Minggu, 08 November 2009

TAKADA LAGI Cerpen Erwan Aprianto

TAKADA LAGI
CERPEN Erwan Aprianto

Asap mengepul melayang tanpa arah. Sang raja siang mungkin tak akan lagi menampakkan keagungannya, hari ini. Pasar 16 ilir yang dulunya penuh dengan jejalan kaki lima, kini rata tinggal puing – puing kayu yang terbakar. Bongkar … Bongkar. Entah siapa yang menjerit. Pemandangan yang mungkin tak lagi tabuh tuk dilihat. Inikah yang dinamakan keadilan tuk rakyat jelata. Atau mungkin kemakmuran tuk para pejabat. Ah … aku pun tak tahu.

“Bongkar !” teriak salah seorang petugas yang mengenakan seragam necis dengan pentungan yang mungkin sudah menjadi senjata tuk memukul anjing atau sejenisnya.

Para pedagang yang mangkal di pasar 16 ilir seakan takkan pernah ingin meninggalkan kediamannya. Apakah demi suksesnya Pekan Olahraga Nasional (PON) nasib rakyat harus di korbankan. Kalimat itulah yang sering keluar dari bibir mereka.

Tampak dari kejauhan seorang laki – laki tua yang membawa keranjang di pundaknya. Tukang keruntung. Itulah panggilan akrab yang biasa terdengar di telinganya. Ia menghampiriku sambil tersenyum.

“Mau angkat barang, Mas ?” tanyanya sambil duduk disampingku.

“Ah … nggak Mang. Biar saya sendiri. Itung – itung olahraga,” jawabku.

Mang Abdul. Panggil saja namanya begitu. Kulit hitam gosong terbakar matahari. Urat – urat yang menari – nari di pergelangan tangannya mulai bermunculan. Usia yang masih muda mampu menipu wajahnya yang sudah kelihatan matang.

“Beginilah Mas. Mau cari kerjaan yang enak nggak nguras tenaga, pendidikan nggak menunjang. Ya terpaksa begini kalo mau hidup di zaman yang serba maju seperti sekarang ini,” Mang Abdul mulai cerita.

“Apalagi katanya kita mau jadi tuan rumah PON. Banyak sekali Mas pedagang – pedagang kaki lima yang di gusur dari sini. Katanya sik untuk penertiban. Penghasilan saya semakin sedikit. Pedagang – pedagang banyak yang sudah di pindahkan ke tempat yang telah di sediakan pemerintah. Tambah miskin saya,” eluhnya sambil menghisap rokok yang bukan lagi sekedar kenikmatan.
“Apa mereka selamanya berdagang di situ, Mang ?” tanyaku penasaran.


Erwan Aprianto
Anggota Teater Sansekerta, Sanggar Air Seni Palembang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar