Jumat, 11 September 2009

CERPEN S. Manap TUKANG NUJUM

S. MANAP
CERPEN TUKANG NUJUM
-------------------
Teman-teman dan sahabat-sahabat.
Anda lelah ? Banyak berdebat politik? Jangan lupa ini akhir Minggu.
Santai-santai sajalah. Sambil bersantai-santai baca sajalah cerpen ini.
Untuk sementara lupakan dulu lawan maupun isi debat politik. Bisa
dilanjutkan pekan depan kan? He.. he.. he ..
S.Manap

* * *

L, demikian nama salah satu kota di Sumatera Selatan. Kota ini tidak
besar, penduduknya tidak banyak. Tapi kalau pusat kota digabungkan dengan
daerah sekitarnya, maka keseluruhan wilayahnya cukup luas. Pusat kota
terutama adalah Pasar Baru, dengan semua pertokoan dan perkantoran,
termasuk
dua gedong bioskop. Pasar Baru sekarang mempunyai sebuah pasar, berupa
gedong bertingkat..

Yang dimaksudkan dengan sekitarnya itu ialah Pasar Bawah, Pasar Lama, L
Tengah, Suka Ratu, Bandar Agung, Gunung Gajah,Talang Srinanti,Talang
Jawa,Talang Ubi dan Talang Banten.

Dulu,Talang Banten merupakan tempat tinggal sejumlah besar anak-anak
sekolah. Baik murid-murid Sekolah Lanjutan Pertama, maupun Sekolah
Lanjutan
Atas, bahkan juga yang masih duduk di Sekolah Rakyat banyak yang bertempat
tinggal di Talang Banten. Talang Banten No.511, akan selalu menjadi
kenangan, di situlah kami bertempat tinggal. Talang Banten hanya
dipisahkan
oleh beberapa rel kereta api saja dari stasiun kereta api kota, yang
merupakan bagian dari pusat kota L.

Konon kabarnya, tempat ini bernama Talang Banten, karena di sini
bermukim pendatang-pendatang dari suku Sunda dan yang terbanyak
berasal dari
daerah Banten di masa penjajahan Belanda dulu. Tetapi kemudian keadaan
berangsur-angsur berubah. Yang selanjutnya berdominasi di daerah ini
adalah
pendatang-pendatang dari suku Jawa. Di samping itu, cukup banyak juga
orang-orang dari suku Melayu dan orang-orang dari Palembang.

Kalau kita perhatikan "pembagian kerja" penduduk Talang Banten pada
waktu itu, gambarannya adalah seperti berikut: tukang kerupuk yang
memproduksi krupuk dan menjualnya berkeliling kota sampai ke pasar-pasar
kota Kecamatan, adalah orang-orang dari suku Jawa. Tukang tempe, yang
menjual tempenya di pasar-pasar, orang Jawa. Tukang pecal, yang dikerumuni
anak-anak sekolah, orang Jawa. Pandai besi, yang membuat kuali besi dan
kompor-kompor minyak tanah, alat pemasak yang lebih mudah
penggunaannya dari
kayu bakar atau arang batu itu, orang Jawa. Buruh-buruh kereta api, dari
masinis, tukang rem, tukang wesel, juga orang Jawa. Hanya penjual
empek-empek di pinggir jalan kereta api di malam hari itu saja yang orang
Palembang. Orang-orang suku Melayu yang tinggal di sini terdiri dari
anak-anak sekolah atau pegawai rendahan atau guru-guru Sekolah Dasar.
Sedangkan orang-orang dari suku Sunda jumlahnya sangat sedikit, bahkan
bisa
dihitung dengan jari. Keluarga Pak Bona adalah salah satu dari keluarga
Sunda itu.

Menurut yang sering dibicarakan orang di Talang Banten, Pak Bona itu
orang penting yang tidak bisa diremehkan. Sebabnya dia bisa membaca
suratan
tangan. Pak Bona bisa mengetahui siapa pencurinya, kalau ada orang yang
kehilangan uang atau barang. Orang-orang yang kehilangan banyak juga yang
datang kepadanya, dengan harapan bisa menemukan siapa pencurinya dan yang
penting, bisa menemukan barang yang sudah hilang itu. Kata orang, Pak Bona
juga banyak memiliki jampi-jampi. Maka itu, kalau orang tidak bisa punya
anak, atau setiap melahirkan lalu anaknya terus mati, atau anaknya
sakit-sakitan, datanglah mereka kepada Pak Bona. Itulah sebabnya, menurut
orang-orang di sekitar itu, Pak Bona itu bukan saja pembaca suratan
tangan,
ahli nujum, tapi juga dukun.

Masri, teman kami yang tamatan SMEP(Sekolah Menengah Ekonomi Pertama)
dan bekerja di Jawatan Pegadaian Negeri yang tidak jauh dari tempat
tinggal
kami, pernah menceritakan pengalaman hidupnya. Menurut Masri, dia
sudah dua
tahun bekeluarga. Baik Masri, maupun isterinya, ingin sekali punya anak.
Terserahlah, anak laki-laki atau perempuan. sama saja, yang penting punya
keturunan, mendengar suara tangis anak sendiri, jangan sunyi sepi seperti
sekarang. Mereka sudah 2 tahun hidup bersama, tapi masih belum juga ada
tanda-tanda yang memperlihatkan bahwa isterinya akan hamil. Mereka berdua
tegiur untuk menghadap Pak Bona, tukang nujum dan dukun kenamaan di Talang
Banten. "Siapa tahu bisa mengetahui hari depan,".kata Masri kepada
isterinya.

Sebagaimana petunjuk orang-orang yang pernah menghadap Pak Bona, Masri
juga menyuruh isterinya menyiapkan segala yang diperlukan.
Keperluan-keperluan untuk menghadap Pak Bona, sebetulnya tidak ada
ketentuan
tertulis, tetapi semua orang tahu dengan sendirinya, berdasarkan
cerita dari
yang menghadap terdahulu.Yang tidak boleh kurang, menurut Masri
berdasarkan
pengalamannya sendiri, yalah: beras ketan hitam empat kaleng susu, telur
ayam kumbang tiga butir, pisang emas satu sisir, tidak perlu dihitung
berapa
buah, sebuah kelapa berjenis hijau. Tentang uang tidak termasuk dalam
ketentuan kebiasaan, tapi kalau ada dan diserahkan, diterima juga.
Maka itu
menurut Masri mereka menyiapkan juga uang sedikit sebagai tambahan, dengan
harapan, siapa tahu, ada jampi-jampi yang tersimpan, yang bisa diucapkan
oleh Pak Bona, berkat tambahan uang sedikit itu.

Setelah menyerahkan beras ketan, telur ayam kumbang, pisang emas,
kelapa hijau, dan uang sedikit, maka Masri dan isterinya disuruh duduk
berdampingan di atas tikar seperti mempelai. Semua barang-barang yang
diserahkan tadi dikumpulkan di satu sudut, tidak jauh dari tempat mereka
duduk. Hanya uang saja yang tidak kelihatan lagi, mungkin langsung masuk
kedalam kantong yang menerima.

Menurut Masri, cara Pak Bona memang sopan sekali. Ketika dia
mengucapkan jampi-jampi, baik Masri mau pun isterinya tidak mengerti
karena
diucapkannya dalam bahasa Sunda. Karena tidak mengerti, maka isteri Masri
makin merasa yakin bahwa tidak lama lagi dia akan segera hamil.
Malahan dia
membayangkan akan menghamilkan anak laki-laki.

Setelah selesai mengucapkan jampi-jampi, Pak Bona berkata
perlahan-lahan, kali ini dalam bahasa Indonesia: "Yang di atas itu belum
menghendaki kalian berbahagia sekarang, tapi di kemudian hari kalian akan
berbahagia juga." Setelah Pak Bona selesai dengan segala pembicaraannya,
Masri dan isterinya pulang dengan perasaan lega dan gembira. Siapa tahu
jampi-jampi yang tidak dimengerti tadi menjadi sumber kebahagiaan di
kemudian hari, pikir mereka berdua.

Masa setahun berlalu begitu saja. Isteri Masri tidak hamil-hamil juga.
Mereka pun mulai berpikir lagi, apa tidak ada lagi jalan lain? Menurut
Masri, dari pada menunggu hasil jampi-jampi, apa tidak lebih baik kalau
mencoba menemui dokter. Mereka pun mengambil keputusan untuk pergi
menghadap
dr Rudio yang berpraktek dari jam 16.00 sore sampai malam di rumahnya yang
berseberangan jalan dengan kantor CPM. Jalan itulah yang di lewati oleh
anak-anak yang pulang pergi dari sekolah.

Masri tidak rela kalau isterinya pergi ke pemeriksaan dokter seorang
diri, sebab semua orang tahu dari kabar yang banyak beredar, bahwa dr
Rudio
itu sambil membuka praktek, juga melakukan praktek yang lain. Ini
dibuktikan
dari hamilnya seorang pasien. Kebetulan saja pasien yang dihamilinya itu,
belum punya suami. Lalu mereka selesaikan persoalannya di Kantor Urusan
Agama. Mereka melakukan apa yang dinamakan orang "kawin kantor." Dengan
begitu, dr Rudio beristeri dua. Sejak itu kata-kata berpoligami semakin
dikenal orang di kota kecil kami, artinya seorang laki-laki beristeri
lebih
dari satu.

Isteri dr Rudio yang pertama tidak dilepasnya, sebab parasnya manis
dan merupakan hasil percintaan dari pandangan mata pertama di masa muda,
sekali pun tidak bisa melahirkan anak. Isterinya yang kedua ini juga harus
dipertahankan, sekali pun hanya didapat akibat dari mata gelap sewaktu
membuka praktek tambahan, sebab dari sini dia bisa mempunyai keturunan.

Pada waktu itu di seluruh kota L hanya ada tiga orang dokter. Di
samping dr Rudio, masih ada dr Mularman, Kepala Rumah Sakit Umum dan masih
ada lagi dr Ghulam Muhammad seorang dokter bantuan PBB yang berkebangsaan
India. Ketiga orang dokter tersebut membuka praktek sore hari di rumah
masing-masing. Dokter Ghulam Muhammmad tidak bisa berbahasa Indonesia, dia
bisa berbahasa Inggris, karena itu dia memerlukan bantuan juru rawat yang
merangkap sebagai penterjemahnya.

Dokter Mularman merasa kecewa dengan adanya peristiwa dr Rudio. Sebab
peristiwa itu bisa mendatangkan ketakutan pada pasien wanita yang mau
datang
ke praktek mereka di sore apa lagi malam hari. Menurut dr Mularman, jangan
sampai mengganggu pasien. Lebih baik menempuh cara dr Ghulam
Muhammmad. Bagi
dr Ghulam Muhammad, ketika ada juru rawat pembantunya mendekat, jangan
mengelak apalagi menjauhkan diri. Sebab kalau dijauhi berarti menolak
rezeki
yang datang sendiri. Dengan cara inilah maka dr Ghulam yang berbulu dada
lebat dan berbadan tinggi itu bisa menggandeng gadis Melayu yang kecil
mungil. Waktu itu semua orang tahu bahwa di kota L sebelum dr Ghulam
datang,
hanya ada seorang saja orang yang dadanya berbulu lebat seperti dr Ghulam,
yaitu seorang laki-laki keturunan India penjual mertabak di Pasar Baru,
yang sering dipanggil orang Tambi. Lama-kelamaan baru orang tahu bahwa
Tambi
itu dalam bahasa Hindu bisa berarti adik.

Kembali kepada soal Masri dan isterinya tadi. Melalui pemeriksaan dr
Rudio, baru diketahui bahwa Tini, isteri Masri, memang kurang sehat dan
perlu pengobatan. Melalui pengobatan inilah baru keinginan mereka mau
mempunyai keturunan dikabulkan oleh "yang diatas itu", seperti yang
dikatakan Pak Bona dulu. Akhirnya Masri berkesimpulan, untuk apa
susah-susah mengumpulkan beras ketan, telur ayam kumbang, pisang emas,
kelapa hijau dulu itu, kalau kebahagiaan cukup didapat melalui pengobatan
dokter? Sejak itulah Masri meragukan kemampuan tukang baca suratan tangan
dan jampi-jampi, sekali pun jampi dalam bahasa Sunda.

Zainal, salah seorang dari anak sekolah yang mangkal di Talang
Banten, malah tidak senang mendengar Pak Bona menjadi termasyhur karena
pandai nujum. Dia ingin sekali membuktikannya. Idenya pun muncul ketika
melihat ayam Pak Bona berkeliaran mencari makan di halaman. Oleh Zainal
dilemparkannya dua butir nasi kering kearah seekor ayam betina. Nasi itu
dimakan oleh ayam betina yang gemuk. Dilemparkannya lagi beberapa butir ke
dekat pintu. Dimakan lagi oleh ayam yang itu juga. Terakhir dihamburkannya
sisa-sisa nasi kering itu kedalam rumahnya. Ayam betina itu terus masuk
mengejar makanan. Zainal menutup pintu. Ayam yang sudah terkurung itu
ditangkapnya. Sayap ayam dilipatkannya supaya tidak menggelepar dan
mengundang bunyi.Untuk mencegah ayam itu tidak berkeok, ditutupnya
keras-.keras paruh ayam tangkapannya. Terakhir ayam itu dipotong dan
dimasaknya. Teman-teman yang mengetahui perbuatannya itu, semua diajaknya
ikut makan., katanya sebagai upah tutup mulut.
Semua yang ikut makan tahu, bahwa harus menjaga kerahasiaan, tanpa
perlu dibicarakan. Sehabis makan, Zainal masih juga berbicara, bahwa semua
yang ikut makan harus membungkam mulut sendiri-sendiri kalau ada keributan
soal hilangnya ayam Pak Bona. Ada yang bertanya kepada Zainal: "Kalau Pak
Bona dengan kemampuan nujumnya bisa tahu, kita harus berbuat apa?" Menurut
Zainal dia bersedia membayar dua kali lipat harga ayam, asal tidak
berurusan
dengan polisi. Tapi Zainal memang yakin "asal semua tutup mulut"sambil
ditunjuknya mulut salah seorang teman yang ikut makan ayam, "nujuman Pak
Bona tidak akan mempan."

Setelah waktu berlalu, Zainal merasa senang karena dia bisa
membuktikan bahwa Pak Bona tukang nujum tersohor itu tidak berdaya mencari
pemakan ayam yang berada di sebelah rumahnya sendiri.
S.Manap

Tidak ada komentar:

Posting Komentar