Minggu, 08 November 2009

BUKU KUMPULAN PUISI “NASIB ORANG LINTANG”

PENERBITAN BUKU KUMPULAN PUISI “NASIB ORANG LINTANG”
SMA NEGERI 1 LINTANG KANAN KABUPATEN LAHAT

SMA Negeri 1 Lintang Kanan menerbitkan buku kumpulan Puisi “Nasib Orang Lintang”. Buku setebal empat puluh delapan halaman, yang berisi satu buah artikel sastra Jajang Rusmayadi, S.Sn., sambutan Kepala Sekolah, dan enam puluh puisi dari karya tiga belas siswa yang tergabung dalam Sanggar Sastra, merupakan hasil dari beberapa pertemuan pada semester pertama. Buku Nasib Orang Lintang ini dicetak terbatas karena alasan dana.
Judul buku itu merupakan judul salah satu puisi yang terdapat dalam kumpulan puisi tersebut hasil karya Bambang Irawan kelas IPS 2, puisinya pendek hanya tiga baris seperti haiku, Nasib Orang Lintang: Dunia berputar/ Cahaya-cahaya bergantian/ Nasib orang lintang jadi panjang. Puisi ini menggambarkan antara harapan dan semangat hidup, atau optimisme hidupnya. Tentunya hasil perenungan dan pengamatan yang cukup mendalam dari penulisnya.
Banyak potensi sastra yang belum tergali di daerah Lintang, apalagi sumberdaya manusianya masih cukup segar dalam menyikapi keadaan lingkungan sosial dan lingkungan alam sekitarnya. Lagi pula daerah Lintang memiliki kekayaan budaya yang cukup unik dan khas, seperti bahasa daerah, perilaku, dan adatnya. Saya kira belum banyak penyair yang menuliskan segala potensi yang terkandung di daerah Lintang ke dalam karya sastra. Saya mengenal dua sastrawan dari daerah Lintang yaitu Syamsi Indra Usman yang pernah mendapatkan penghargaan “Anugrah Seni” karena aktifitasnya dalam menuis puisi dari Gubernur Sumatera Selatan pada tahun 2004, dan satu lagi adalah Febri Al-Lintani, yang cukup populer di Sumatera Selatan, ia sebagai Ketua Komunitasw Batang Hari 9 (KOBAR 9) serta pengurus Dewan Kesenian Palembang.
Seluruh karya puisi yang terdapat dalam buku Nasib Orang Lintang ini merupakan karya puisi terbaik dan terpilih dari yang baik. Penulisnya delapan laki-laki antara lain: Agus Tamin, Arif Rojuli, Bambang Irawan, Darwan Esmedi, Een Rikardo, Marlin Nopriko, Munawir Sazali, Prata LA., dan yang perempuan lima orang antara lain: Nia Rapikaduri, Puspita Sari, Radesi Yudede, Tina Dwita, dan Yulistri. Akhir-akhir ini anggota sanggar bertambah. Saya berharap mereka mampu meneruskan jejak pendahulunya, tidak hanya mandek sampai selesai SMA saja. Akan tetapi dapat bergabung dengan komunitas sastra yang lebih besar lagi. Saya menilai mereka cukup potensial.
Kebiasaannya pada usia remaja seringkali menuliskan masalah-masalah cinta terhadap lawan jenisnya, melankholis dan kurang serius, akan tetapi kenyataannya di Sanggar Sastra SMA Negeri 1 Lintang Kanan, mereka cenderung menuliskan tentang kecintaannya terhadap daerahnya, baik dari budayanya, lingkungan alamnya dan kritik sosial yang mencermati kinerja pemerintahan serta masyarakat itu sendiri. Seperti contoh puisi karya Prata LA kelas 2 IPS 1 yang mencermati salah satu kehidupan masyarakat Lintang, Motto Kito: Jemonyo hulu balang/ tiap hari di gelanggang/ keluargo tersingkirkan/ bando terlelang/ semboyan tercelah motto kito/ nedo mati muno jadila. Satu lagi puisi yang menurut saya mengkritik budaya daerahnya sendiri, karya Arif Rojuli kelas 2 IPA, Segayung Dunio Lintang: Ayo lari kawan/ dunio Lintang jadi Texas/ mennjadi Jakarta nomor 2/ menjadi penghuni manusia hebat/ kebejatan kesesatan/ dalam segayung dunio Lintang.
Puisi sebagai aksi protes, atau ketidakpuasan atas perlakuan penegak hukum dan pelecehan tehadap kaum perempuan. Berikut puisinya, karya Nia Rapikaduri, kelas 2 IPS2, Jangan: Jangan bicara moral kepadaku/ Aku tak pernah tahu/ Aku Cuma tahu tikus-tikus/ Mengendap ke kantong ibu/ Jangan tanyakan agama padaku/ Karna aku tak beragama/ Yang kutahu wanita-wanita bugil/ Berbaris menghadap Ka’bah/ Jangan tanya keamanan aparat/ Sebenarnya aparatlah yang menindas rakyat!
Puisi Bambang Irawan yang satu ini, mencoba menggambarkan bagaimana sikap, sifat dan prilaku orang-orang Lintang, judulnya Lintang Empat Lawang:Terlentang pisau panjang/ Perangko batang-batang/ Jadi orang jadi datang/ Datang pertentangan/Diri marah/ Duri tajam/ Lintang Empat Lawang/ Pantang mundur jadi orang/ Belum bertemu belum senang/ Garis melintang jalan panjang/ Tujuan tak karuan/ Celaka orang bisa karuan/ Celaka diri tidak karuan.
Bagaimana dengan sisi kehidupan orang Lintang yang lain dan keindahan alamnya, dilukiskan dengan cukup baik dalam puisi berikut:, karya Marlin Nopriko, kelas IPA, “Lubuk Kasai”: lubuk bening tenang penuh berkat/ kasai sahabat akrab abadi/ gelombang ombak bawa budaya mencuci budi/ hanyutkan sampah pekat/ berbau budaya angkuh syetan terkejut/ lubuk kasai/ melawan curam batu napal/ menantang batu keras terjal/ hancur oleh ombak-ombak kecil/ mengikis sukma/ menyerap dalam raga hati/ mewarnai baju baja diri. Selanjutnya Munawir Sazali, kelas IPA, mengupas tentang “Sungai Lintang”: Suasana pagi datang menjelang/ Sungai Lintang menantang/ Bersetubu denganku/ Dia menerjang aku tantang/ Kadang marah tak terkalahkan/ Kau raja bunyi tak berhenti/ Selalu berteriak dalam sepi/ menantang setiap orang dengan suaramu/ dan batu bisa kau taklukkan/ dengan bujuk rayumu.
Masyarakat Lintang mayoritas adalah petani kopi dan petani padi, salah satu puisi karya Tina Dwita, kelas 2 IPA mencoba membuka wawasan kita kepada apa yang dinanti oleh para petani tersebut. “Be Umo”: Berilah aku keberuntungan/ Tana siang dan biji kopi pilian/ Kiding besak, samo puntong/ Berilah aku keberuntungan/ Uang pembeli pupuk dan racun/ Hujan menyapu tanah air/ Bila waktunya kopi ku putir/ Bongkotnya kukaja/ Nikmatmu kugali// Terima kasih Tuhan/ Atas rahmatmu.
Masih banyak karya mereka yang sangat menarik untuk dinikmati dan diapresiasi. Mereka masih cukup muda yang paling tua lahir pada tahun 1987 dan yang termuda tahun 1990. umur mereka antara 15 sampai dengan 18 tahun. Mereka masih terus aktif menulis puisi, dan selalu konsultasi dengan saya, atau mereka meminta sekedar untuk membacakan karya-karya mereka. Saya merasa kehadiran saya ada manfaatnya bagi mereka.
Sanggar Sastra SMA Negeri 1 Lintang Kanan berdiri pada awal tahun ajaran 2005/2006, sebagai salah satu kegiatan Ekstrakurikuler, pembinanya saya sendiri yang merupakan guru pendidikan seni. Di samping Sanggar Sastra, ada seni Lukis, dan teater yang saya bina, ada juga Seni daerah ngarak pengantin yang dibina oleh kepala sekolah.
Apa yang saya berikan pada mereka?: saya tidak mengajari apa yang harus di tulis, tetapi saya membagi pengalaman bagaimana membina sebuah kesadaran dan bagaimana berkonsentrasi dalam satu hal atau satu masalah. Apa yang sedang mereka rasakan saat ini, apa yang mereka pikirkan dan bagaimana mereka harus mengeluarkan pendapat serta bagaimana mencermati lingkungan sosialnya dan lingkungan alam sekitarnya. Dengan demikian anak belajar percaya diri, lebih kritis dan memiliki keperdulian terhadap lingkungannya.
Selain itu dianjurkan lebih banyak membaca, karena Membaca merupakan salahsatu proses dalam pembuatan pondasi dan kerangka berpikir dalam menulis sebuah karya, baik fiksi maupun non fiksi (Ilmiah). Membaca sebagai modal dasar dalam penulisan dan dalam mengembangkan ide atau gagasan yang lebih baik dari yang sebelumnya. Dengan membaca akan memberikan dorongan spriritual, emosional dan intelektual yang secara menyeluruh akan tercermin dalam setiap karya tulisnya, terlebih akan tercermin dalam setiap prilaku kehidupan sehari-hari. Sehingga dengan kegiatan membaca yang lebih intensif akan menghasilkan para penulis muda berbakat yang memiliki wawasan susastra universal, dengan dimbangi dengan daya intelektual global.
Dengan demikian perlu kiranya pemerintah dalam hal ini Dinas Pendidikan memberikan ruang, fasilitas dan penghargaan. Bagi para siswa dan para pembinanya sebuah penghargaan sebagai partisipasi aktifnya dalam menghidupkan program kegiatan kependidikan (ekstrakurikuler). Dinas Pendidikan adalah lembaga yang memiliki kewengan dalam memajukan pendidikan khususnya Sastra dan Seni atau sebaliknya. Lembaga pendidikan (sekolah) sesungguhnya mengemban tanggung jawab sebagai sarana bagi menumbuhkembangkan minat dan bakat para peserta didiknya. Dari lembaga pendidikan formal inilah yang seharusnya menelorkan para kreator handal. O ya?
Kepala Sekolah SMA Negeri 1 Lintang Kanan, Imron, S.Pd. dalam sambutannya cukup bangga, oleh karena puisi yang terkumpul dalam buku ini merupakan hasil karya dari anggota Sanggar Seni yang baru dibentuk pada semester ganjil tahun ajaran 2005/2006. Sementara SMA Negeri 1 Lintang Kanan sendiri baru berdiri tahun ajaran 2004/2005. ini tentunya suatu prestasi yang sangat baik.
Menurutnya, buku kumpulan puisi “Nasib Orang Lintang” sedikit tergambar karakter orang Lintang dan Suasana alamnya. Bagi siapapun yang tidak pernah berkunjung ke daerah lintang dan menemui gaya orang lintang mungkin buku ini sangat bermanfaat guna mengenal lebih dekat dengan kehidupan dan alamnya.
Buku ini juga sebuah bukti yang akan menjadi catatan sejarah bagi perjalanan SMA Negeri 1 Lintang Kanan dalam proses belajar mengajar kami yang tentunya berwawasan ke depan. Kami membutuhkan bantuan dari bebagai pihak untuk segera mewujudkannya. Diharapkan siswa siswi SMA Negeri 1 Lintang Kanan lebih aktif dan kreatif dalam mengikuti seluruh kegiatan ekstrakurikuler, namun jangan sampai meninggalkan kegiatan intranya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar