lagi bernyawa di pinggiran kali kampung. Ia meninggal dengan tragis karena dicekik seseorang. Tapi kasihan, ia tengah hamil. Dan tahukah kamu, istriku, anak yang dikandungnya dan dibawa mati bersamanya, adalah anakku juga. Anak yang kubenihkan di saat malam purnama. Di saat engkau tengah berdoa menanti anak dari rembulan.
*****
Demi purnama. Demi waktu yang sempat tertahan. Kau ada dimana? Sedang aku masih setia menatap purnama kelimabelas di malam ini. Katakan kepadaku, hati siapakah yang tak berdetak kagum melihat dewi malam tengah ramah membagikan senyum pengharapan pada para penghuni alam? Di mata sejuk, di hati lembut dan di bibir decak doa senantiasa bertasbih, katamu dulu. Andai jarak bukan menjadi pemisah jumpa, ingin kudaki tangga langit, kudapati dewi malam, lalu bersujud langsung di hadapannya, sembari memanjatkan berjuta pohon doa. Maafkan aku Ina Barek; perempuan pelampiasan keputusasaanku. Maafkan aku calon anakku. Maafkan aku Ina Somi, Istriku. Maafkan aku yang tak pernah letih memandang purnama.
Kupang, 04/01/2011
Jam: 13:13
[1] Pion Ratulolly, lahir pada 31 Desember 1986 di desa pesisir Lamahala, Nusa Tenggara Timur. Ia adalah peserta Mastera (Majelis Sastra Asia Tenggara) bidang Novel di Kupang. Peserta PEKSIMINAS (Pekan Seni Mahasiswa Nasional) IX di Jambi. Peserta Temu Sastrawan Indonesia III di Tanjung Pinang. Menulis novel “atma” Putih Cinta Lamahala Kupang.
Demi purnama. Demi waktu yang sempat tertahan. Kau ada dimana? Sedang aku masih setia menatap purnama kelimabelas di malam ini. Katakan kepadaku, hati siapakah yang tak berdetak kagum melihat dewi malam tengah ramah membagikan senyum pengharapan pada para penghuni alam? Di mata sejuk, di hati lembut dan di bibir decak doa senantiasa bertasbih, katamu dulu. Andai saja jarak bukan menjadi pemisah jumpa, ingin kudaki tangga langit, kudapati dewi malam, lalu bersujud langsung di hadapannya, sembari memanjatkan berjuta pohon pinta.
Syahdan, purnama naik ke tangga lima belas, di sepuluh tahun lalu. Aku bersama dirimu, istriku, sedang senang memandang bulan. Bagi kita, rembulan adalah harapan. Harapan bisa terkabul saat kedua mata kita tak pernah berkedip menyaksikan bintang jatuh di bulan purnama. Di detik itulah, kedua tangan kita tengadahkan ke langit. Sambil merapal sebuah keluhan sederhana; Duhai Sang Rembulan, percayakanlah pada kami satu saja anak Adam-Mu, untuk kami lahirkan dari rahim kasih dan sayang kami berdua. Mantra yang saban purnama kita panjatkan. Diiringi sesegukan tulusmu untuk meminta belas kasih Rembulan. Semoga Ia berkenan menjatuhkan seorang momongan dari langit malam.
“Bang!” Kuhafal benar desahan nafasmu waktu itu. Sementara aroma keringat peluhmu terasa sedikit memabukan keinginanku untuk membelaimu. Memanjakanmu mesra di atas bale-bale sambil membayangkan betapa indahnya bermain-main dengan bocah-bocah kecil keturunan kita.
“Ada apa, Adikku.Lenganku selalu kusediakan untukmu bersandar sebelum dan setelah engkau letih melantunkan doa.”
“Sepertinya aku telah kecewa pada rembulan, Bang. Selama ini, dia telah menutup kedua telinganya untuk mendengar keluh kesah kita.” Matamu nanar menatapku. Semburat senyum sangsi membekas di bibir tipismu. Aku dapat membaca kelebat durja dari sorot mata itu.
“Jangan berkata seperti itu, Sayang. Kesabaran kita sedang diuji.” Aku sedikit kecut membagikanmu sebuah senyuman sederhana. Tak seberat persoalan yang tengah kita hadapi ini.
“Seperti itu katamu dari dulu. Tak pernah berubah sepatah kata pun. Seperti rembulan yang tak pernah kunjung mengabulkan pinta kita.”
“Sayang, semua ikhtiar sudah kita lakukan. Dari tradisional maupun medis. Tetapi rupanya kita masih kurang dipercayai oleh Sang Rembulan untuk merawat anak keturunannya.”
“Harusnya kamu percaya apa kata Ama Meddo. Kita berdua tidak mandul. Kita sedang diteluh. Disihir untuk tidak punya keturunan. Buktinya, Ibu Bidan bilang rahimku sehat. Tetapi aku merasakan rahimku seperti tertusuk-tusuk jarum. Apa lagi kalau bukan teluh? ”
“Jangan berkata seperti itu, Sayang. Bersabarlah. Mungkin tidak hari ini, mungkin esok kita akan diberikan momongan.”
“Ah, selalu saja begitu. Lama-lama aku jadi tak betah. Ceraikan aku sekarang juga!”
Aku tersentak. Sebuah tombak ketakpercayaan yang tajam nian, tiba-tiba menghujam dadaku. Sakit. Pedih. Aku tak menduga jika kau akan berputus harapan seperti saat ini. Betapa sebuah gubuk rumah tangga yang selama ini telah kita bangun di atas fondasi saling pengertian harus diruntuhakan lantaran keputusasaanmu.
Dan dalam sekejap aku jadi meradang. Marah dengan segala ketaknyamananku selama ini. Jangan dikira aku juga bahagia jika tak memiliki keturunan seperti ini.
“Ya, kita cerai! Aku menceraimu dengan talak tiga.” Tanpa rencana, kalimat itu serta-merta meloncat keluar dari mulutku. Bibirku bergetar. Nafasku memburu. Mataku memerah ganas. Panas ragaku. Serasa semua ruh makhluk halus masuk ke dalam tubuhku lalu menjadikanku seolah sebuah monster yang amat mengerikan.
Tetapi tragis, sungguh sebuah drama tragedi sedang dikemas. Engkau malah terjatuh. Kejang-kejang. Tubuhmu bergetar-getar. Kusaksikan engkau sedang berperang melawan sesuatu dalam dirimu. Mulutmu meracau-racau tak jelas. Umpat, caci dan maki keluar berhamburan. Engkau kesurupan.
Aku menjadi hilang amarah sekejap. Besarnya rasa belas kasih di dalam dadaku sekejap waktu langsung mengalahkan amarahku yang sudah memuncak sebelumnya.
“Bangsat! Anjing! Aku tak akan pernah berhenti mengejarmu. Sampai ke liang lahar sekali pun. Hahaha!!!”
Ah, ada apa lagi ini? Mengapa semua harus seperti ini? Mengapa istriku yang hendak kucaraikan harus mencaci-makiku sepedis ini? Tak sekali pun aku diperlakukan serendah ini oleh istriku selama ini.
“Kau tahu, aku siapa?” Kulihat wajahmu memerah sungguh. Sinar matamu ganas menatapku penuh dendam. Sebuah dendam lama yang telah lama kau pendam.
Aku mendekatimu. Berupaya memegang telapak tangan kananmu dan menekannya. Berharap kalau ada makhluk halus yang masuk dapat kudesak keluar.
“Heiii!!!! Sedang apa kau? Kau pura-pura lupa, siapa aku?”
Aku masih berusaha sekuat tenaga menekan telapak tanganmu. Di antara ibu jari dan jari telunjukmu, kutekan lebih kuat.
“Kau masih ingat, Ina Barek, lelaki bejat?”
“Astagga!!!”
Kali ini aku semakin tersentak. Dan tanpa lagi melihatmu, aku lari meninggalkanmu. Menutup kedua telinga atas apa yang baru saja aku dengar. Aku ingin menjauh dari segala kenyataan atas apa yang baru saja terjadi. Aku berlari dengan sekuat sisas tenagaku. Sekencang mungkin. Kalau pun harus terjatuh dan mati, aku tak takut. Saat ini mati adalah pilihan yang mungkin masih lebih baik dari pada harus menghadapimu.
Dan aku harus lari. Aku harus menjauh darimu. Sebab di dirimu saat ini bukan hanya bersemayam dirimu saja, tetapi juga Ina Barek. Gadis di sebelah kampung yang ditemukan tak lagi bernyawa di pinggiran kali kampung. Ia meninggal dengan tragis karena dicekik seseorang. Tapi kasihan, ia tengah hamil. Dan tahukah kamu, istriku, anak yang dikandungnya dan dibawa mati bersamanya, adalah anakku juga. Anak yang kubenihkan di saat malam purnama. Di saat engkau tengah berdoa menanti anak dari rembulan.
*****
Demi purnama. Demi waktu yang sempat tertahan. Kau ada dimana? Sedang aku masih setia menatap purnama kelimabelas di malam ini. Katakan kepadaku, hati siapakah yang tak berdetak kagum melihat dewi malam tengah ramah membagikan senyum pengharapan pada para penghuni alam? Di mata sejuk, di hati lembut dan di bibir decak doa senantiasa bertasbih, katamu dulu. Andai jarak bukan menjadi pemisah jumpa, ingin kudaki tangga langit, kudapati dewi malam, lalu bersujud langsung di hadapannya, sembari memanjatkan berjuta pohon doa. Maafkan aku Ina Barek; perempuan pelampiasan keputusasaanku. Maafkan aku calon anakku. Maafkan aku Ina Somi, Istriku. Maafkan aku yang tak pernah letih memandang purnama.
Kupang, 04/01/2011
Jam: 13:13
[1] Pion Ratulolly, lahir pada 31 Desember 1986 di desa pesisir Lamahala, Nusa Tenggara Timur. Ia adalah peserta Mastera (Majelis Sastra Asia Tenggara) bidang Novel di Kupang. Peserta PEKSIMINAS (Pekan Seni Mahasiswa Nasional) IX di Jambi. Peserta Temu Sastrawan Indonesia III di Tanjung Pinang. Menulis novel “atma” Putih Cinta Lamahala Kupang.
Langganan:
Postingan (Atom)