Jumat, 11 September 2009

Mawar yang gugur sebelum mekar

Mawar yang gugur sebelum mekar.

Oleh. S.Manap


Saya mengenalnya sejak di sekolah rakyat. Kami teman sesekolah. Cuma kelasnya saja yang berlainan, dia di kelas VI sedang saya di kelas V. Tempat tinggal kami juga berdekatan, sebelah menyebelah gedung sekolah. Saya tinggal bersama kakak saya yang menjadi guru di sekolah kami itu. Dia tinggal di rumah orang tuanya di kantor Jawatan Penerangan Kecamatan. Kami tinggal di sebuah desa kecamatan yang bernama Bungamas.

Di desa kecamatan Bungamas ini, saya belajar satu lagu yang tak terlupakan ciptaan guru yang tidak lain adalah suami kakakku sendiri:

Bungamas bunga matahari,
Baumu tiadalah wangi.
Tetapi hatiku tertarik padamu,
Karena keluhuran budimu.
Tetapi hatiku tertarik padamu,
Karena keluhuran budimu.



Kami berpisah setahun kemudian. Dia pindah ke TebingTinggi meneruskan pelajarannya di SGB (Sekolah Guru B), sedang saya ke Lubuk Linggau, pindah ke sekolah Muhammadiyah duduk di kelas VI.

"Dik, jadilah anak yang berbudi luhur seperti yang diajarkan kakakmu". Demikian pesan kakakku sambil meneteskan air mata, sebelum saya meninggalkan Bungamas. Saya belum mengerti apa maksudnya, tapi kata-katanya bisa kuingat. Usiaku pada waktu itu mau masuk 12 tahun.

Enam tahun kemudian, kami bertemu lagi, sudah di kota Lahat. Pada waktu itu saya duduk di kelas dua SMA (Sekolah Menengah Atas) Negeri, sedangkan dia di kelas satu SGA (Sekolah Guru Atas) Negeri.

Namanya Murni, seorang gadis cantik, berkulit kuning langsat, berambut hitam lebat yang dipendekkan. Nampaknya, kecantikannya itu mewarisi kecantikan ibunya, Bu Marina. Bapaknya bernama Haji Chon, maka itu nama resminya menjadi Murni Chon.

Pada suatu sore di hari Minggu, dengan naik sepeda dari tempat tinggal kami di Talang Banten 511 ( baca: cerpen Tukang Nujum), saya berkunjung ke rumah Murni di Pasar Bawah, dekat Sungai Lematang. Setelah beramah tamah sebentar dengan Pak Haji Chon dan Bu Haji, saya minta izin untuk berbicara dengan Murni. Kami berbicara berduaan di ruang belajarnya, selama lebih kurang dua jam. Dalam pembicaraan itu, saya yang pada waktu itu sebagai pimpinan IPPI (Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia) cabang Lahat, memperkenalkan kepadanya azas dan tujuan perjuangan IPPI. Semua keterangan serta penjelasan saya itu, dapat ditangkap dan diterima Murni dengan baik. Akhirnya, dia bersedia mendirikan ranting IPPI di SGA tempatnya belajar.

Pada suatu hari, Murni mendatangi saya di sekolah untuk mengabarkan bahwa akan ada rapat peresmian ranting IPPI yang berhasil didirikannya. Saya diminta datang pada rapat peresmian hari itu.

Pada hari dan jam yang sudah ditentukan, saya bersama seorang teman pergi ke gedong SGA tempat dimana akan dilangsungkan rapat peresmian ranting IPPI yang sudah direncanakan. Waktu kami memasuki ruangan, semua anggota sudah duduk dengan teratur. Dua orang teman sekolah Murni, Pak Direktur SGA dan seorang guru lagi mendapat tempat kehormatan di barisan depan. Murni membuka dan memimpin rapat. Pak Direktur berkenan memberikan kata sambutan dan merestui berdirinya ranting IPPI di sekolah itu.

Yang terakhir, saya diminta berbicara sebagai pimpinan IPPI cabang Lahat. Tak ingat semua apa yang saya katakan pada waktu itu. Yang masih teringat yalah, saya mengharapkan supaya semua anggota IPPI baik-baik belajar, sesuai dengan semboyan IPPI, "Mari belajar, mari menari, kita sehat, tanah air kuat". Saya masih sempat melihat tamu-tamu kehormatan mengangguk-anggukkan kepala.

Berkat usaha teman-teman termasuk Murni, IPPI cabang Lahat berkembang dengan pesat. Ranting IPPI yang ada pada waktu itu antara lain: SMA Negeri (sebagai pusat kegiatan), SMA Sangsapurba, SMEA, SMEP, SMP Negeri, SMP PGRI, PGAP (Pendidikan Guru Agama Pertama), SGB dan SGA.

Di masa liburan kwartal pertama, IPPI Sumatera Selatan mengadakan konferensi di Tanjung Karang (Lampung). IPPI Cabang Lahat mengirimkan rombongan, dimana termasuk Murni di dalamnya. Saya menyempatkan diri pergi kerumah Murni untuk memintakan izin pada orang tuanya. Dalam konferensi ini, kelihatan kelincahan Murni dalam bergaul dengan teman-teman yang baru dikenalnya, yang juga datang dari berbagai daerah. Pada malam penutupan konferensi dengan acara kesenian, yang dihadiri oleh pejabat sipil dan militer Kresidenan Lampung antara lain komandan Korem Gatam (Komando Resort Militer Garuda Hitam), Murni memperkenalkan lagu-lagu daerah Lahat antara lain "Kebile-bile" yang pada waktu itu cukup populer di Sumatera Selatan.

Kebile-bile.

Kebile nian mampat bebunge,
Mangke dik payah ku ngandang lagi.
Kebile nian sipat begune,
Mangke dik payah ku midang lagi.

Kebile-bile mangke ku lege,
Kebile-bile ku ade kance.

Sepulangnya dari Tanjung Karang, saya sendiri mengantar Murni sampai kerumahnya dengan naik beca untuk menyerahkan Murni kepada orang tuanya. Kami tiba di rumahnya pagi-pagi buta ketika hari masih gelap, karena kereta api yang kami tumpangi datangnya sekitar jam 5.00 pagi.

Tidak lama kemudian kami menyelenggarakan reorganisasi IPPI cabang Lahat. Karena saya memikul tugas dalam organisasi lain dan juga menjabat sebagai sekretaris IPPI Sumatera Selatan sebagai keputusan konferensi Tanjung Karang, maka saya menyerahkan tanggunjawab saya sebagai pimpinan IPPI cabang Lahat kepada teman-teman yang kelasnya di bawah saya. Di sini Murni ikut juga dalam badan pimpinan cabang. Sejak itu pekerjaan IPPI cabang Lahat tidak banyak yang saya ketahui sampai saya pindah ke Palembang melanjutkan pelajaran pada Fakultas Hukum Universitas Seriwijaya.

Dua tahun kemudian saya bertemu lagi dengan Murni, ketika kami mengadakan demonstrasi menentang kedatangan konsul Inggris ke Palembang yang diorganisir oleh Front Pemuda Sumatera Selatan. Kami sempat berbicara hanya beberapa menit karena sibuk dengan urusan masing-masing. Diceritakannya bahwa dia sedang kuliah di FKIP (Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan) Universitas Seriwijaya. Dalam demonstrasi itu Murni berada di seberang jalan dengan menjunjung panji CGMI (Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia), sedangkan saya berada di seberang jalan yang lain dengan panji Pemuda Rakyat. Dalam demonstrasi hari itu saya masih sempat mendengar teriakan Murni: "Maju terus pantang mundur", yang kemudian diulanginya dalam bahasa Inggris: "Ever onward never retreat". Itulah suaranya terakhir yang saya dengar, dan lambaian tangannya yang terakhir sebelum meninggalkan arena demonstrasi, saya balas dengan lambaian tangan pula.

Datanglah peristiwa 30 September 1965 yang membawa tragedi nasional tak ada bandingnya. Angkatan Bersenjata terutama Angkatan Darat berkuasa dan mengganas. Penangkapan-penangkapan serta pembunuhan besar-besaran dilakukan terhadap golongan kiri dan pendukung Presiden Soekarno. PKI dan ormas-ormasnya menjadi inceran utama termasuk CGMI. Murni ditangkap pada gelombang penangkapan pertama dan dijebloskan ke sebuah kamp tahanan di Palembang. Ini semua saya ketahui dari cerita seorang teman bekas anggota IPPI cabang Lahat dulu yang masih hidup yang sempat saya temui pada kesempatan saya berkunjung ke kampung halaman.

Dari cerita itu dapat saya susun kembali apa yang selanjutnya terjadi dengan gadis progresif teman sekampung saya itu. Beginilah ringkasan ceritanya:

"Kamp tahanan CPM di Palembang itu penuh sesak. Murni ditahan di situ. Setiap kali diinterogasi Murni berteriak, sehingga bisa didengar oleh tahanan-tahanan yang lain. Sebagaimana halnya dengan tahanan-tahanan yang lain, Murni kadang-kadang dipukuli, kadang-kadang dibujuk dengan kata-kata manis. Karena banyak menderita pukulan-pukulan yang menyakitkan, Murni tidak memberikan jawaban bila ditanyai. Kalau dipaksa juga dia hanya berteriak. Karena itu dia sering dibawa ketempat lain untuk diinterogasi. Pada satu kejadian seperti ini, dia diperkosa oleh seorang Letnan CPM salah seorang pemimpin kamp tahanan itu. Murni hamil dalam tahanan. Letnan CPM yang memperkosanya diberhentikan. Namun Murni sudah dilanggar kehormatannya. Sebagai seorang wanita dan seorang Mahasiswi yang punya harga diri, Murni merasa telah dipermalukan dan tidak mampu menahan penderitaan lahir bathin. Murni masih juga dalam tahanan selama beberapa tahun. Tidak lama setelah dibebaskan tanpa
pengadilan, dia meninggal dunia. Tidak jelas bagaimana meninggalnya".

Dalam keadaan normal, Murni bukanlah orang yang mudah dilanggar kehormatannya begitu saja. Karena dia termasuk kader IPPI yang kemudian ikut memimpin CGMI cabang Palembang. Selama berada dalam organisasi, dia pernah diberi pengertian tentang moral revolusioner yang perlu dimilikinya sekalipun dalam batas yang minimal. Apalagi dia mendapat pendidikan sebagai calon pendidik anak bangsa.

Hanya di jaman dimana tentara mabuk kekuasaan dan mabuk kemenangan, yang kekuasaannya lebih tinggi dari kekuasaan Yang Maha Kuasa, maka Murni sebagaimana tahanan politik lainnya menjadi manusia yang tak berdaya dan direndahkan mertabatnya sampai lebih rendah dari hewan yang manapun.

Dari pendidikan yang ditempuhnya sejak dia masuk SGB di Tebing Tinggi, terus masuk SGA di Lahat, sampai melanjutkan ke FKIP di Palembang, nampak sekali keinginannya mau menjadi guru, mau menjadi pendidik anak bangsa.Tapi apa hendak dikata, jangankan mendidik anak bangsa, kuliahnya saja tidak selesai nyawa sudah direnggut.

Kisah Murni teman sekampung saya ini hanya salah satu contoh saja dari ribuan korban keganasan rezim orde baru Soeharto.

Setiap kali aku mengingat kisah masa lampau, aku akan selalu terkenang kepada Murni bagaikan sekuntum mawar yang gugur sebelum mekar.


Stockholm, 07-02-03.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar