Minggu, 08 November 2009

ITU BUKAN AKU Cerpen Erwan Aprianto

ITU BUKAN AKU

Cerpen Erwan Aprianto

25 tahun lalu, aku masih terbaring di sini ya … di sini. Di kamar yang menjadi saksi penderitaan seseorang tanpa sebuah nama. Tubuhku masih menyimpan bekas–bekas luka. Aku bukan pejuang tapi lebih pantas disebut pecundang. Tanpa kusadari aku telah menjadi pengkhianat. Pengkhianat keluarga, masyarakat dan yang paling membuatku terpukul adalah menjadi seorang pengkhianat bangsa.

Mei tahun 1965. Saat itu aku menjadi tentara yang mempunyai beberapa puluh anak buah. Pada bulan Juni aku ditugaskan ke Semarang oleh atasanku, Kolonel Birin. Untuk menumpas bersih antek–antek partai terlarang yang sedang meluas di sana. Aku mengajak istri dan anak-anakku. Tidak lama dari itu, tibalah kami di Semarang. Kami tinggal di sebuah asrama tentara tidak jauh dari pusat kota. Di sana, aku dan keluargaku disambut hangat oleh warga.

Suatu malam, sebagai seorang muslim untuk pertama kali aku pergi ke sebuah masjid di dekat rumahku. Aku pergi bersama salah seorang tetangga yang baru saja aku kenal. Ia biasa dipanggil Pak Ustadz, karena dia adalah seorang guru pengajian. Tak berapa lama sampailah kami di sebuah masjid yang terbuat dari papan dan beralaskan anyaman tikar.

“Allahu Akbar … Allahu Akbar,” terdengar suara adzan yang di kumandangkan oleh salah seorang pemuda di mesjid tersebut.

“Pak Ustadz, aku permisi mengambil air wudhu dulu,” ucapku setelah kami masuk ke dalam mesjid. Ustadz itu hanya menjawab dengan anggukan kepada.

Aku menuju ke tempat mengambil air wudhu yang berada tepat di belakang mesjid. Aku segera mengambil air wudhu. Kuusapkan air tersebut ke wajahku. Satu persatu orang–orang masuk ke dalam mesjid. Hanya tinggal aku sendiri di tempat wudhu tersebut.

Tiba–tiba. Dor!!! Suara letusan senapan terdengar keras di telingaku.

“Astahgfirullah,” ucapku terkejut seraya menyaksikan keadaan yang terjadi di dalam mesjid.

Segerombolan orang–orang bertopeng menembak secara membabi buta. Tak ada lagi yang tersisa. Semuanya tewas.

“Allahu Akbar…,” salah seorang pemuda yang masih hidup berteriak.

Terdengar lagi letusan peluru. Kali ini peluru itu menembus dada pemuda tadi. Pemuda itu berteriak. Darah memuncrat di sekujur tubuhnya. Pemuda itu terkapar. Dia tewas!!!

Terdengar gelak tawa kemenangan dari salah seorang gerombolan orang–orang bertopeng itu.

“Itulah akibatnya jika tidak menuruti kami,” salah seorang dari gerombolan tesebut berkata.

Bulu kudukku berdiri. Aku sembunyi di balik sebuah peti mati yang ada di belakang masjid tersebut. Aku seperti seorang pengecut yang sedang bersembunyi. Tapi, apa yang bisa aku lakukan. Aku hanya seorang diri tanpa senjata.

Perlahan–lahan kulangkahkan kaki. Aku berlari sekuat mungkin. Tanpa kusadari, salah seorang dari gerombolan tersebut melihatku dan langsung saja mengejar. Tapi aku cukup pintar. Aku bersembunyi di belakang rumah yang gelap. Orang bertopeng tersebut tak dapat menemukanku.

“Sialan,” umpatnya. Kemudian ia kembali bergabung bersama gerombolannya.

Aku pulang dengan pikiran yang masih mengambang. Kejadian itu tak akan pernah aku lupakan. Aku tak bisa berbuat apa–apa pada malam itu. Aku t’lah menjadi seorang pengecut.

Itulah awal bencana untukku dan keluargaku. Tepat pukul 24.00 malam, sebuah peluru menghantam kaca jendela rumahku. Aku dan istriku langsung terbangun. Saat letusan peluru itu terjadi yang kupikirkan hanyalah anak dan istriku.

Aku berlari ke kamar anak–anakku. Tapi sayang … aku terlambat. Kedua anakku telah raib. Mereka telah di culik. Entah siapa yang telah menculik mereka. Aku tidak tahu …

“Pak, Bagaimana anak – anak kita, Ghali dan Salman ?”

“Mereka diculik…? Ini pasti karena profesi Bapak sebagai seorang tentara,” istriku menyalahkanku.

Istriku menangis sambil menyandarkan kepalanya ke pundakku. Aku tahu bagaimana perasaan istriku saat itu. Perasaan seorang ibu yang kehilangan kedua anaknya. Akulah orang yang seharusnya di salahkan. Karena ada sebuah kesalahan yang sangat besar yang telah kulakukan. Aku telah menjadi seorang tentara.

Malam setelah kejadian itu, istriku tak dapat lagi berbicara. Ia hanya mengurung diri di dalam kamar sambil memandangi foto kedua anak kami yang telah hilang.

“Bu, anak kita pasti kita temukan. Siang ini aku akan melapor pada atasanku untuk meminta izin membawa beberapa anak buahku untuk mencari Ghali dan Salman. Tenanglah … aku pasti menemukan mereka.”

Tak ada jawaban yang keluar dari mulut istriku. Hanya kebisuan menyelimuti raut wajahnya. Hanya tangisan yang selalu menemani kehampaan jiwanya.

Siang itu aku pergi menghadap atasanku, Kolonel Birin untuk meminta izin mencari anak–anakku. Hanya itulah harapan satu–satunya.

“Tok …tok … tok,” perlahan ku ketok pintu ruangan Kolonel Birin.

“Masuk !” terdengar suara lantang Kolonel Birin kubuka perlahan pintu tersebut.

“Siap komandan,” aku langsung memberi hormat kepada atasanku. Tak sepantasnya aku memberi hormat pada seseorang yang lebih muda dariku. Tapi itulah dunia militer. Walaupun aku jauh lebih tua tapi aku hanyalah seorang Letnan.

“Ada apa, Letnan Husien,” tanya Kolonel Birin dengan gaya yang sangat berwibawa.

“Saya ingin meminta izin membawa beberapa anggota untuk mencari anak saya, Pak” jawabku dengan rasa takut.

“Ada apa dengan anakmu sampai–sampai kau ingin membawa beberapa anggota kita untuk mencari mereka.”

Kolonel Birin mendekatiku dengan wajah penuh dengan pertanyaan.

“Semalam anakku di culik oleh orang–orang komunis, Pak,” jawabku dengan lantang. Kolonel Birin terdiam sejenak dan duduk kembali ke tempat duduknya semula.

“Apakah yang menculik anakmu memang benar orang–orang komunis. Darimana kau tahu bahwa yang menculik anakmu adalah orang–orang komunis ?” tanya Kolonel Birin.

Aku terdiam tak dapat berbicara sepatah katapun. Pertanyaan Kolonel Birin membuatku sangat tersudut.

“Aku tidak tahu pasti, Pak. Tapi aku yakin yang menculik anak–anakku adalah orang–orang komunis karena mereka memiliki senjata api,” jawabku.

“Hanya itu …” tanya Kolonel Birin.

“Ya, Pak,” jawabku.

“Itu tak bisa kau jadikan bukti bahwa yang menculik anak–anakmu adalah orang–orang komunis. Setiap orang bisa memiliki senjata api, tapi belum tentu yang memiliki senjata api itu adalah orang–orang komunis. Aku tak bisa memberikan izin untuk membawa anggota kita untuk mencari anakmu. Masalahmu adalah masalah pribadi. Tidak menyangkut kepentingan anggota, Paham !”

Ucapan Kolonel Birin bagai peluru yang menghujami jantungku. Aku tertunduk lesu. Karena hanya itulah satu–satunya harapanku. Tapi apa kenyataannya. Aku mendapat jawaban yang sangat menyakitkan.

Semakin hari keadaan istriku semakin menjadi. Ia lebih sering berbicara sendiri di kamar dan sudah beberapa hari ia belum makan. Keadaannya sangat lemah. Aku tak bisa berbuat apa–apa. Hanya bisa berdoa agar anak–anakku pulang dengan selamat dan istriku kembali seperti semula.

Di setiap pelosok kota sudah hampir semuanya ku singgahi. Tapi anakku tidak kutemukan juga. Aku mencari mereka seorang diri hanya di temani sepucuk pistol tanpa peluru. Aku hampir putus asa. Yang ada di benakku hanyalah kebencian. Kebencian pada Kolonel Birin dan anggota–anggota militer lainnya.

Aku ingin pulang karena sudah seharian mencari anak-anakku. Setibanya di rumah, aku langsung terduduk karena lelah yang sangat. Beberapa saat kemudian aku menuju ke kamar. Kulihat istriku sedang tertidur pulas. Tapi ada sesuatu yang mengganjal pikiranku. Istriku tertidur di atas lantai. Aku langsung mendekatinya.

“Bu, jangan tidur dilantai nanti sakit.” kataku sambil mendekatinya.

Seperti biasa tak ada jawaban yang keluar dari mulutnya. Ku gerakkan badannya tapi tak ada reaksi sama sekali. Kuangkat istriku ke atas ranjang. Bak di sambar petir, tubuh istriku sangat dingin dan kaku. Aku tak ingin memikirkan hal–hal yang buruk tentang istriku. Perlahan ku tempelkan tanganku kehidungnya. Tubuhku lemas. Air mata mulai mengalir di pipiku. Istriku tak lagi bernapas. Istriku telah pergi selamanya. Ya… istriku telah pergi selamanya.

Kejadian itu membuatku sangat terpukul. Istriku dimakamkan tiga hari yang lalu. Aku merasa sebagai pembawa petaka. Semua orang yang kucintai telah pergi dan sampai saat ini aku tak tahu bagaimana keadaan anak–anakku. Aku hanya dapat menunggu. Menunggu sesuatu yang tak akan pernah datang. Ya … tak akan pernah datang.

Seminggu kemudian aku tak sengaja membaca surat kabar yang membuatku terjatuh pingsan. Surat kabar tersebut berisikan : “Dua anak laki–laki terbunuh dengan wajah yang tak dapat lagi dikenali.”

Aku tak tahu siapa yang membawaku. Aku sudah berada di rumah sakit. Pikiranku masih terbayang dengan surat kabar yang kubaca siang tadi. Aku langsung melepas infus yang melekat di nadiku. Seorang perawat langsung mencegatku.

“Pak, jangan bangun dulu, Bapak masih sangat lemah,” perawat tersebut berusaha mencegah.

“Aku ingin melihat anakku,” jawabku sambil mendorong perawat itu sampai terjatuh.

Aku berlari ke kamar mayat dan menanyakan pada petugas tentang dua mayat anak laki–laki yang terbunuh kemarin. Petugas itu langsung menunjukkan kedua mayat tersebut. Tak dapat dipungkiri lagi. Mayat kedua anak tersebut adalah anakku, Ghali dan Salman. Aku masih mengenal tahi lalat yang menempel di kaki mereka.

Kejadian demi kejadian pahit yang menimpaku menjadikan hidupku berubah. Semakin hari orang–orang komunis telah memperoleh banyak pengikut. Termasuk aku. Ya… termasuk aku. Aku sangat benci dengan tentara. Aku ingin membalas kematian anak dan istriku. Karena merekalah yang kuanggap sebagai penyebab kematian mereka.

Tanpa kusadari aku telah tergabung dalam partai terlarang tersebut. Saat itu aku telah meninggalkan profesiku sebagai tentara. Aku telah menjadi pemimpin partai terlarang itu dan hampir menguasai seluruh wilayah kota Semarang. Satu persatu aku dan orang–orangku membunuh anggota–anggota TNI, mulai dari Tamtama sampai ke Perwira semuanya telah kami bunuh dan kami tahan.

Suatu malam, aku dan orang–orangku menyatroni rumah seorang perwira tentara. Rumah yang sangat megah. Di tumbuhi bunga–bunga anggrek dan bunga sedap malam di pekarangannya. Tampak sebuah pos keamanan di sudut depan rumah yang di dalamnya terdapat beberapa tentara berpangkat tamtama sedang tertidur pulas. Dengan mudah aku dan orang–orangku masuk melompati pagar besi yang tidak terlalu tinggi.

“Dor … dor … dor …,” tiba-tiba terdengar suara letusan senapan mengarah tepat di tubuh tentara–tentara yang berada di dalam pos itu. Darah mengalir menganak sungai. Tak satu pun yang tersisa. Semuanya tewas dalam keadaan yang mengenaskan.

Aku dan orang–orangku beranjak pergi menuju pintu masuk rumah. Terlihat dengan jelas sebuah papan nama tergantung tepat di depan pintu masuk. Papan nama itu bertuliskan Kolonel Birin. Aku tersentak. Sebuah kisah yang telah lama terkubur kini terkuak kembali. Bayangan tentang anak dan istriku silih berganti mengisi pikiranku. Kebencian yang telah lama terpendam harus keluar dan berakhir malam itu.

Sekali lagi terdengar letupan peluru. Kunci rumah tersebut terhantam. Aku dan orang–orangku berpencar masuk ke setiap kamar. Tiba–tiba terdengar suara orang yang sedang membuka pintu.

Kolonel Birin! Ya… Kolonel Birin telah berdiri tepat di hadapanku.

“Angkat tangan!” teriakku.

Kolonel Birin langsung mengangkat tangan diikuti istrinya dari belakang.

“Apakah anda masih ingat dengan wajahku, Kolonel Birin?” tanyaku sambil membuka topeng. Wajah Kolonel Birin seketika berubah pucat. Ia kemudian bicara terbata–bata.

“Ka …u … Let…nan Husin,” jawabnya dengan wajah ketakutan.

“Ya … aku Letnan Husin. Tapi sekarang aku bukan lagi seorang Letnan.”

Dari belakang terdengar tangis anak laki–laki sedang digendong anak buahku. Wajah anak itu mengingatkan kejadian tiga tahun silam. Ya, wajah anak–anakku yang telah hancur dan tewas. Aku langsung saja mengambil anak itu.

“Bagaimana kalau pistol ini ku tembakkan ke kepala anakmu, Kolonel Birin ?” tanyaku sambil menodongkan pistol ke kepala anak tersebut.

“Jangan Letnan…! Lebih baik kau ambil semua hartaku. Tapi tolong lepaskan anakku,” teriak Kolonel Birin dengan wajah cemas.

“Aku datang bukan untuk harta, Kolonel Birin. Apakah kau masih ingat bagaimana anak dan istriku tewas, Hah … !” teriakku sambil menarik pemicu pistol yang kupegang.

Dor!!! Sebuah peluru bersarang di kepala anak itu.

Seketika itu juga anak tersebut jatuh ke lantai bersimbah darah yang membusa.

Tidak!!! Kolonel Birin langsung berlari kearahku.

Dor!!! Sebuah peluru keluar lagi dari sarangnya. Tapi kali ini bukan keluar dari pistolku melainkan dari pistol anak buahku. Kolonel Birin tewas dengan dada bersimbah darah. Istrinya jatuh pingsan melihat apa yang terjadi dengan suami dan anaknya. Aku tertawa bahagia. Aku bahagia karena semua dendamku sudah terbalas. Aku yakin anak dan istriku pun ikut senang melihat kematian orang–orang biadab seperti mereka. Tapi anak dan istriku tak lagi disini. Mereka disana didunia yang berbeda denganku.

Kami segera keluar dari rumah Kolonel Birin. Aku dan orang–orangku merayakan pesta atas kemenangan kami. Kami telah berhasil membunuh para petinggi–petinggi tentara. Dalam waktu yang relatif singkat, kami telah berhasil menduduki Kota Semarang.

Tapi semua itu tidak bertahan lama. Presiden mengeluarkan mandatnya untuk menumpas setiap anggota–anggota partai terlarang. Dalam waktu yang sangat singkat, kami berhasil di tumpas bersih oleh TNI. Satu per satu teman–temanku di bunuh dan di tahan. Mereka yang berani melawan langsung di tembak mati oleh TNI. Termasuk aku. Aku tertangkap saat ingin melarikan diri. Aku tertembak. Tiga buah peluru bersarang di kakiku. Tapi Tuhan masih memberikan kesempatan. Aku tidak di vonis mati. Aku di jatuhi hukuman 25 tahun penjara dan dibuang di salah satu penjara di sebuah kota yang sangat terpencil.

Jika aku terlahir sebagai hina

Apakah akupun harus kembali sebagai hina

Aku dipilih tuk mengangkat senjata

Tapi mengapa jalan menggiringku ke arah lain



Aku t’lah buktikan bahwa aku ada

Aku ada sebagai pelindung

Aku ada sebagai penuntun

Semua jalan telah menyimpang

Aku terlahir bukan untuk berjuang

Aku terlahir bukan untuk berperang

Tapi aku telah terlahir sebagai pecundang … kawan



Ingatlah …

Kita semua terlahir sebagai pejuang

Hingga urat mengencang

Sampai tubuh menegang

Kita tetap pejuang …



***

25 tahun sudah terlewati. Telah aku terima balasan yang kuperbuat selama ini. Rambutku sudah berubah menjadi uban dan kulitku sudah tak lagi segar. Tubuhku bergerak tapi jiwaku mati. Dosa-dosaku tak cukup di tebus hanya dengan kurungan 25 tahun. Aku pengkhianat. Akulah pengkhianat bangsa. Bangsa yang telah memberikanku kehidupan. Aku sampah. Akulah sampah bagi keluargaku. Tapi semuanya telah pergi. Aku tak mempunyai keluarga lagi. Aku seorang diri. Mereka telah lama meninggalkanku.

Aku telah bebas dari penjara yang telah mengurungku selama 25 tahun. Aku pun mendengar bahwa orang–orang yang sama sepertiku juga telah di bebaskan. Aku tak mempunyai apa–apa. Aku seorang lumpuh. Aku mempunyai kaki tapi tak dapat lagi berjalan. Rasa sakit itu masih terasa sampai saat ini. Saat aku tertembak …

Aku kembali ke kampung halaman. Rumahku masih seperti dulu. Tapi, banyak terdapat perubahan di dalamnya. Tak ada lagi istriku. Tak ada lagi teriakan dan canda tawa anak–anakku. Hanya tinggal aku sendiri. Aku yang sedang menunggu datangnya ajal menjemput, agar aku dapat kembali bersama keluargaku disana … ya disana di tempat yang sangat jauh … jauh dari dunia yang penuh dosa ini. Agar aku bisa meminta maaf pada istri dan anak–anakku. Aku tahu mereka pasti malu mempunyai ayah dan suami seperti aku. Mereka pasti malu dengan apa yang telah kulakukan selama ini. Karena aku bukanlah pejuang tapi lebih pantas di sebut pecundang.
Nop 2004

Tidak ada komentar:

Posting Komentar