Jumat, 11 September 2009

Mengenang Bung Karno

Mengenang Bung Karno
Oleh: S Manap.

Tanggal 6 Juni 1901 adalah hari lahir Bung Karno. 1 Juni 1945 adalah hari lahirnya pancasila, gagasan Bung Karno yang menjadi alat pemersatu bangsa Indonesia. Pada 21 Juni 1970, Bung Karno wafat berstatus sebagai tahanan rumah di negeri yang kemerdekaannya di proklamirkannya sendiri.
Bagiku sendiri setiap kali memasuki bulan Juni memperingati hari-hari yang berhubungan dengan Bung Karno, maka segala kenangan masa lampau tentang Presiden pertama RI itu akan selalu terasa bangkit kembali.
Tahun 1963.
Salah satu gagasan penting dari Bung Karno dalam perjuangan melawan dominasi kaum imperialis dan menegakkan harga diri bangsa Indonesia, yalah terselenggaranya GANEFO (Games of the New Emerging Forces) di Jakarta. Salah satu pekerjaan panitia sebelum GANEFO dilaksanakan, dibentuknya team penerangan GANEFO yang terdiri dari para pemuda dan seniman dari berbagai aliran politik NASAKOM di tambah dengan dari instansi kepolisian yang diwakili oleh PTIK (Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian).
Sebelum melaksanakan tugasnya dalam menyebar luaskan arti penting GANEFO ke tengah-tengah masyarakat di seluruh tanah air, team penerangan mendapat indoktrinasi antara lain dari Menteri olah raga Maladi, Sekjen PDK Mr Supardo dan dari Front Nasional Pusat Kolonel Azhari. Aku termasuk dalam team yang bertugas ke Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur. Dalam team itu aku sebagai mahasiswa yang datang dari Palembang, ikut mewakili pemuda, yang jika di lihat dari usia, merupakan yang paling muda dari seluruh anggota team kami itu.
Setelah menyelesaikan tugasnya, team penerangan dari seluruh penjuru tanah air dari Aceh sampai Irian Barat, pulang ke Jakarta dengan melaporkan pekerjaan serta pengalamannya masing-masing. Tidak lama sesudah itu, di Istana Merdeka diadakan pertemuan di mana Bung Karno dijadwalkan akan memberikan wejangan tentang pelaksanaan GANEFO dalam waktu dekat. Kami yang menjadi anggota team penerangan, juga diundang dalam pertemuan itu.
Dalam pertemuan itu, kecuali pejabat-pejabat tinggi serta grup-grup pekerja tertentu, para undangan dipersilahkan mencari tempat duduk sendiri-sendiri. Pada kesempatan itu aku bersama seorang pemuda dari Pontianak yang etnis Tiong Hua (Eng Kim Sheng), memberanikan diri mengambil tempat duduk agak ke depan. Dengan demikian, kami berhasil bisa melihat Bung Karno dari jarak dekat. Hanya kali inilah aku melihat Bung Karno dengan jelas dari jarak dekat dan untuk pertama kali pula, mungkin juga untuk yang terakhir aku masuk ke istana negara.
Anehnya, berbeda dengan ketika mendengarkan pidato Bung Karno di Senayan atau melalui siaran radio, yang agak mudah mengingat persoalan penting yang diucapkan oleh Bung Karno, tapi kali ini tidak ada dari ucapan beliau yang bisa kuingat. Sebabnya mungkin karena seluruh pikiranku terpusat pada memperhatikan wajah serta gerak Bung Karno saja, tanpa memperhatikan kata-kata yang diucapkannya.
Tahun 1965.
Awal 1965 aku bersama beberapa orang teman pergi belajar ke luar negeri. Negeri yang kami tuju yalah Kuba yang terletak di benua Amerika.
Beberapa tahun sebelum kami belajar kesana, Bung Karno pernah berkunjung ke negeri itu menjadi tamu dari Fidel Castro, Perdana Menteri Kuba. Menurut penjelasan orang Kuba, Bung Karno di tempatkan di Hotel Nasional yang terletak di pusat kota Havana. Juga pernah berkunjung ke negeri itu D.N Aidit Ketua CC PKI sebagai tamu Fidel Castro. Kalau tidak salah, dari penjelasan orang Kuba, D.N Aidit di tempatkan di hotel Riviera yang letaknya tidak jauh dari pantai kota Havana.

Bahwa Bung Karno bersahabat dengan Fidel Castro pemimpin Kuba itu, bisa dilihat dari satu kalimat pidato Bung Karno di Senayan yang masih bisa saya ingat: ”Aku adalah sahabat Mao Tje Tung, aku sahabatnya Ho Chi Minh, aku sahabatnya Kim Il Sung, aku sahabatnya Norodom Sihanuk, aku sahabatnya Fidel Castro.” (Maaf dan tolong dibetulkan kalau ada yang tidak persis sesuai dengan aslinya).

Mungkin karena jarak yang jauh, apalagi jaringan informasi pada waktu itu belum selancar sekarang, maka banyak orang Kuba yang belum mengenal Indonesia dan belum tau di mana letak negeri yang bernama Indonesia itu. Pada waktu itu, yang paling dikenal oleh rakyat Kuba adalah negeri-negeri yang bersistem sosialis, seperti Uni Sovyet, Republik Rakyat tiongkok, Republik Demokrasi Vietnam serta negeri-negeri sosialis lainnya baik di Asia maupun di Eropa. Vietnam lebih populer karena sedang melancarkan perang perlawanan terhadap kaum agresor Amerika, yang juga merupakan musuh nomor satu (enemigo numero uno) bagi rakyat Kuba.

Ketika aku naik bis umum dari asrama kami di Siboney, menuju pusat kota Havana, seorang pemuda Kuba bertanya kepadaku: ”Anda datang dari mana?” (De que pais viene usted). Saya jawab: ”Saya datang dari Indonesia.” (Yo vengo de Indonesia). Karena dia tidak tau di mana Indonesia maka dia bertanya lagi: “Di mana letak Indonesia?” (Donde esta Indonesia). Lalu saya jelaskan bahwa Indonesia terletak di Asia Tenggara (Indonesia esta en el sudeste Asiatico).
Karena mendengar tanya jawab diantara kami berdua itu, maka seorang mulato (campuran kulit hitam dan kulit putih) yang sudah setengah baya segera menjelaskan kepada pemuda yang bertanya kepadaku itu. Katanya: ” Indonesia adalah satu negeri yang memiliki Presiden yang sangat pandai.” (Indonesia es un pais que tiene un Presidente muy inteligente) .Dari penjelasan orang mulato setengah baya itu baru anak-anak muda yang lain mengerti tentang Indonesia dan pemimpinnya. Pada waktu itu aku hanya mendengarkan dan merasa bangga mendengar penjelasannya tentang Bung Karno seorang Presiden yang sangat pandai.
Setelah terjadi peristiwa G30 S, posisi Bung Karno semakin lemah karena kedudukannya sebagai Presiden direbut secara bertahap oleh Jenderal Suharto, yang dalam dokumen-dokumen tertulis dinamakan kup merangkak. Dalam situasi yang demikian itulah Dubes Indonesia untuk Kuba, Pak A.M Hanapi (Anak Marhaen Hanapi) dipecat oleh pemerintah Indonesia yang baru.
Beberapa hari setelah Dubes diberhentikan dari jabatannya, di satu malam hari, aku serta beberapa teman, membantu ex Dubes memindahkan isi rumah, dari rumah tempat kediaman resmi Duta Besar, kerumah kecil yang dibantukan oleh pemerintah Kuba. Kami secara berulang-ulang mengangkuti perabot rumah tangga dengan menggunakan dua mobil sedan. Aku bersama Pak Hanapi menggunakan satu mobil. Pak Hanapi nyupir, aku duduk di sampingnya. Sedang di belakang penuh di isi dengan barang-barang yang sudah dimasukkan dalam kotak-kotak karton.
Pada waktu istirahat kami berdua mengobrol di pinggir jalan yang remang-remang gelap sambil minum limon. Pada kesempatan itulah baru kuceritakan pengalamanku ditanya oleh orang Kuba ketika naik bis umum jurusan Siboney-Havana setahun sebelumnya, ketika aku baru beberapa bulan tinggal di Kuba. Pak Hanapi bertanya kepadaku: ”Ketika orang itu memuji Bung Karno sebagai orang pandai kamu bagaimana menjawabnya?” Kujawab:” Aku hanya senyum.” Lalu Pak Hanapi bicara lagi: ”Lain kali kalau ada orang memuji pemimpinmu, kamu harus mengucapkan terima kasih.”
Melalui obrolan malam di pinggir jalan itu, baru akut tau bahwa sebetulnya kekuasaan riil di tanah air sudah bukan lagi di tangan Bung Karno. Mendengar obrolan kami dalam bahasa Melayu desa, dari beranda rumah mereka yang baru berteriak Ditok (putra Pak Hanapi) yang sedang minum-minum bersama teman-temanku yang lain: ”Hei, bicara bahasa apa itu?” Kami tetap meneruskan obrolan dalam bahasa Melayu.
Pak Hanapi bertanya padaku:”S, sebetulnya kampung halamanmu di mana?” Kujawab bahwa kampung halamanku di daerah Lahat. ”Kalau begitu, kalau sudah di daerah Lintang, melangkah sedikit saja sudah tiba di kampung halamanku daerah Bengkulu Selatan,” katanya.
Melalui pertanyaannya itu akau berkesan kalau isi hati maupun pikiran Pak Hanapi ada persamaan dengan isi hati dan pikiranku yaitu sama-sama ingat kampung halaman, sama-sama ingat tanah air yang sudah lama ditinggalkan.
Persamaan pikiran dan perasaan kami tercermin dalam pantun Melayu tempo dulu yang tidak jelas siapa penciptanya:
Jambu air di dalam taman,
Bunga cempaka tidak berduri.
Tanah air kampung halaman,
Tidak lupa setiap hari.

Aku masih bertanya pada Pak Hanapi: ”Kalau Bung Karno tidak ada lagi, lalu siapa yang menjadi panutan kita?” Lalu menurut Pak Hanapi: ”Ada atau tidak Bung Karno kalian harus berjuang karena kalian masih muda.” Juga dikatakannya: ”Perjuangan ini akan berlangsung lama.”
Percakapan kami berakhir di situ. Kami meneruskan mengangkuti barang-barang isi rumah tangga ex Duta Besar, sampai larut malam. (Sejak kami berpisah pada hari Pak Hanapi mengantar kami ke lapangan terbang Jose Marti, ketika kami meninggalkan Kuba, aku tidak pernah bertemu lagi sama ex Dubes pendukung setia Bung Karno ini, kecuali percakapan beberapa kali lewat telephone sampai beliau wafat di Paris).
Dengan semakin kokohnya kekuasaan militer yang dikepalai oleh Suharto, aku bersama teman-temanku kehilangan kewarganegaraan. Passport kami dinyatakan tidak berlaku. Itulah asal mula aku hidup dengan berpindah-pindah dari negeri yang satu kenegeri yang lain dari tempat yang satu ketempat yang lain lagi sebagai statless.
Aku yang asal mulanya seorang Mahasiswa biasa yang pekerjaan sehari-harinya hanya belajar, berubah menjadi seorang pelarian politik, menjadi orang buangan (exile). Aku menjadi bagian dari jutaan rakyat Indonesia di dalam maupun luar negeri yang dinyatakan ”bersalah”, oleh pihak penguasa yang lalim, serakah demi kekuasaan dan menumpuk kekayaan, tanpa kejelasan dan tanpa bukti apa pula kesalahan yang pernah kami lakukan.
Tahun 1986
Setelah bertahun-tahun hidup di negeri orang dengan berpindah-pindah tanpa ada titik terang kapan bisa pulang ke tanah air untuk melihat kampung halaman, aku bersama keluarga kecilku mengambil keputusan pindah mencari asyl ke Eropa Barat. Awal Januari 1986, kami pindah menuju Swedia negeri Demokratis yang dipimpin oleh Partai Sosial Demokrat.
Betapa baik penerimaan dan pelayanan dari Pemerintah Swedia terhadap kami sekeluarga dengan dua anak kecil, sukar dilukiskan dalam tulisan pendek ini. Apalagi kalau diingat bahwa aku adalah orang yang tersingkir, dilarang pulang ke tanah air serta kampung halaman tempat kelahiranku dan didiskriminasi oleh penguasa negeriku sendiri.
Sesuai dengan peraturan yang berlaku, tepat pada waktunya permohonan asyl yang kami ajukan diterima oleh Jawatan immigrasi. Kami mendapat perlindungan politik, mendapat jaminan untuk hidup layak, diberi kesempatan untuk belajar terutama bahasa Swedia, juga mendapat hak untuk mencari pekerjaan. Sedang anak-anakku mulai diberi kesempatan masuk sekolah. Kami mendapat pass yang bernama Dokumen Perjalanan (Rese Dokumen). Dalam dokumen perjalanan itu tettulis: ”Boleh bepergian kemana saja, kecuali ke Indonesia.”

Dengan sedikit modal bahasa Swedia aku mendapat pekerjaan dan mulai bekerja. Baru dua bulan bekerja, wakil direktur perusahaan tempatku bekerja menawari satu pekerjaan yang mungkin lebih sesuai dengan kemampuanku, tapi dengan syarat aku harus mengikuti kursus dan harus lulus dalam kursus singkat itu.
Aku menerima penawarannya untuk mengikuti kursus singkat, bersamaan dengan itu kujelaskan padanya bahwa aku belum tentu berhasil karena bahasa Swediaku yang belum mencukupi. Namun demikian aku maju juga mengikuti kursus yang ditawarkannya, karena semua biaya untuk keperluan itu sudah dibayar oleh perusahaan.
Aku datang di satu hotel tempat di mana kursus singkat akan diselenggarakan. Kulihat sudah banyak pengikut kursus yang sudah mengambil tempat duduk di aula hotel itu. Disamping banyak orang Eropa, juga banyak orang pendatang seperti aku juga. Aku mencari tempat duduk yang masih kosong.
Di samping tempat dudukku sudah duduk seorang Eropa yang tampan. Kami bersalaman dan saling memperkenalkan diri. Mula-mula kami saling memperkenalkan nama dan tempat bekerja masing-masing. Dari situ aku tau namanya Alexander Fischer dan tau perusahaan tempatnya bekerja di Haninge. Ketika kutanya dari negeri mana dia datang, dia menjelaskan bahwa dia berasal dari Jerman. Ketika dia menanyakan dari mana aku berasal, kujawab bahwa aku berasal dari Indonesia.
Begitu mendengar aku berasal dari Indonesia Alexander cepat bertanya: ”Apakah anda orang Soekarno?” Tentu saja ku jawab: ” Ya, aku pengikut Presiden Soekarno.” Itulah asal mula kami berkenalan. Selama kursus itu, setiap ada kesempatan, kami selalu mengobrol berdua baik pada waktu makan maupun pada waktu jam istirahat biasa. Ketika makan, kami selalu duduk bersebelahan dan aku mengikutinya menggunakan garpu dengan tangan kanan.
Dalam mengobrol saat istirahat, baru aku tahu bahwa Alexander Fischer adalah orang Jerman yang sebaya dengan diriku yang cukup banyak mengikuti segala peristiwa yang terjadi di Indonesia dan pengagum Soekarno sebagai pemimpin yang terkenal dalam percaturan politik dunia. Itulah sebabnya isi obrolan kami selalu berkisar pada nama Bung Karno yang sampai wafatnya berstatus tahanan rumah pemerintah orde baru.
Ketika aku mengatakan padanya bahwa aku belum lama tinggal di Swedia dan bahasa Swediaku belum seberapa, karena itu akan sulit bagiku untuk berhasil lulus dalam kursus ini, Alexander dengan ketawa menjawab: ”Orang Soekarno pasti berhasil.” Sekalipun nampaknya seperti bergurau, kuanggap kata-katanya itu merupakan dorongan bagiku untuk memusatkan pikiran supaya bisa berhasil.

Ternyata betul juga, ketika tiba masanya ujian, Alexander memperlihatkan apa yang telah dikerjakannya kepadaku. Dengan demikian, dari 40 pertanyaan, setiap jawabanku yang kuragukan kebenarannya, akan selalu kulihat apa yang telah dikerjakan oleh temanku itu.
Akhirnya, Sebagaimana Alexander, aku juga berhasil mendapatkan bukti lulus dalam kursus itu. Aku menyadari bahwa keberhasilanku dalam kursus itu tidak bisa di pisahkan dari dorongan moril serta bantuan langsung dari Alexander Fischer, yang mengenalku dan bersimpati padaku, karena aku pengikut Bung Karno yang sedang menghadapi kesulitan.
Begitulah jalan ceritanya, maka aku berganti pekerjaan yang agak sesuai dengan syarat-syarat serta kemampuan yang ada padaku. Aku sering berpikir, pada masa-masa sulit, ada-ada saja jalan keluarnya, mungkin karena Tuhanlah yang menyelamatkanku.

Setelah melalui setahun bekerja, aku melakukan perhitungan berapa gaji yang sudah kuterima, berapa pajak yang sudah kubayar. Dari perhitungan itu aku mendapati bahwa pajak yang telah kubayar selama setahun, sudah jauh melebihi jumlah uang jaminan sosial yang pernah kami terima sejak kami datang ke Swedia sampai aku mendapat pekerjaan. Itu belum termasuk pajak yang dibayar oleh isteriku yang mendapat pekerjaan 6 bulan kemudian setelah aku bekerja.
Aku merasa lega hati, karena aku merasa tidak ada hutang apapun kepada pemerintah Swedia dalam bentuk materiil. Tapi, hutang budi kepada pemerintah yang memberikan perlindungan politik kepada kami sekeluarga serta teman-teman ku yang lain di sini, takkan terlupakan tapi juga takkan terbayarkan.
1 Juni 2007. (Hari Ulang Tahun Kelahiran Bung Karno).
Posted by: "S Manap" ranau12@yahoo.se

Tidak ada komentar:

Posting Komentar